Mongabay.co.id

Perubahan Iklim, Antara Aksi dan Adaptasi Masyarakat NTT

 

 

Pesta Raya Flobamoratas yang digelar di Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sabtu [19/11/2022], ramai dikunjungi anak muda.

Berbagai pesan kampanye menjaga Bumi, terlihat di halaman parkir Waterpark Kupang. Terdapat 12 ruang pameran menampilkan karya empat koalisi besar Program Voices for Just Climate Action [VCA] atau Suara untuk Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan. Ada Koalisi SIPIL, ADAPTASI, Pangan BAIK [Beragam, Adapatif, Inklusif, dan Kokreasi], dan Koalisi KOPI [Koalisi Orang Muda Atasi Perubahan Iklim].

Arti Indallah Tjakranegara, Voice of Climate Action Country Engagement Manager, Yayasan Hivos [Humanis dan Inovasi Sosial] Indonesia mengatakan, kegiatan ini bertema “Adil untuk Bumi dan Adil untuk Semua.”

“Seminimal mungkin kita menghasilkan sampah serta menggunakan perlengkapan hemat listrik,” ujarnya.

Arti menjelaskan, program VCA fokus mendorong peningkatan kapasitas dan pembelajaran masyarakat sipil dan berbagai kelompok marjinal. Terutama, mereka yang paling terdampak perubahan iklim, agar memiliki ruang sipil yang inklusif.

Diharapkan, mereka dapat berperan sebagai inovator, fasilitator, advokator, dan mitra strategis para pemangku kepentingan. Sehingga, transisi iklim berkeadilan bersama dapat direalisasikan.

“Program ini dilaksanakan di tujuh negara, termasuk Indonesia, baik di level nasional maupun daerah, seperti NTT,” terangnya.

Flavia Dacosta, peserta yang menghadiri acara, mengatakan sangat mengapresiasi kegiatan ini.

“Isu-isu lingkungan dan perubahan iklim harus gencar digaungkan pada generasi muda,” terangnya.

Baca: Kisah Sukses Akses Air Bersih di Desa Tana Rara

 

Seorang ibu rumah tangga di Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, NTT, memanen sorgum di kebunnya. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jangkau agen perubahan

Ridwan Arif, perwakilan Koalisi SIPIL dari Koaksi Indonesia menuturkan, kerja sama sejumlah pihak sangat penting dilakukan guna menghadapi dampak perubahan iklim berbasis kearifan lokal.

“Kami juga mendorong pengayaan kebijakan iklim dan merencanakan pembangunan rendah emisi yang adaptif terhadap perubahan iklim,” jelasnya.

Rifqi dari Koalisi KOPI kepada Mongabay Indonesia menegaskan, pihaknya sering melakukan kampanye terkait perubahan iklim dengan target generasi anak muda NTT.

Kampanye dilakukan melalui sosialisasi di kampus dan sekolah, serta aksi nyata dengan memungut sampah dan membersihkan pantai. Komunitas yang memiliki gerakan lingkungan juga diajak, agar kepedulian ini menyebar.

“Bengkel Seni Milenial di Flores Timur, menggelar tema perubahan iklim dalam pementasannya. ScolMus di Kupang, membuat pelatihan menulis dan video terkait perubahan iklim juga,” paparnya.

Sardi Winata, perwakilan Koalisi ADAPTASI dari Penabulu menegaskan, pembelajaran yang didapat dari masyarakat sipil terkait keadilan iklim, upaya mitigasi, dan strategi adaptasi, perlu diperkuat.

“Hal ini dapat dilakukan melalui platform yang mudah diakses,” sarannya.

Baca: Asa Mama Bambu Tingkatkan Ekonomi Keluarga Seraya Lestarikan Lingkungan

 

Para perempuan di Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, NTT, berdiri di depan kebun sorgum mereka. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kampung iklim

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, Ondy C. Siagian, menjelaskan  Pemerintah Provinsi memiliki target dan strategi terhadap adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Dalam kewenangan Dinas LHK, terdapat upaya peningkatan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan. Hal ini dilakukan melalui program Kampung Iklim [ProKlim].

Pelaksanaan ProKlim mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 84 Tahun 2016, tentang Program Kampung Iklim.

ProKlim dapat dikembangkan dan dilaksanakan pada wilayah administratif setingkat RW atau dusun dan paling tinggi setingkat kelurahan atau desa.

“Untuk adaptasi, kami melakukan pengendalian abrasi dan penyakit, serta peningkatan ketahanan pangan,” paparnya.

Terkait mitigasi, dilakukan pengelolaan sampah, limbah padat dan cair, penggunaan energi baru terbarukan, dan konservasi energi. Juga, budidaya pertanian rendah emisi GRK dan  peningkatan tutupan vegetasi.

“Paling penting dari setiap program adaptasi dan mitigasi adalah membangun kepemimpinan di masyarakat dan mengajak anak muda peduli lingkungan,” ujarnya, Kamis [17/11/2022].

Baca juga: Ancaman dan Tantangan Wilayah Kelola Rakyat di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di NTT

 

Aktivis perempuan dan lingkungan Aleta Baun saat berbicara pada peluncuran Pesta Rakyat Flobamoratas di Aula El Tari Kupang, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Bersahabat dengan alam

Aleta Baun, aktivitas perempuan dan lingkungan NTT menegaskan, bersahabat dengan alam akan membuat kita berdaulat pangan.

“Kita harus mengoreksi diri, apa yang telah dilakukan dan yang harus diperbaiki.”

Masyarakat adat mempunyai pola gotong-royong dalam pengelolaan hutan, serta tidak menganggap adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai isu terpisah.

“Masyarakat adat memiliki budaya sangat erat dengan alam sekitar,” ujarnya.

Aleta menuturkan, perempuan berperan penting dalam menyediakan kebutuhan hidup. Ketika alam rusak, perempuan tidak akan tinggal diam akan kondisi tersebut.

“Kita harus lebih bijak mengelola alam dan selalu melibatkan perempuan dalam setiap aksi menjaga lingkungan,” pesannya.

 

Exit mobile version