Mongabay.co.id

Banyuurip, Kawasan Ekowisata Mangrove yang Menjadi Persinggahan Burung Migran

 

 

Banyuurip Mangrove Center [BMC] adalah kawasan ekowisata mangrove yang terletak di Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Awalnya, wilayah ini merupakan lahan tidak terawat. Gersang, karena hutan mangrove ditebang liar sejak 1990-an hingga tahun 2000. Areal ini hanya sebagai tempat pelelangan ikan [TPI], bahkan dijadikan pula lokasi pembuangan cangkang kerang.

“Istilahnya tempat pembuangan sampah tidak resmi, sehingga kondisinya kumuh,” ujar Fauzi, Kepala Dusun Kaklak, Desa Banyuurip, baru-baru ini.

Baca: KEE Ujung Pangkah: Antara Mangrove, Burung Migran, dan Ekonomi Masyarakat

 

Bbit mangrove ini siap disemai di Banyuurip Mangrove Center. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Lalu, bagaimana area ini bisa menjadi tujuan ekowisata?

Fauzi menyebut, 2014 sebagai awal munculnya BMC. Langkah awal dilakukan masyarakat dan sejumlah pihak dengan membersihkan sampah, lalu membeli lahan baru sebagai tempat relokasi pembuangan sampah desa yang resmi.

“Pengurus nelayan melakukan pengerukan di sekitar TPI, setelah sampah kulit kerang dibersihkan.”

Awal mula BMC dikenal luas, berawal dari media sosial tentang “jembatan cinta”. Jembatan melengkung sebagai jogging track ini dibangun sebagai daya tarik masyarakat untuk datang.

“BMC memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Bagi desa, sebagai pemasukan baru sekaligus lingkungan terjaga. Sebelum pandemi, sekitar 100 hingga 200 pengunjung hadir setiap hari.”

Luas BMC sekitar 32 hektar. Lokasi ini menjadi tempat persinggahan burung migran. Di sini ada juga kepiting, kerang, dan keanekaragaman hayati lain sebagai daya tarik wisatawan.

“BMC juga kerja sama dengan universitas untuk budidaya kerang, yang sudah tiga tahun berjalan,” tutur Fauzi.

Baca: KEE Mangrove Ujung Pangkah, Lokasi Seru Melihat Burung Air

 

Bibit mangrove yang baru ditanam dekat muara Desa Banyuurip, dipasangi bambu penahan abrasi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Fungsi lingkungan dikembalikan

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif PUPUK Surabaya, Ike Sulistiowati. Dulunya, kawasan ini sangat kotor, bau, tandus, dan limbah kulit kerang berserakan. PUPUK [Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil] yang mendampingi masyarakat sejak awal [2014] melihat, mangrove Banyuurip perlu ditata dan dikembalikan fungsinya lingkungannya.

Perbaikan infrastruktur serta peningkatan ekonomi masyarakat pun dilakukan. Tujuannya, menjadikan kawasan ini sebagai ekowisata.

“Pertama, lingkungan atau mangrove harus sehat. Bila mangrove terjaga lingkungan asri, dan tentunya mencegah abrasi. Dari ekowisata diharapkan pula meningkatkan ekonomi masyarakat,” jelasnya.

Baca juga: Kucing Bakau Terpantau di Hutan Mangrove Wonorejo, Bagaimana Perlindungan Habitatnya?

 

Dua nelayan Banyuurip mengangkat ember berisi kerang menuju tempat pelelangan ikan untuk dijual ke pengepul. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Dari penanaman mangrove secara mandiri yang kami lakukan bersama masyarakat dan mitra sebanyak 1.000 bibit, muncul ide membuat rumah pembibitan mangrove. Bibit awal yang dibeli dari Tuban, Lamongan, dan Banyuurip, kami kembangkan.

“Usaha pembibitan mangrove berlangsung sampai sekarang. Selain itu, rumah pembibitan dijadikan media belajar dan edukasi pentingnya menanam mangrove. Wisata edukasi ini menjadi daya tarik pengunjung dari Gresik hingga dari luar kota,” jelasnya.

Model ekowisata yang dikelola masyarakat Banyuurip diharapkan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan.

“Lingkungan berpengaruh untuk keselamatan masyarakat sekitar. Kita perlu memperbanyak orang-orang yang mau memikirkan dan berbuat untuk lingkungan,” pungkas Ike.

 

Burung migran tengah mencari ikan kecil di mangrove Ujung Pangkah. Foto: Dok. ARuPA

 

Exit mobile version