Mongabay.co.id

Kala Harimau Keluar Kawasan, Bagaimana Manusia dan Satwa Bisa Hidup Berdampingan?

 

 

 

Bestie, begitu harimau Sumatera betina usia tiga tahun ini diberi nama. Bestie  muncul di perkampungan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dengan memangsa ternak sapi. Ia dievakuasi lalu masuk suaka harimau dan lepas liar di zona inti Taman Nasional Gunung Leuser, 24 November lalu.  Perjumpaan satwa, seperti harimau dengan manusia makin sering terjadi, bagaimana seharusnya?

Sebelumnya, kemunculan si belang berulang dan begitu tenang. Menurut kesaksian warga, Bestie seakan tak takut dengan manusia. Guna mencegah jatuh korban jiwa, petugas gabungan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) memindahkan Bestie ke tempat lain yang lebih aman. Kandang jebak pun dipasang dan harimau masuk perangkap di Sei Sirah, Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Langkat, 31 Agustus lalu.

Setelah evakuasi, harimau dititipkan di Medan Zoo. Setelah lebih dua pekan,  otorita memindahkan harimau ke Suaka Barumun di Padang Lawas Utara. Di sana Bestie jalani serangkaian pemeriksaan medis mulai pengambilan sampel darah dan melihat perilaku.

Anhar Lubis, dokter hewan dari Forum Konservasi Leuser (FKL) mengatakan, kesehatan baik dan kondisi stabil.


Bestie tenang,  pendiam dan cukup santai. Ketika berada di Medan Zoo berat badan sekitar 65 kg dan ada sedikit luka di buntut. Setelah  di Barumun,  berat badan jadi 85 kg. Meski sempat ada peradangan di telapak kaki karena kandang berlantai semen, setelah perawatan hampir dua minggu kondisi kaki pulih dan siap lepas liar.

“Kami melakukan pemantauan selama tiga bulan.  Pemeriksaan kesehatan dan menganalisis sifat liar serta perilaku. Semua normal maka merekomendasikan segera rilis, ” kata Anhar.

Rudianto Saragih Napitu, Kepala BBKSDA Sumut mengatakan, karena semua syarat pelepasliaran harimau terpenuhi, maka mulai pertemuan dan diskusi dengan para ahli untuk tenpat lepas liar. Akhirnya, diputuskan TNGL paling cocok. Semua persiapan pun dilakukan, mulai dari teknis pelepas liaran hingga titik koordinat yang cocok bagi harimau sumatera ini untuk dilepaskan dan melanjutkan hidupnya di masa yang akan datang .

Berdasarkan hasil survei, katanya, zona inti TNGL layak untuk Bestie. Daerah ini memang habitat harimau Sumatera dan Bestie dari sana. Wilayah ini banyak satwa buruan seperti kijang,  rusa dan kambing hutan.

Menempuh perjalanan darat lebih 12 jam dari Barumun ke Blangkejeren, Aceh,  Bestie mendapat pemantauan ketat dari tim medis.

Benny Syahputra , Terrestrial Species Observer dari Bio Wildlife mengatakan,  mengenai relokasi ataupun pelepasanliaran, memang wajib, namun perlu paham habitat dan psikologi harimau.

 

Bestie, harimau Sumatera sebelum lepas liar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Harimau, katanya, satwa teritorial. Jadi, relokasi harimau seharusnya upaya terakhir yang diputuskan secara ilmiah dan transparan beserta alasan kuat. Bukan keputusan seperti kebingungan dan mengesampingkan hal-hal penting terkait psikologis harimau.

Translokasi, katanya,  harus tak terlalu jauh dari tempat si harimau diambil. Kalau tidak, faktor-faktor kematian karena stres berpotensi tinggi.

Mengenai begitu banyak harimau dari TNGL keluar dan menyerang ternak penduduk di sekitar, katanya, perlu belajar tentang ekologi dan ethologi harimau dan ekosistem Leuser, termasuk kawasan penyangga. Dia nilai wajar terjadi pertemuan manusia dan satwa,  seperti harimau karena manusia terus memasuki dan merusak habitat harimau.

 

Proses pencarian Sehat, buruh perusahaan HTI yang kena terkam harimau. Foto: BBKSDA Riau

 

Harimau muda terpantau, hidup berbagi ruang

Bestie merupakan satu dari empat harimau yang terpantau di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah 3 Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Hasil pemantauan dengan kemera pengintai, setidaknya ada empat harimau muda terekam di TNGL.

Palberrt Turnip,  Kepala Bidang Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 3  BBTNGL, mengatakan, empat harimau itu merupakan populasi baru dan masih remaja.

Pemasangan kamera pengintai, katanya. kurun 2014-2022. Pada rentang waktu itu, harimau remaja ini tak tertangkap kamera. Baru akhir 2022,  intensitas pergerakan di dalam TNGL makin tinggi dan sering tertangkap kamera.

Meskipun begitu, katanya, belum bisa dikalkulasi berapa harimau lahir, berapa banyak mati baik alami atau diburu dan dibunuh serta terkena jerat. Namun, katanya,  bisa tergambarkan situasi di dalam TNGL masih cukup bagus untuk pertumbuhan harimau.

Palbert berharap, ke depan tak ada lagi pembangunan seperti pemukiman yang bisa menyebabkan pengurangan luasan taman nasional.

 

Bestie, setelah lepas liar di zona inti, TNGL. Foto: BBKSDA Sumut

 

Dia akui, sulit mencegah pembangunan tetapi tidak bisa juga membatasi pergerakan dari satwa di dalam kawasan seperti harimau.

Dengan kondisi sekarang, harimau keluar dianggap terjadi konflik padahal masa lalu pun harimau masuk perkampungan pun terjadi. Konsep ke depan, katanya, bagaimana hidup berdampingan antara manusia dan harimau bisa berbagi ruang dan tempat.

Manusia membatasi pergerakan. Aktivitas sampai petang di luar rumah atau tak terlalu subuh masuk ke perladangan atau perkebunan hingga meminimalisir pertemuan antara manusia dengan harimau.

Begitu juga pembangunan fisik mengganggu wilayah jelajah harimau juga penting jadi kajian. Contoh, peningkatan jalan dari Kabupaten Karo ke Langkat.  Jalan ini, katanya,  memutus sisi kanan dan kiri TNGL yang jadi lalu lintas kendaraan.

Untuk keselamatan harimau, katanya, perlu ada koridor atau pengaturan waktu penggunaan jalan agar tidak ada pertemuan manusia dengan harimau.

 

 

*******

 

Exit mobile version