Mongabay.co.id

Radith Giantiano, Generasi Muda NTT yang Peduli Perubahan Iklim

 

 

Baca sebelumnya:

Perubahan Iklim, Antara Aksi dan Adaptasi Masyarakat NTT

Apa Dampak Perubahan Iklim Bagi Nelayan NTT?

**

 

Cuaca pagi cerah, saat mobil kami bergerak ke arah barat Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], Selasa [15/11/2022].

Gundukan batu tampak berjejer di pesisir pantai, ketika kami memasuki Kecamatan Alak. Bebatuan di perairan Teluk Kupang itu terbentuk akibat dampak Badai Seroja, April 2021 lalu. Saat air laut surut, batu-batu itu terlihat seperti pagar yang membatasi laut dangkal dan laut dalam.

Ditemani Miu, staf Yayasan Pikul, saya menemui anak muda kreatif, yang juga menjabat Ketua RT 25 RW 08 Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Namanya Radith Giantiano.

“Dulu tempat ini rapi, banyak buku bacaan anak-anak. Sekarang agak terbengkalai, karena kegiatan saya banyak tercurah di komunitas,” terang Radith.

Dia mengenang masa silamnya yang putus sekolah kelas 3 Sekolah Dasar [SD], lalu melaut  sebagai nelayan, mengikuti jejak ayahnya. Dia pernah ikut kapal nelayan lokal hingga menetap sementara di Larantuka, Flores Timur.

“Banyak pelajaran hidup yang saya dapat, hingga bisa berkenalan dan bersosialisasi dengan banyak orang,” ucapnya.

 

Radith Giantiano, anak muda di Kelurahan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang peduli lingkungan dan perubahan iklim. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ajak generasi muda

Kelurahan Alak merupakan daerah industri. Ada PT. Pelindo, Perum Bulog, Pertamina, Pelabuhan Perikanan, hingga tempat pembuangan akhir [TPA] sampah.

“Banyak industri, tapi yang kami dapat hanya polusi. TPA kemarin terbakar, kami dapat asap. Sementara PT. Semen Kupang yang mengeluarkan polusi udara, sudah tidak beroperasi,” tuturnya.

Pesisir Alak juga kerap menampung sampah kiriman, saat arus laut bergerak ke barat Teluk Kupang. Air dari Kali Namosain dan Tenau turut membawa sampah ke laut.

“Kalau tidak dibersihkan setiap hari, sampah terbawa arus lagi,” paparnya.

Radith mengangkut sampah pantai, sejak tahun 2012, sendirian. Bahkan, dia juga memungut sampah yang berserakan di jalan raya.

“Banyak yang bilang, saya “gila” dan kurang kerjaan.”

Lajang kelahiran Kupang, 12 Februari 1993 ini, tidak putus asa. Saat menyelam pun, dia kerap mengambil sampah yang tersangkut di terumbu karang.

“Kalau biota laut tertutup sampah, mereka akan menjerit. Tiap hari beta [saya] membersihkan sampah sembari ajak generasi muda, terutama mereka yang sering main bola di pantai.”

Sosialisasi pun dia lakukan kepada 59 KK warga di lingkungannya, untuk peduli lingkungan dan tidak buang sampah sembarangan.

“Bila kita bersahabat dengan alam, tanpa kita sadari alam akan menjaga kita,” pesannya.

 

Anak-anak mandi dan di pantai Kelurahan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang dipenuhi lumut laut. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dampak perubahan iklim

Tahun 2014, Radith bergabung dengan Underwater Kupang. Komunitas ini rutin melakukan restorasi karang dan juga membersihkan sampah di laut.

Radith juga aktif di beberapa komunitas seperti Free Diving Kupang, Bukan Sekedar Pesiar, Taman Baca Anak Pinggiran Indonesia [API], Extention Rebellion, dan Taruna Peduli Alak [Tapeda].

Juga, di komunitas pengawas pantai Relawan Kamla NTT, Timor Trip Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia [POSSI] NTT, serta Barisan Pemuda Adat Nusantara [BPAN].

“Saya ikut komunitas untuk pengembangan diri, karena saya tidak sekolah. Dari sini, saya mendapat teman, pengetahuan dan pengalaman baru, serta relasi,” ujarnya.

Radith terkenang tahun 2016, saat menyelam dan melihat pemutihan terumbu karang akibat pemanasan global. NTT merupakan daerah yang terdampak perubahan iklim.

“Sekarang, panasnya makin menyengat. Krisis iklim akan berdampak pada krisis ekonomi, pangan, kesehatan, dan air bersih. Kami di NTT susah air, di Kecamatan Alak, kami membeli air dari tanki seharga Rp120 ribu,” ujarnya.

 

Perahu nelayan tradisional terlihat di pesisir pantai Kelurahan Nunbaun Sabu, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Aktif kampanye lingkungan

Ridwan Arif, PIC Koaksi Indonesia untuk Program Voices for Just Climate Action [VCA] atau Suara untuk Aksi Iklim Berkeadilan mengatakan, selain sebagai anak muda pesisir yang berprofesi sebagai nelayan, Radith juga aktif dengan komunitas anak muda peduli lingkungan.

Ridwan menambahkan, dari temuan Radith dan komunitasnya, terdapat terumbu karang di deretan Teluk Kupang yang rusak akibat badai Seroja. Kondisi ini dirasakan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup di bibir pantai. Rumah ikan yang rusak menyebabkan mereka melaut ke tempat lebih jauh.

“Dia dan komunitasnya, melakukan transplantasi terumbu karang, baik karena Badai Siklon Seroja maupun coral bleaching akibat pemanasan suhu muka laut,” ungkapnya.

Radith juga aktif di komunitas XR Kupang, gerakan anak muda peduli lingkungan. Dia berkontribusi di berbagai kegiatan, menjadi pembicara di mimbar rakyat saat perayaan Hari Lingkungan Hidup.

“Radith pun menjabat Sekjen Nelayan Bersatu Kota Kupang, yang selalu mendorong isu perubahan iklim di level pemerintah,” pungkasnya.

 

Exit mobile version