Mongabay.co.id

Siberut Langganan Banjir, Dampak Hutan di Hulu Tergerus?

 

 

 

Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, langganan banjir. Seperti kejadian November lalu,  banjir di Siberut, sampai setinggi dua meter. Data BPBD Kepulauan Mentawai sedikitnya 697 keluarga terdampak banjir tersebar di enam desa, yakni,  Sikabaluan, Monganpoula dan Malancan (Siberut Utara), Sigapokna (Siberut Barat), Sagalubbek dan Desa Pasakiat Taileleu (Siberut Barat Daya) dan Matotonan (Siberut Selatan).

Perkampungan di beberapa desa yang berada dekat sungai di Siberut memang langganan banjir. Meskipun begitu, hingga kini belum ada komitmen serius pemerintah mencari solusi jangka panjang terkait penanganan banjir ini.

Elias Piau, Kepala Desa Sigapokna, mengatakan,  penanganan banjir di pemukiman warga sepanjang bantaran sungai di Pulau Siberut,  tidak akan bisa selesai oleh pemerintah desa atau kecamatan. Perlu peran pemerintah kabupaten dan provinsi. “Sebelumnya,  BPBD sudah mengatakan wilayah rawan banjir. Tentukan dulu mana daerah yang prioritas dan belakangan. Kalau untuk pemindahan ke kawasan relokasi bisa difisilitasi desa dan kecamatan, hanya untuk relokasi ini  perlu biaya untuk membangun rumah apalagi dilakukan mandiri,” katanya.

Seiring tempat tinggal pindah, masyarakat juga akan menyesuaikan kehidupan baru di daerah lebih tinggi. Namun, katanya, tidak akan menjadi persoalan berarti karena masyarakat sudah terbiasa hidup bertani.

“Sekarang yang ada dalam pikiran masyarakat, setiap terjadi banjir mereka selalu berharap bantuan pemerintah, ini tidak baik, solusinya tetap relokasi. Jika pemerintah sudah menetapkan tentu masyarakat akan mengikuti. Untuk Desa Policonan ada 167 rumah yang mesti direlokasi,” katanya.


Noviardi, Kepala Pelaksana BPBD Kepulauan Mentawai, mengatakan, salah satu persoalan mendasar terkait relokasi, yakni ketersediaan lahan. Kondisi itu, hampir tak jauh berbeda saat relokasi masyarakat korban tsunami pada 2010.

Selain itu, masyarakat di sepanjang aliran sungai sudah tinggal dan bergantung hidup disana, juga mesti didukung dengan sumber-sumber ekonomi.

“Sementara anggaran pemerintah sangat terbatas. Solusi jangka pendek masyarakat disepanjang aliran sungai mesti membangun ketahanan pangan. Untuk relokasi kita serahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat melalui pemerintahan  desa,” sebutnya.

Martinus Dahlan, Pejabat Bupati Kepulauan Mentawai,  mengatakan,  akan membahas rencana relokasi ini. “Kawasan di sepanjang bantaran sungai di Siberut rawan banjir mesti kita relokasi. Termasuk juga pemukiman warga yang sering terkena dampak banjir rob atau pasang naik air laut, seperti di Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara,” katanya.

 

Distribusi bantuan berupa pakaian dan selimut di beberapa desa yang terdampak banjir di Siberut, kabupaten kepulauan Mentawai. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Hutan di hulu tergerus

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Mentawai, daerah-daerah yang mengalami banjir sudah masuk risiko sedang dan tinggi. “Selain sifatnya yang alami, kejadian ini tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang,” katanya tertulis kepada Mongabay.

Model pemanfaatan hutan untuk daerah yang tak tepat, membuat Pemerintah Kepulauan Mentawai akan memasukkan dalam skema perhutanan sosial. “Namun RTRW ini kandas, karena ada izin HPH dan HTI.”

Menurut dia, lokasi-lokasi yang mengalami banjir di Pulau Siberut seperti Desa Sirilanggai dan Monganpoula di Siberut Utara dan Policoman,  adalah daerah dengan hulu konsesi perusahaan kayu yang mendapat izin pemanfaatan hasil hutan kayu oleh Kementerian Kehutanan—kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Banjir ini, katanya, tidak bisa terpisahkan dari hutan yang terdegradasi oleh pemberian konsesi.

Tentu saja yang paling bertanggung jawab atas kejadian banjir itu adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Kami meminta Siti Nurbaya, Menteri LHK datang ke Mentawai dan evaluasi tentang kelayakan beban konsesi di Siberut sekaligus meminta maaf kepada masyarakat Siberut yang mengalami banjir dan kerugian lainnya akibat pemberian konsesi.”

 

Penanganan banjir di kawasan pemukiman warga sepanjang bantaran sungai di Pulau Siberut tidak akan bisa diselesaikan oleh pemerintah desa atau kecamatan saja. Perlu peran pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk relokasi kawasan. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Senada diungkapkan Walhi Sumatera Barat. Banjir di beberapa desa di Pulau Siberut tidak bisa lepas dari kerusakan ekosistem DAS di Mentawai. Siberut yang sebagian besar berhutan yang terus alami deforestasi.

“Deforestasi ini dipicu karena kegiatan perizinan HTI ataupun HPH yang sudah mengepung semua lahan di Siberut (sejak 1970-an). Pulau ini tercatat dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam dan hutan tanaman industri,” kata Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar.

Dia sebut beberapa perusahaan yang punya izin dari 1970-an-1990-an, seperti PT Andatau, PT Tridatu dan PT Cirebon Agung. Sempat terhenti sebentar, kemudian pengambilan kayu lanjut oleh PT Koperasi Andalas Madani (2001-2007). Di Kecamatan Siberut Utara terdapat izin PT Salaki Summa Sejahtera Seluas 47.605 hektar (2004), di Kecamatan Siberut Tengah dan Utara izin PT Biomas Andalan Energi seluas 19.876,59 hektar (2018).

“Terbaru Biomass Andalan Energi.  Pembukaan kawasan hutan tentu akan terjadi besar-besaran,  risiko ancaman dan bencana ekologis menyertai kehidupan masyarakat di Pulau Siberut,” katanya.

Sebelumnya, HPH telah memberikan dampak buruk, bahkan tanah dan hutan adat yang selama ini mendukung kehidupan dan kearifan lokal masyarakat juga harus dipertaruhkan untuk kepentingan bisnis energi.

Dalam dokumen RTRW disebutkan,  wilayah DAS tiga sungai yang masuk dalam rencana lokasi HTI merupakan daerah risiko tinggi bencana banjir. Karena itu,  harus dikelola sesuai kearifan lokal.

Walhi Sumbar meminta ketegasan pemerintah  agar pemulihan kembali kondisi alam di Siberut.

 

Kawasan hulu sungai yang masuk ke dalam konsesi perusahaan kayu di Siberut Utara. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Isril Berd, ahli daerah aliran sungai (DAS) dan lingkungan, menyebut,  geofisik Siberut memiliki hutan dan sungai dengan topografi wilayah ke pinggir pantai lebih rendah. Sedangkan bagian tengah perbukitan dengan ketinggian sekitar 300 meter merupakan hulu-hulu sungai yang banyak di Siberut, terutama Siberut Utara.

“Banjir terparah sering terjadi di Siberut Utara,” sebutnya.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas ini mengatakan, jauh sebelum banjir seperti ini, sekitar 1970-an, hutan di Siberut masih bagus. Ketika HPH keluar di Pulau Mentawai terutama Siberut, mulai terjadi pembukaan hutan.

“Kalau tutupan hutan alami diubah menjadi peruntukan lain atau dieksploitasi, akan susah dikembalikan ke bentuk semula, walaupun ditanami lagi, direboisasi,” katanya kepada Mongabay baru-baru ini.

Ketika hutan sudah terbuka dan belum ditutupi sempurna dalam rentang waktu 2-3 tahun, berpeluang erosi. Kondisi ini terjadi di Siberut, walaupun ada Taman Nasional Siberut (TNS) namun tidak terkawal baik karena berada di daerah terpencil. Ditambah lagi pembukaan lahan untuk ladang.

“Terjadi perubahan tata guna lahan, hutan alami dan hutan bakau sudah dibuka. Daerah terbuka bila diguyur hujan, apalagi intensitas tergolong tinggi tentu terjadi banjir.”

Sebagai contoh, kalau intensitas hujan 10 milimeter per hektar berarti 100 meter kubik air tertampung. Ketika hujan tak tertampung sungai, akan melimpah menjadi banjir diperparah kondisi hutan kritis.

“Kondisi ini yang menyebabkan banjir. Perlu penertiban kembali pembukaan hutan, sasarannya HPH yang diberikan izin,” ujar Isril.

Isril menyebut, di Siberut banyak sungai berhulu dari daerah dengan ketinggian 300-400 meter. Kalau hulu terbuka, air tidak terserap baik ke tanah, melainkan di permukaan. Lebih banyak run-off, sekalian ikut menggerus permukaan tanah, membawa sedimen yang jadikan sungai dangkal. Ketika dangkal, kemampuan sungai mengalirkan debit air terbatas, air meluap dan mengalir ke hilir hingga perkampungan warga.

Paling penting, hulu sungai dibenahi dengan memulihkan hutan. “Jika banjir terjadi, kita tidak hanya rugi harta tapi juga nyawa terancam.”

 

Warga yang terdampak banjir menggunakan Pompong (perahu kayu) sebagai sarana transportasi. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

**********

 

Exit mobile version