Mongabay.co.id

Penyakit Warga Sekitar PLTU Pangkalan Susu, dari Gatal-gatal sampai Paru-paru Hitam

 

 

 

Selama enam bulan dalam tahun ini, Yayasan Srikandi Lestari melakukan pendataan antara lain soal kesehatan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan PLTU batubara Pangkalan Susu, di Langkat, Sumatera Utara. Kajian Yayasan ini dilakukan di lima desa, yakni, Desa Pulau Sembilan, Pintu Air, Tanjung Pasir Beras Basa, dan Lubuk Kertang.

Hasilnya, temuan penyakit-penyakit yang diderita masyarakat sekitar PLTU Pangkalan Susu, dengan tertinggi gatal–gatal (243 kasus), batuk atau sesak napas/ISPA (42), hipertensi  (39), dan paru hitam ( 4) sampai tiroid. Setidaknya, tiga orang meninggal dunia karena paru hitam dan satu paru-paru hancur.

Untuk kasus kesehatan anak, Yayasan Srikandi Lestari juga mendapatkan temuan-temuan baru, ada 60 anak dari lima desa yang terdata mengalami gatal-gatal akut. Saat ini,  anak-anak maupun orang dewasa harus mengkonsumsi obat–obatan setiap hari agar penyakit gatal-gatal tak kambuh.

Banyak anak memilih tak bersekolah karena menerima ejekan akibat tangan melepuh, berdarah dan bernanah bahkan tidak bisa memegang pensil untuk menulis.

Temuan itu memperlihatkan, tak semua orang tua mampu memberikan obat-obatan paten kepada anaknya.

Beban hidup makin berat karena ada biaya tambahan untuk kesehatan atau obat-obatan hingga membuat warga makin miskin di tengah pendapatan tidak memadai. Beberapa anak harus disuntik rutin untuk menghilangkan gatal-gatal di sekujur tubuh.


Sedang data penyakit yang diderita masyarakat lima desa berdasarkan Puskesmas Beras Basa antara lain penyakit ISPA pada 2019, ada 3.526 kasus, 2020 (3.608 kasus), 2021 ada 2.547 kasus dan turun lagi pada 2022 jadi 1.786 kasus. Kemudian, penyakit peradangan pada lambung pada 2019 ada 1.623 kasus, 1.431 kasus (2020), 2021 sebanyak 1.297 kasus dan 2022 ada 1.028 kasus.

Sumiati mengatakan, penyakit menimpa warga antara lain karena polusi partikel halus PM2.5 yang mengandung zat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Sejak kecil, katanya,  anak-anak di sekitar PLTU Pangkalan Susu sudah diracuni dan terpapar asap batubara hingga mereka terkena penyakit seperti ISPA.

“Pemerintah harus segera mempensiunkan PLTU Pangkalan Susu yang menyengsarakan hidup rakyat, ” kata Sumiati.

Mereka menyampaikan beberapa poin tuntutan, pertama,  mendesak Pemerintah Indonesia mempensiunkan dini PLTU Pangkalan Susu dan segera beralih ke energ terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan.

 

Batubara berceceran di tepian pesisir dekat PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kedua,  menolak semua pendanaan solusi palsu transisi energi seperti gas bumi, semua bentuk co-firing batubara dan biomassa, nuklir, maupun penerapan carbon capture and storage pada PLTU batubara.

Ketiga, pemulihan kerusakan baik lingkungan, pemulihan kesehatan, pemulihan sektor pertanian dan perikanan karena pembakaran batubara di PLTU Pangkalan Susu. Keempat, menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM dari industri  ekstraktif.

Hadi Prayitno, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia mengatakan, data Kementerian Kesehatan, dampak pencemaran PM 2,5 dapat menyebabkan penyumbatan darah di otak, pneumonia, stroke,  kanker paru-paru, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan alergi. “Ini semua benar-benar terjadi.”

Berdasarkan temuan dari Yayasan Srikandi Lestari di PLTU Pangkalan Susu, katanya, cerobong tak gunakan penyaring sangat berbahaya karena banyak partikel-partikel berbahaya bakal terhirup manusia.

Dampak PLTU batubara juga penyebab terbesar krisis iklim. Penyumbang terbesar gas rumah kaca, katanya, adalah energi dari  fosil  baik batubara dan minyak bumi ini.

Wina Khairina, antropolog Articula mengatakan,  kebijakan pengaturan atas sumber daya alam oleh Pemerintah Indonesia menyebabkan ketersingkiran masyarakat sebagai subyek dari ruang hidup.

 

PLTU Pangkalan Susu di tepian laut. Dari sana juga ada saluran limbah cair yang masuk ke laut. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Wina pun memberikan sejumlah rekomendasi , yaitu,  Pemerintah Sumatera Utara beserta instansi terkait melibatkan multi pihak untuk monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kepatuhan PLTU Pangkalan Susu terutama standar keamanan abu (fly ash and bottom ash/FABA)  maupun pembuangan air limbah.

BNPB, katanya, juga  perlu upaya mitigasi kebencanaan terhadap warga terdampak dan potensi terdampak degradasi lahan, kerusakan ketahanan pangan dan bencana kesehatan publik di sekitar Pangkalan Susu.

Pemerintah Indonesia,  katanya, harus melakukan kaji ulang dan percepatan implementasi kebijakan pengurangan energi fosil di Indonesia dengan memperhatikan suara masyarakat.

Masyarakat terdampak PLTU Pangkalan Susu juga harus memperkuat diri agar memiliki kemampuan lebih besar untuk menngartikulasikan hak atas lingkungan yang baik, kesehatan dan ketahanan maupun kedaulatan pangan.

“Dukungan organisasi masyarakat sipil, akademisi dan jurnalis untuk pendidikan dan penyadaran kritis masyarakat lokal atas hak-haknya untuk transformasi sosial penting.”

 

Aksi masyarakat Sumatera Utara suarakan setop energi fosil. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ali Akbar,  Koordinator Sumatera Terang Untuk Energi Bersih (STUEB) dari Yayasan  Kanopi Indonesia mengatakan, negara-negara maju dalam mekanisme pendanaan transisi energi harus memperhatikan beberapa hal.

Pertama, tak memberikan ruang terhadap pendanaan solusi palsu transisi energi. Beberapa solusi palsu yang sekarang jadi wacana dominan di Indonesia seperti seperti gas bumi, semua bentuk co-firing batubara, nuklir, penerapan carbon capture and storage pada PLTU batubara, dan hilirisasi batubara. Juga, bentuk-bentuk solusi palsu lain termasuk alih teknologi kotor dari negara-negara maju dan pihak-pihak lain.

Kedua, memastikan mekanisme pendanaan bagi transisi energi berjalan transparan. Pemimpin negara maju, katanya, perlu membuka informasi dan ruang dialog terkait mekanisme pendanaan transisi energi di Indonesia kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk rakyat atau korban terdampak.

 

Sebuah PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibt debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando

*******

Exit mobile version