Mongabay.co.id

Bagaimana Menyelamatkan Hutan Mangrove Pulau Batam?

 

 

 

 

 

Hutan mangrove di Pulau Batam, Kepulauan Riau, terus terkikis dari tahun ke tahun. Data Nusantara Atlas menunjukkan, luasan mangrove di Batam sekitar 5.873 hektar pada 1990, sekarang tersisa 2.395 hektar. Dalam dua dekade terakhir penyusutan hutan mangrove karena berbagai penyebab, seperti, industri, perumahan, tambak, sampai pembangunan waduk.

Alih fungsi lahan mangrove tanpa pengawasan dan regulasi tumpang tindih disinyalir menjadi biang mangrove lenyap. Perlu antisipasi  agar hutan mangrove tak terus tergerus.

Hutan mangrove tersisa di Pulau Batam sekitar 2.395 hektar ini tersebar di Batam Kota,  Batu Aji, Bengkong, Nongsa,  Sagulung, Sei Beduk  dan Sekupang.

Data ini sejalan dengan temuan dosen sekaligus peneliti dari Lembaga Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjungpinang, Dony Apdillah dan Andi Zulfikar.

Hasil pemantauan dengan pendekatan teknologi penginderaan jauh menggunakan data citra satelit sentinel 2, hutan mangrove di Batam bersisa sekitar 2.000 hektar.

“Pulau Batam terlihat tutupan mangrovenya jauh berbeda dibandingkan yang ada di pulau-pulau sekitar,” kata Andi sambil menunjukkan layar monitor laptop hasil penginderaan di Batam, 18 November lalu.

 

 

Sony, Ketua Akar Bhumi Indonesia mengatakan, tidak hanya perumahan dan industri, gedung pemerintah juga menyebabkan hutan mangrove di Batam, hilang.

Dia sebutkan, seperti pembangunan SMKN 9 di Tanjung Piayu, Kelurahan Sungai Beduk, Kota Batam. Pembangunan ini disinyalir cacat dalam izin pengalokasian lahan BP Batam, dan diduga bermasalah dalam Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Akar Bhumi kemudian melaporkan kasus ini. Akhirnya,  pembangunan setop. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memasang papan pengumuman berbunyi: pembangunan tidak bisa lanjut karena berada di kawasan hutan lindung.

“Pembangunan tak mengikuti prosedur yang ada. Suka-suka aja, harusnya diperhatikan lingkungan.”

Pemerintah, kata Sony,  seharusnya mengawasi setiap penggunaan lahan kepada perusahaan atau penggarap hingga meminimalisir pelanggaran. “Kebanyakan, dikasih lahan satu hektar yang digarap 1,5 hektar.”

Selain kasus SMK N 9, Tim Advokasi Akar Bhumi juga melaporkan beberapa pembangunan perumahan yang diduga membabat hutan mangrove. Misalnya di lokasi Sungai Pengabu, Sagulung Kota Batam. Namun, laporan ini belum direspons pemerintah.

 

Baca juga: Nasib Nelayan Pesisir Batam Kala Hutan Mangrove Terkikis

Pelang KLHK yang melarang melanjutkan pembangunan sekolah karena berada di kawasan hutan lindung dan merusak mangrove. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Tak jera? Pengawasan lemah?

Penegakan hukum mulai dilakukan bagi perusak hutan mangrove di Batam, meski begitu pembabatan terus berlanjut. Setidaknya,  ada tiga perusahaan vonis bersalah karena membabat hutan lindung untuk perumahan.

Adalah PT Prima Makmur Batam (PMB).  Pengadilan Negeri batam menghukum direktur perusahaantujuh tahun, denda Rp1 miliar, subsider enam bulan penjara karena merusak hutan lindung Sei Hulu Lanjai dan Tanjung Kasam, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Direktur perusahaan terbukti sah dan meyakinkan mengakibatkan kriteria baku lahan di kawasan hutan lindung terlampaui.

Dua perusahaan lagi PT Kayla Alam Sentosa (KAS) dan PT Alif Mulia Jaya Batam (AMJB). Kedua perusahaan ini sudah vonis denda Rp6 miliar. Untuk tindak pidana perorangan dengan dakwaan kepada IDM, Direktur KAS dan DMO, Direktur AMJB. Mereka terancam penjara paling lama 10 tahun, denda Rp10 miliar sesuai Pasal 98 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua perusahaan ini merusak hutan mangrove untuk perumahan.

Sony mengatakan, Badan Pengusahaan (BP) Batam yang berwenang mengeluarkan izin pengalokasian lahan. Masalahnya, setelah izin keluar, acap kali tak ditindaklanjuti pengawasan. “Apakah pembangunan atau alih fungsi lahan mengikuti aturan atau tidak?

Buntutnya, terjadi berbagai pelanggaran seperti perusakan atau perambahan hutan lindung di luar konsesi maupun pembangunan dengan menimbun kawasan mangrove.

Menurut Sony, perusahaan sering menggunakan modus izin pengalokasian lahan dari BP Batam. Setelah izin keluar mereka langsung mengeksekusi lahan tanpa mengikuti aturan lain seperti harus ada Amdal.

Ilham Hartawan, Direktur Lahan BP Batam tak mau berkomentar soal pengawasan setelah izin pengalokasian lahan terbit. “Silakan tanya ke Humas BP Batam, kita satu pintu,” katanya, Oktober lalu. Ilham sempat dipanggil penyidik Kejati Kepri terkait ada dugaan mafia lahan di Kota Batam.

Sampai berita ini turun Humas BP Batam juga enggan memberikan komentar. Surat yang dikirim tim kolaborasi juga tidak dibalas.

 

 

 

BP Batam jangan ngurus lahan

Ampuan Situmeang,  dosen Hukum Universitas Internasional Batam menilai,  mestinya pengurusan lahan di Batam tidak ditangani BP Batam.

Pasalnya, tugas BP Batam dalam UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) No.36/2000 adalah mengatur lalu lintas barang di dalam kawasan.

“Bukan juragan lahan, yang mengatur lahan di Batam, serahkan saja kepada ahlinya yaitu BPN [Badan Pertanahan Nasional],” kata Ampuan, belum lama ini.

Sejarahnya,  kata Ampuan, sejak 1973-1990, tak ada istilah hutan di Batam, hanya disebut kawasan terbuka hijau. Sejak kawasan terbuka hijau itu diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan barulah mulai ada istilah Kawasan hutan di Batam.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.41/2021, izin pemanfaatan kawasan oleh BP Batam. “Di sinilah letak awal sengkarut lahan yang mumet di Batam sebagai daerah industri, mulai ada kewenangan yang tumpang tindih,” katanya.

Budi Setiawan, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKHTL) Wilayah XII Tanjungpinang dalam konsinyering “Mengatasi Pelaku Perusakan Kehutanan di Kepri” mengakui terjadi tumpang tindih aturan pemberian izin pemanfaatan lahan di Batam. Konsinyering oleh Ombudsman Kepri ini karena 47% Kawasan hutan di Kepri sudah tidak lagi berhutan.

Pada PP Nomor 23 /2021 menyebutkan,  izin pemanfaatan lahan dari KLHK,  sedang dalam pada PP Nomor 4/2021 izin pemanfaatan kawasan oleh BP Batam. “Di sini kita perlu peraturan bersama lebih lanjut,” kata Budi.

Dia juga paparkan tipologi regulasi penyebab kerusakan hutan di Kepri, seperti tumpang tindih aturan kawasan free trade zone (FTZ)-BP Batam-dengan kawasan hutan. “Ini banyak terjadi di Batam, karena pengelola FTZ-nya bergigi, juga lebih tua.”

Selain itu, katanya, mangrove di Batam ada di kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Namun ketika mangrove dimanfaatkan, ada ketentuan mulai dari regulasi kajian lingkungan termasuk hak ke negara diganti dan dibayar. “Mangrove bisa dimanfaatkan sepanjang sesuai ruang, itu tidak masalah.”

 

Nelayan menangkap udang pakai jaring di pesisir Batam. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Berperan penting

Dony Apdillah, dosen Kelautan Umrah Tanjungpinang mengatakan, hutan mangrove sangat penting, apalagi untuk kepulauan seperti Batam. Selain menyerap karbon untuk mengurangi laju perubahan iklim, mangrove juga jadi rumah bagi biota laut. Hutan mangrove itu, katanya, daerah pengasuhan, tempat bertelur dan mencari makan ikan atau biota laut.

Hutan mangrove juga sebagai sebagai berfungsi penahan erosi. Kalau mangrove hilang,  ekosistem yang berlindung seperti karang, lamun, ikan dan lain-lain akan terganggu. “Erosi ini memang tidak sekarang, tetapi masa datang jadi ancaman,” kata Dony.

Banyak ditemukan, kata Dony, mangrove digantikan dengan teknologi yang bisa menahan erosi, seperti tanggul. Namun butuh biaya jauh lebih besar ketika harus membangun tanggul. “Nilainya bahkan sampai miliaran,” katanya.

Fungsi mangrove itu memiliki konektivitas terhadap ekosistem lain. Mangrove yang menangkap lumpur membuat kawasan jadi jernih. Mangrove juga sebagai penyuplai nutrisi untuk karang hingga jadi tempat biota laut hidup.

Dia katakan, Batam memang kota industri yang mengarah ke ekonomi. Meski begitu, katanya, pemerintah harus memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan.

“Kalau saya, itu (mangrove) mutlak tidak boleh diganggu, karena ada hal yang tidak bisa digantikan di situ, seperti kehilangan ikan, konektivitas dengan ekosistem lain seperti lamun dan terumbu karang,” kata Andi Zulfikar juga peneliti di Umrah.

Senada dengan Dony. Andi mengatakan, mangrove banyak gunanya, bukan hanya menyerap karbon. Ia salah satu tempat nursery ground ikan, penyumbang nutrisi ke terumbu karang dan lamun.

Ada fungsi konektivitas ke ekosistem lain dan saling melengkapi. Kalau satu hilang, katanya, berarti tidak seimbang lagi. “Konsekuensinya fungsi salah satu dari itu akan hilang.”

Mengantikan mangrove rusak, katanya, tidak menyelesaikan masalah yang sudah muncul. “Mangrove itu tumbuhnya lama, bahkan yang dihilangkan itu umurnya sudah ratusan tahun. Ia alami. Apapun yang alami tidak bisa digantikan,” katanya.

Jadi harus sadar, katanya, mangrove tidak hanya menyerap karbon, juga pelindung daratan, dan pelindung dari ombak. Sangat signifikan untuk mengurangi pemanasan global dan melindungi pulau.

Menurut Andi, berpikir pembangunan ekonomi maju hanyalah untuk segelintir orang, tetapi tidak memberikan efek pada orang banyak.

“Prioritaskan mempertahankan kondisi mangrove di pulau-pulau kecil. Jangan diganggu. Untuk Batam ya tanam kembali. Proteksi pilihan terbaik dari yang terburuk.”

 

Dua orang nelayan melaut di pesisir Pancur Piayu Batam, kawasan ini mangrove cukup terjaga. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

********

 

 

Liputan kolaborasi ini merupakan dukungan dari Data Journalism Hackthon 2022

Exit mobile version