- Sejak beberapa tahun belakangan ini, orangutan Tapanuli makin sering masuk perkebunan warga di Tapanuli Selatan. Dugaan kuat, pembukaan hutan dan lahan seperti proyek pembangunan PLTA yang sedang berlangsung di habitat orangutan menyebabkan satwa ini makin terdesak dan kesulitan cari makan. Di Dusun Sitandiang, Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, misal, orangutan Tapanuli ‘panen’ durian di kebun warga. Warga mencoba mengusir, tetapi tak berhasil.
- Orangutan Tapanuli yang masuk ke kebun atau ladang warga, bukan hanya ambil buah lalu pergi, mereka juga bikin sarang. Di kebun durian, misal, dari sebelum buah siap makan, orangutan sudah bikin sarang terlebih dahulu. Setelah buah habis, baru pindah mencari rumah dan tempat makan baru.
- Konflik orangutan dan warga tidak hanya terjadi di Dusun Sitandiang dan Luat Lombang, juga di desa lain di areal ring satu proyek pembangunan PLTA. Seperti di Dusun Paske, Desa Aek Batang Paya, berseberangan dengan Dusun Sitandiang. Kedua dusun merupakan koridor orangutan Tapanuli. Awaluddin Siregar, Kepala Dusun Paske, mengatakan, tahun lalu ladangnya yang ditanami durian dikuasai orangutan. Saat itu, buah durian di ladangnya habis dimakan orangutan.
- Rudianto Saragih Napitu, Kepala BKSDA Sumut ketika ditanya mengenai konflik itu mengatakan, warga sebenarnya sudah sangat resah dengan konflik yang terjadi hingga mereka turun merelokasi orangutan itu. Meskipun sudah relokasi masih ada kemungkinan orangutan kembali ke lokasi semula.
Dua orangutan Tapanuli keluar masuk area perladangan atau perkebunan warga di Dusun Sitandiang, Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, September lalu. Orangutan ‘panen’ durian di kebun warga. Mereka mencoba mengusir, tetapi tak berhasil.
Dalam tahun ini, orangutan Tapanuli makin sering datang ke areal perladangan warga bahkan membuat sarang di sana.
Bullah Hutasuhut, warga Dusun Sitandiang menceritakan, orangutan makin sering masuk dusun.
“Dulu, kadang orangutan mau datang [ke area perladangan], tapi tidak sesering sekarang,” kata kakek 66 tahun ini.
Selama setahun ini, katanya, hampir setiap minggu orangutan Tapanuli masuk perladangan warga. Masyarakat, katanya, jadi dilema. Satu sisi orangutan perlu tempat cari makan tetapi buah seperti durian itu juga sumber pencarian warga.
Dulu, katanya, mereka tak pernah bermasalah dengan orangutan. Sekarang, konflik seringkali tak bisa dihindari.
Dia bilang, bukan satu dua kali saja buah-buahan di kehun diambil orangutan, tetapi sering hingga warga resah. Bersyukur, kata Bullah, warga tak sampai nekat atau membunuh satwa langka ini. “Biasa, kami hanya mengusir dengan membakar api unggun.”
Baca juga: KTT Keragaman Jayati: Jaga Batang Toru, Lindungi Habitat Terakhir Orangutan Tapanuli
Orangutan mulai sering masuk perkampungan kala hutan terbuka, antara lain untuk proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan insfrastrktur pendukungnya.
“Sejak proyek PLTA (pembangkit listrik tenaga air) ini dibuka makin sering orangutan datang ke ladang masyarakat,” katanya.
PLTA Batang Toru sedang dibangun di hutan Batang Toru dengan rencana kapasitas 510 MW itu. Pembangkit dibangun di daerah yang terkoneksi dengan Sungai Batang Toru, meliputi tiga kecamatan di Tapanuli Selatan, yakni, Sipirok, Marancar dan Batang Toru yang meliputi 17 desa.
Proyek dengan pelaksana PT North Sumatra Hydro Enegry (NSHE) sudah mulai tahap prakonstruksi sejak 21 Desember 2015, setelah penandatanganan perjanjian jual beli listrik antara PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dengan PT PLN.
Pembangunan infrastruktur seperti berlangsung. Saat ini, proses bangun konstruksi seperti bikin terowongan dengan pelaksana perusahaan BUMN, PT Danaha (Persero).
Terowongan terbentang sepanjang 12,5 km melintas dari Desa Sipirok sampai Desa Marancar, Tapanuli Selatan. Dalam proses pembangunan terowongan ini dilaporkan beberapa kali pekerja tewas tertimpa timbunan material saat penggalian.
Dari dokumen analisis dampak lingkungan (Andal), NSHE mendapat izin operasi seluas 6.598,35 hektar. Seluas 447 hektar untuk pembangunan bendungan, areal quarry, spoil bank, powerhouse dan fasilitas pendukung.
Waduk bakal seluas 66 hektar dengan air akan terbendung selama 18 jam dan gerbang air buka selama enam jam.
Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru
PLTA ini dibangun NSHE bekerja sama dengan Sinohydro, sebuah perusahaan konstruksi asal Tiongkok, juga didukung pendanaan dari Bank of China. Bank ini kemudian mengumumkan peninjauan setelah menerima sejumlah keberatan dari para pegiat lingkungan. Pada 2019, Bank of China tak jadi mendanai proyek ini.
Adapun kepemilihan saham NSHE sebesar 52,82% dari PT Dharma Hydro Nusantara, sekitar 25% PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dan 22,18% Fareast Green Energy Pte Ltd.
Dalam dokumen NSHE dari Direktorat Jenderal AHU, Kementerian Hukum dan HAM, per 10 November lalu, saham mayoritas tetap sama di tangan Dharma Hydro tetapi komisaris utama Zhang Kaihong, warga Tiongkok.
Dalam laporan tahunan 2021, SDIC Power Holdings. Ltd, perusahaan negara Tiongkok, menguasai kepemilikan saham di pembangkit air di Batang Toru ini. Dalam data Ditjen AHU, yang menyebutkan kalau Zhang Kaihong sebagai komosioner utama PT Dharma Hydro, juga merupakan Wakil Presiden SDIC Power Holdings. Ltd.
Sejak akhir September 2022, Mongabay berupaya mengkonfirmasi kepada NSHE seputar pembangunan proyek pembangkit listrik Batang Toru ini. Mongabay mengontak orang perusahaan yang kemudian memberi email perusahaan. Mongabay diminta mengirimkan surat permohonan wawancara dan konfirmasi ke email itu.
Pada 3 Oktober Mongabay mengirimkan surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan ke email perusahaan bamun, sampai liputan ini terbit, NSHE tidak memberiksan balasan.
“Waktu mula-mula dibuka, orangutan datang sering ke pinggir jalan, berkisar tahun 2017. Masyarakat sempat takut ke kebun karena ada orang utan berkeliaran,” kata Muara Siregar, Kepala Desa Luat Lombang yang ditemui Mongabay.
Saat ini, katanya, orangutan itu datang saat musim buah seperti durian. “Mereka datang ke pemukiman. Kek mana [nggak keluar dari habitat], alat berat ada di sana [di dalam areal proyek],” katanya.
Baca juga: Walhi Gugat Gubernur Sumut soal Izin Lingkungan PLTA Batang Toru
Kemunculan orangutan, apalagi saat mulai musim durian sekitar September, kadang meresahkan masyarakat. Orangutan bertahan di pohon dan membuat sarang. Kalau dibiarkan, buah durian warga akan habis. Bila diusir, orangutan itu kadang kala melempar warga. Sempat terpikir untuk menembak, tetapi warga paham akibatnya berhadapan dengan hukum. Untuk mengusir orangutan, warga pun memasang api di kebun.
“Dulu, tidak seperti itu. Sebelum ada proyek ini tidak pernah ada. Harus jauh kita ke hutan baru nampak orangutan. Itu pun sarangnya yang nampak. Sekarang ratusan meter sudah nampak. Tempatnya dulu sudah tidak dapat lagi ia tempati,” kata Muara.
Konflik orangutan tidak hanya terjadi di Dusun Sitandiang dan Luat Lombang, juga di desa lain di areal ring satu proyek pembangunan PLTA.
Seperti di Dusun Paske, Desa Aek Batang Paya, berseberangan dengan Dusun Sitandiang. Kedua dusun merupakan koridor orangutan Tapanuli.
Awaluddin Siregar, Kepala Dusun Paske, mengatakan, tahun lalu ladangnya yang ditanami durian dikuasai orangutan. Saat itu, buah durian di ladangnya habis dimakan orangutan.
“Habis semua buahnya, tak ada sisa,” katanya saat ditemui Mongabay.
Peneliti orangutan di Sumatera Utara, Onrizal, dalam sejumlah risetnya menemukan bahwa jumlahnya kini tidak lebih dari 800 individu.
Dalam artikel di Mongabay, Onrizal mengatakan, pembukaan lahan di hutan Batang Toru baik di dalam maupun luar kawasan hutan yang didukung dengan penggunaan alat berat, misal, pembangunan PLTA, akan memicu kerusakan dan kehilangan hutan lebih besar dibandingkan perambahan manual.
Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli
Dulu tak ada masalah
Orangutan bukan satwa baru bagi masyarakat yang hidup di sekitar bentang Batang Toru.
Bullah bilang, generasi keempat dusun yang dikenal begitu sering bertemu orangutan itu, selama puluhan tahun, bahkan sejak tahun 1960-an, warga dusun hidup rukun berdampingan dengan orangutan. Dulu, katanya, tidak pernah terjadi konflik antara orangutan dan warga. Orangutan hidup nyaman di habitat, dan warga bertani tanpa gangguan.
Sejak dulu, katanya, warga enggan memburu orangutan karena juga dianggap hewan keramat.
“Ada keyakinan, siapa yang menyakiti orangutan bisa kena bala, maka bisa dikatakan hewan yang dianggap keramat juga,” katanya.
Orangutan, katanya, juga punya peran besar menjaga ekosistem hutan. Kalau bukan orangutan, makluk apa yang membuat tanaman keras tumbuh menyebar, seperti durian, petai, dan jengkol, bisa tumbuh sumbur hingga pedalaman hutan belantara, kalau bukan orangutan.
“Orangutan itu biasa setelah memakan, buah [biji], akan dicampakkan di hutan, biasa akan tumbuh. Maka kadang kita bisa menemukan pokok durian jauh sampai hutan sana.”
Masalah kini terjadi, orangutan seakan kehilangan rumah dan tempat mencari makan. “Kalau tak terjadi sesuatu di hutan, mana mungkin orangutan keluar cari makan sampai ke sini,” kata Bullah.
Kami menyusuri hutan di dekat dusun. Jalan terjal, curam dan melintasi anak sungai sepanjang lebih dari tiga kilometer memutar, kami menemukan sarang orangutan di pohon durian.
Konon, bila orangutan membuat sarang, ia ingin tinggal lebih lama di sana. Bullah duga, orangutan menanti durian siap petik. Setelah itu, orangutan akan meninggalkan sarang dan membuat sarang baru di lokasi tempat mencari makan baru.
“Orangutan itu datang ke sini memang mau cari makan, tahu durian itu berbuah, buat sarang di sana. Setelah durian habis, pergi meninggalkan sarang, lalu mencari makan ke tempat lain,” kata Bullah, seraya menunjuk sarang orang utan di pohon durian.
Dia khawatir bila konflik ini terus terjadi, akan berujung amarah warga, bahkan rentan dengan perburuan yang berpotensi mempercepat kepunahan.
Dua hari setelah Mongabay mengunjungi lokasi yang didatangi orangutan, pada awal September 2022, tim yang lebih sepekan memantau kehadiran orangutan, menangkap dan merelokasi satu orangutan ke Hutan Aek Latong, Tapanuli Selatan.
Rudianto Saragih Napitu, Kepala BKSDA Sumut ketika ditanya mengenai konflik itu mengatakan, warga sebenarnya sudah sangat resah dengan konflik yang terjadi hingga mereka turun merelokasi orangutan itu.
Meskipun sudah relokasi masih ada kemungkinan orangutan kembali ke lokasi semula.
“Meski direlokasi ke tempat lain, masih ada kemungkinan akan kembali lagi ke sana, karena itu mungkin koridornya,” katanya saat temu pers di Medan.
*******