Mongabay.co.id

Aliansi Tiga Negara Hutan Tropis, Jangan Hanya Alat Tawar Dagang Karbon dan Abai Masyarakat Adat

 

 

Belum lama ini, tiga negara pemilik hutan tropis, Indonesia, Brazil dan Kongo,  menandatangani dokumen perjanjian atau ‘Joint Statement: Tropical Forest and Climate Action Cooperation’ dalam menyelamatkan hutan tropis. Komitmen kerja sama aksi iklim dan perlindungan hutan tiga negara ini sempat dibahas dalam pertemuan di COP26, Glaslow, Skotlandia, tahun lalu.

“Kami memang membutuhkan kerja sama dengan pihak lain untuk mencapai tujuan bersama. Sendirian kami hanya dapat melakukan sedikit, bersama-sama kami dapat melakukan banyak hal,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, dikutip dari AFP, November lalu.

Dalam kesepakatan itu menyerukan agar ketiganya mendapat kompensasi dari komunitas internasional untuk pengurangan deforestasi, fokus pada isu bersama seperti akses pendanaan iklim dan harga satu ton karbon di pasar kredit karbon.

Muncul istilah  ‘OPEC hutan tropis’ untuk kerja sama ini. Berbagai kalangan pun mengingatkan, langkah strategis ini jangan sampai salah arah jadi alat tawar dalam perdagangan karbon hutan tropis tersisa dunia.

Organisasi masyarakat sipil pun menekankan, dalam komitmen seperti ini jangan melupakan mayarakat adat yang mempunyai peranan strategis dalam penyelamatan hutan. Alam merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat adat.

Kalau bicara Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC),  merupakan wadah yang diinisiasi para negara eksportir minyak mentah di dunia. Tujuan wadah ini adalah menegosiasikan masalah produksi harga dan hak konsesi minyak bumi dengan perusahaan minyak di dunia.

Mereka juga berupaya untuk menentukan kebijakan harga dan jumlah produksi minyak bumi yang dipasarkan di dunia.

Mengacu pada pengertian ini, ada kecurigaan timbul jika aliansi ini hanya jadi alat tawar dalam perdagangan karbon yang saat ini didorong sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim. Apalagi, ketiga negara ini memang rumah 52% hutan tropis tersisa di dunia.

Pemerintah Indonesia pun dalam menyongsong peluang pasar karbon telah menelurkan Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres NEK).

Walhi  jadi salah satu yang menyuarakan soal ini. Selaiknya, OPEC yang bisa mengontrol dan mengatur harga minyak, OPEC hutan tropis pun bisa saja menjadi alat kontrol harga karbon.

 

Hutan terbabat jadi tambang nikel di Halmahera Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Walhi,  OPEC hutan tropis bisa saja menjadi proposal yang dipersiapkan tiga negara ini untuk menyambut hasil perundingan mengenai pengaturan perdagangan karbon. Skema offset yang dianggap sebagai penyeimbang karbon diduga akan jadi roh dari proposal ini.

Sementara dengan skema offset merupakan ‘izin’ untuk tetap mencemari, merusak dan melepas emisi dengan menjaga setok karbon di tempat lain.

Uli Arta Siagian,  Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, tren pasar karbon jadi pembicaraan hangat dalam beberapa kali edisi konferensi iklim. Wacana ini,  didorong lembaga kapital dan investor penghasil emisi besar di dunia.

Namun, katanya, ada kesalahan berpikir fatal yang dibangun secara global dalam skema pasar karbon. Yaitu,  melihat hutan, terutama kandungan karbon dan keanekaragaman hayati dengan sebuah ‘harga’.

Apalagi, katanya, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi pernah menunjukkan potensi penyerapan emisi karbon di Indonesia bisa sampai 25,18 miliar ton dari 125,9 juta hektar kawasan hutan hujan tropis. Kalau dinilai dari harga kredit karbon yang mencapai US$5 per ton karbon, maka potensi ekonomi karbon mencapai Rp1.780 triliun.

Uli mengatakan, filosofi ini sangat berbeda dengan pemahaman di masyarakat penjaga hutan, termasuk di Indonesia, Brazil dan Kongo. Masyarakat, katanya,  tidak melihat hutan hanya sebagai nilai ekonomi.

“Ada nilai adat, budaya, religius dan nila leluhur. Mereka bukan jaga hutan karena nilai ekonomi karbon karena di sana ruang hidup mereka,” katanya.

Dasar filosofi itu terbukti bisa membuat hutan di tiga negara terus terjaga. Sedang negara maju, katanya,  justru menghabisi sumber daya hutan dan menghasilkan emisi besar lewat industri mereka.

Pemahaman inilah, kata Uli,  yang seharusnya bisa jadi pemersatu suara Brazil, Indonesia dan Kongo. Lewat OPEC hutan tropis ini, seharusnya bisa jadi pemersatu konservasi dari ketiga negara dan memaksa negara maju mengurangi emisi dari negara mereka masing-masing.

“Bukan malah membeli karbon sebagai bentuk cuci dosa atas karbon berlebih mereka.”

 

Konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang nikel di Wawonii. Alat berat perusahaan yang bergerak menggusur lahan warga di Pulau Wawonii. Foto: LBH Makassar

 

Bagaimana masyarakat adat?

Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengapresiasi komitmen pemerintah melakukan berbagai inisiatif terkait perubahan iklim sebagai langkah maju. Salah satunya,  komitmen bersama antara tiga negara yaitu Indonesia, Brasil dan Kongo.

Namun, katanya, perlu konsistensi dan evaluasi dalam mengimplementasikan komitmen ini, karena sering kali terjadi paradoks.  “Karena legislasi justru anti lingkungan dan anti demokrasi, hingga bertentangan dengan komitmen verbal di ruang publik,” katanya dalam rilis kepada media baru-baru ini.

Dalam kondisi ini, katanya, masyarakat adat sering alami kerugikan. Negara, katanya,  masih gagal memberikan tempat atau perlindungan bagi masyarakat adat yang hidup dan bergantung dari alam.

Dalam menjalankan komitmen tiga negara itu, Herlambang menekankan, harus ada penghormatan atau perlindungan kepada masyarakat adat sebagai penjagaan hutan dan alam. “Perlu dipastikan mereka mendapatkan haknya.”

Masyarakat adat, katanya, perlu payung pelindung hukum yaitu UU Penghormatan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Rancangan UU ini sudah ada dan mendorong pengesahan segera agar masyarakat adat terlindungi.

Pengalaman baik dari masyarakat dalam menjaga hutan merupakan upaya yang perlu didukung oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah. Karena hingga saat ini keberadaan mereka justru terancam akibat banyaknya penjarahan sumber daya alam dan alih fungsi hutan yang menyingkirkan hak-hak mereka.

AMAN menilai,  aliansi antara Indonesia, Kongo dan Brazil membentuk aliansi ‘OPEC hutan tropis’ percuma tanpa ada pengakuan terhadap hak masyarakat adat. Celakanya, kondisi masyarakat adat di tiga negara ini tak baik-baik saja.

 

Konflik antara masyarakat adat Laman Kinipan dengan perusahaan sawit. Spanduk menuntut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia, misal, konflik masyarakat adat dan konservasi hingga pembunuhan masyarakat adat kerap terjadi di Brazil dan Kongo. “Itu sebabnya teman-teman di Brazil tidak datang Kongres AMAN kemarin. Mereka kawal pemilu di sana supaya (Jair) Bolsonaro tidak naik lagi,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN.

Untuk itu, katanya, pekerjaan rumah selanjutnya oleh pemerintah tiga negara ini adalah memastikan pengakuan terhadap masyarakat adat. Di Indonesia, pengakuan masyarakat sulit tercapai karena Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, mandek lebih satu dekade.

Kondisi diperparah dengan penyelesaian persoalan agraria dan hutan adat lamban  sekalipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012. Putusan itu menegaskan, hutan adat sebagai hutan di wilayah adat, bukan lagi hutan negara.

Yang terbaru, katanya, data Badan Registrasi Wilayah Adat,  peta partisipatif wilayah adat mencapai 20,7 juta hektar, tetapi negara baru mengakui 14,98%.

“Karena itu, rencana apapun, termasuk OPEC hutan tropis, tidak akan membumi jika tidak memperbaiki realita yang terjadi di masyarakat adat. Akui dulu hak masyarakat adat,” kata Rukka.

Sisi lain, pemerintah justru menyiapkan instrumen-instrumen yang akan merampas hak masyarakat adat atas nama mitigasi perubahan iklim. Yang paling terbaru, katanya,  Perpres Nilai Ekonomi Karbon.

AMAN pun tengah memperkarakan kebijakan ini di Mahkamah Agung. “Bagaimana mau beraliansi ngomongin perlindungan hutan jika hak masyarakat adat akan tercabut nantinya?”

Masyarakat adat juga berkontribusi penting dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Mina Setra, Deputi IV Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan,  bagi masyarakat adat, menjaga wilayah berarti menjaga keseimbangan alam.

Bahan pangan masyarakat perkotaan, katanya, seperti beras dan hasil bumi lain banyak hasil dari masyarakat adat. “Masyarakat adat juga sumber identitas budaya Indonesia. Untuk mempertahankan semua itu, perlu perlindungan oleh negara dalam bentuk UU khusus Masyarakat Adat,” kata Mina dalam rilis kepada media.

Naomi Marasian, Direktur Eksekutif Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua mengatakan, penting menjaga alam bersama-sama masyarakat adat.

Masyarakat adat, katanya,  adalah penjaga alam dan keberlangsungan hidup makhluk yang cukup teruji dan bisa membendung perubahan iklim. Jadi, katanya, sudah sepantasnya masyarakat adat ada kepastian payung hukum. Tujuannya, melindungi eksistensi mereka sebagai bentuk komitmen dan keberpihakan negara.

“Mereka butuh dukungan lebih kuat untuk melestarikan sumber daya alam dalam menghadapi korporasi besar yang berlindung di balik negara.”

Walhi pun menyerukan hal sama. Pemerintah,  seharusnya memimpin aliansi hutan tiga negara ini dengan menjadikan wilayah kelola rakyat sebagai basis penyelamatan dan perlindungan hutan.

 

Wisatawan liburan ke air terjun Benang Kelambu yang berada di dalam kawasan HKm Aik Berik. Setelah pemerintah memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat, hutan jadi terjaga. Sumber air pun terjaga. zSelain sebagai tujuan wisata, air terjun ini juga sumber air bersih PDAM dan air bersih masyarakat desa-desa sekitar Aik Berik.

 

Wilayah kelola rakyat, katanya,  selama ini meletakkan hak rakyat atas wilayah untuk membangun sistem tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi berangkat dari pengetahuan lokal dan pengalaman hidup bersama. Sedangkan karbon offset, katanya,  meletakkan kendali korporasi, lembaga kapital keuangan dan perusahaan tehnologi dan informasi atas aset fisik  seperti tanah, hutan dan ekosistem lain untuk meraup keuntungan dan memicu dampak lingkungan.

Dia pun sarankan, Indonesia membenahi kebijakan dan produk hukum yang mengancam keselamatan ekosistem hutan, gambut, mangrove, terumbu karang dan padang lamun. “Dengan melakukan itu, Indonesia bisa jadi contoh bagi dua negara lain dalam aliansi ini.”

Walhi dan AMAN mengingatkan, pemerintah jangan menerapkan standar ganda terhadap konservasi dan pengendalian perubahan iklim. Di satu sisi memiliki aliansi dengan negara pemilik hutan tropis, sisi lain justru mendorong industri eksploitatif menghasilkan emisi tinggi.

Uli beri contoh, pembangunan tambang dan industri hilir nikel yang didorong demi menyongsong mobil dan baterai listrik untuk energi bersih.

Pemerintah, katanya,  harus memilih salah satu: konservasi hutan atau industri nikel. Keduanya,  tidak bisa berjalan berbarengan karena punya sifat bertolak belakang.

AMAN juga menyoroti hal sama. Menurut AMAN, energi hijau dalam bentuk biofuel bukanlah solusi atas perubahan iklim karena asal sawit sebagai komponen utama mengorbankan hutan dan masyarakat adat. “Jadi kalau dibilang energi ini masih ‘merah’ karena darah masyarakat adat dan komunitas lokal yang dikorbankan,” kata Rukka.

 

Hutan Batang Toru yang asri. Hutan juga ruang hidup masyarakat adat.  Hutan bukan sekadar komoditas untuk ‘dagang karbon’.  Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

******

 

Exit mobile version