Mongabay.co.id

Kain Kulit Kayu, Pakaian Tradisional dari Lembah Bada

 

 

Lembah Bada dikenal sebagai kawasan megalitik dengan berbagai bentuk, dan disebut yang tertua di Indonesia. Di daerah ini akan dengan mudah ditemui situs-situs megalitikum.

Salah satu yang terkenal dan menjadi ikon di Provinsi Sulawesi Tengah adalah patung situs arca Palindo atau Sepe yang diperkirakan berusia ribuan tahun.

Namun begitu, belum banyak yang mengetahui di kawasan ini juga ada budaya unik pakaian tradisional terbuat dari kulit kayu.

Beberapa spesies pohon dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat kain kulit kayu. Namun, paling umum adalah jenis pohon beringin [Ficus spp.] untuk menghasilkan kain kulit kayu berwarna coklat atau kemerahan.

Lembah Bada berada di wilayah administrasi Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dan merupakan bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. Bagi masyarakat yang menghuni Lembah Bada, pakaian tradisional yang terbuat dari kulit kayu ini disebut dengan ranta.

Pada masa lalu, kain kulit kayu digunakan etnis Lore untuk selimut, sebagai pembatas ruangan, pakaian pria dan wanita, dan bahkan digunakan sebagai pelana kuda.

Baca: Lembah Bada, Situs Megalitik Tertua Indonesia yang Diusulkan Jadi Warisan Dunia

 

Pakaian kulit Ranta Bada yang terbuat dari kulit kayu, sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Lembah Bada, Sulawesi Tengah. Foto: Dok. Kemendikbud

 

Hari Suroto, peneliti pusat riset arkeologi lingkungan dari BRIN, menambahkan bahwa di Lembah Bada, juga terdapat kain kulit berwarna putih yang dibuat dari pohon saeh atau paper mulberry [Broussonetia papyrifera]. Lalu, dicat dengan pewarna alami cerah dalam motif tradisional dan desain geometris.

Jenis pohon ini, diperkenalkan ke Lembah Bada oleh manusia berbahasa Austronesia bersama dengan budaya megalitik dan rumah panggung.

“Pada masa lalu di Lembah Bada, kain kulit kayu diperdagangkan dengan cara dibarter dengan kerbau,” ungkapnya.

Menurut dia, pada masa prasejarah, pohon saeh digunakan orang Austronesia dalam membuat kain kulit kayu. Tanaman saeh berasal dari daerah subtropis di daratan Asia, dibawa orang Austronesia sekitar 3000 ribu tahung lalu, disebarluaskan ke Kepulauan Indonesia hingga Pasifik.

Di Pasifik, saeh merupakan tanaman sangat penting yang digunakan untuk memproduksi kain kulit kayu atau tapa; yang tidak hanya digunakan untuk pakaian.

“Tetapi juga untuk upacara adat dan pertukaran hadiah, dan masih terlihat sampai sekarang seperti di negara Tonga,” ujarnya.

Nama genus pohon saeh ini Broussonetia, diberikan menghormati Pierre Auguste Marie Broussonet [1761-1807], seorang dokter dan naturalis Prancis, orang yang pertama kali meneliti tanaman tersebut.

Sedangkan papyrifera, berasal dari kata Mesir, papirus yang berarti kertas dan kata Latin ferre yang mengacu pada penggunaannya dalam membuat kertas.

Pohon saeh tumbuh paling baik di tanah subur dan berdrainase baik di lokasi terlindung dengan sinar matahari penuh. Tanaman ini diperbanyak dengan biji, stek, atau anakan yang tumbuh dari akar. Tanaman saeh di Indonesia juga dikenal dengan nama daluang.

Baca: Bukan Tradisi Biasa Masyarakat Lembah Bada

 

Kulit kayu yang diolah menjadi pakaian dan masih dipertahankan oleh masyarakat Lembah Bada. Foto: Dok. Kemendikbud

 

Cara membuat kain kulit kayu

Kebudayaan membuat pakaian kulit kayu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat di Lembah Bada, tapi juga masyarakat di Lembah Besoa, Napu, dan Kulawi, Kabupaten Sigi, yang tidak bisa terpisahkan dari lanskap Lore Lindu di Provinsi Sulawesi Tengah.

Di Lembah Kulawi, pakaian kulit kayu disebut kumpe atau mbesa, di Lembah Napu disebut hampi, dan di Lembah Besoa dikenal sebagai inodo.

Hari menjelaskan kearifan lokal etnis Lore dan etnis Kulawi dalam proses mengambil kulit kayu pohon beringin. Mereka tidak menebang pohon, tetapi hanya mengambil bagian cabang saja.

Kulit pohon bagian dalam direbus agar lembut, kemudian dibungkus daun pisang untuk difermentasi dua hingga empat hari. Berikutnya, kulit ditumbuk dengan palu kayu agar seratnya lebih tipis lalu dihaluskan menggunakan batu ike.

Proses ini memakan waktu tiga hari, lalu beberapa potong kulit kayu digabungkan dijadikan  lembar kulit lebih besar. Proses terakhir, untuk mengawetkan digunakan getah pohon dan  dikeringkan. Seluruh proses pembuatan membutuhkan waktu 10 atau 11 hari.

Kain kulit kayu sebagai pakaian, bisa bertahan hingga tiga tahun. Pada masa lalu, agar bertahan lama, oleh etnis Lore, pakaian tidak dicuci. Mereka hanya melepas dan menggulung saja.

“Kain kulit kayu perlu dilestarikan dengan mengajarkannya sebagai muatan lokal di sekolah serta penanaman kembali pohon bayan dan pohon saeh. Selain itu, kain kulit kayu dapat dikreasikan sebagai produk ekonomi kreatif yang dapat mensejahterakan masyarakat pemilik budaya tersebut,” jelas Hari.

Baca juga: Cerita Para Perawat Hutan dari Lembah Bada

 

Kulit kayu yang diolah menjadi pakaian ini harus dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Lembah Bada. Foto: Dok. Kemendikbud

 

Pakaian kulit kayu dari Lembah Bada kini telah dimasukan dalam warisan budaya tak benda. Dalam publikasi ilmiah berjudul “Eksplorasi Multilayer Pada Kulit Kayu dengan Pewarna Alam Nila [Indigofera tinctoria] dan Secang [Caesalpinia sappan] untuk Produk Fashion” dijelaskan bahwa kain kulit kayu merupakan tekstil Indonesia yang artefaknya tersebar dari Jambi hingga Papua. Busana yang terbuat dari kain kulit kayu dapat digunakan sebagai baju sehari-hari maupun acara besar seperti pernikahan dan ritual keagamaan.

Menurut para peneliti, pembuatan baju menggunakan kain kulit kayu mengalami kemunduran saat masyarakat Indonesia mulai menemukan teknik tenun. Proses pembuatan tekstil yang lebih cepat dan praktis menyebabkan tradisi pembuatan kain kulit kayu tergeser.

“Selain itu, kurangnya inovasi akan produk yang terbuat dari kulit kayu membuat materialnya kurang dikenal dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia saat ini,“ jelas laporan tersebut.

 

Exit mobile version