- Para petani di lahan pengembangan pangan skala besar (food estate) di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, menceritakan beragam persoalan yang mereka hadapi setelah desa mereka jadi lahan food estate ini.
- Sebelum jadi food estate, petani di Desa Ria-Ria hidup dari hasil kopi, padi, kemenyan dan andaliman. Sumber penghasil jauh lebih besar daripada bertani atau ‘bekerja’ di food estate.
- Dalam penelitian lapangan FIAN Indonesia juga mengidentifikasi, masalah pokok dari food estate Sumatera Utara adalah kondisi spesifik-konkret pertanian pangan setempat terabaikan dalam mekanisme pembangunan pertanian pangan.Hal ini berasosiasi dengan penyelenggaraan proyek yang bersifat top-down dan serba cepat. Kondisi spesifik yang dimaksud berkaitan dengan aspek historis, kultural, sosial-ekonomi, dan lingkungan.
- Walhi Sumatera Utara bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara, lakukan penelitian di lahan food estate. Hasilnya, dari awal program ketahanan pangan banyak mengalami kegagalan dan ketimpangan.
Ada tanaman kentang, bawang merah dan bawang putih memenuhi bedeng-bedeng yang tertutup mulsa abu-abu. Ada juga tanaman kol, jagung dan cabai sebagai selingan. Pondok-pondok tempat beristirahat sekaligus gudang penyimpanan hasil panen terdapat di tengah-tengah lahan. Lumban Gaol, seorang petani tengah duduk beristirahat. Dia usai menanam di lahan pengembangan pangan (food estate) di Desa Ria Ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Lumban Gaol bercerita, di lahan food estate ini petani mendapatkan edukasi atas beragam produk yang akan ditanam. Namun, katanya, sebelum jadi food estate ini pun masyarakat Ria-Ria sudah berkebun seperti kopi, padi, andaliman sampai kemenyan. Masyarakat turun menurun hidup dari berkebun atau ke hutan kemenyan.
Sebelum jadi food estate, petani di desa ini hidup dari hasil kopi, padi, kemenyan dan andaliman. Sumber penghasil jauh lebih besar daripada bertani atau ‘bekerja’ di food estate.
Bayangkan saja, harga andaliman Rp100.000 per kilogram. Dalam sekali panen, mereka bisa hasilkan 60 kg andaliman, jadi dalam sebulan petani bisa dapatkan keuntungan sekitar Rp6.000.000 hanya dari andaliman. Kini, lahan-lahan yang berisi kopi sampai andaliman itu sudah jadi ‘food estate’.
Ingot Manalu, petani dari Kelompok Tani Maju pun cerita soal kesusahan bertani di lahan food estate, Dia alami kerugian karena gagal panen.
Dari 31 hektar tanah yang dikelola kelompok, seluruh tanaman bawang putih gagal panen, sedang bawang merah dan kentang hanya berhasil 50%.
Awalnya, kata Ingot, tanam di food estate berjalan lancar namun tak bertahan lama.
“Awalnya bagus, baik sosialisasi dan rincian anggaran yang akan diberikan, semua orang-orang kementerian turun untuk mendampingi langsung.”
Pada masa awal, petani mendapat bantuan bibit 200 kg per hektar, lalu pupuk 750 kg per hektar, dan tiga motor untuk mengelola lahan seluas 31 hektar.
Namun, katanya, mereka gagal panen karena pemerintah terkesan terburu-buru serta tidak paham cuaca.
Mengolah tanah yang awalnya tanah keras—sebelumnya berisi tanaman keras– harus dibajak terlebih dahulu sampai tanah gembur. Kemudian, diamkan selama tiga bulan.
Pun, tanah yang sudah dibajak dan dibiarkan selama tiga bulan, harus diberikan dolomit –kapur yang mengandung kalsium dan magnesium yang dapat menyuburkan tanah– kemudian dibajak lagi dan dibiarkan lagi selama tiga bulan. Jadi, katanya, butuh waktu enam bulan agar tanah yang ingin diolah menjadi bagus.
Namun, katanya, saat itu, pemerintah memaksa tanah diolah Oktober, harus siap tanam Desember jadi tak sesuai pola tanam petani biasanya.
“Disinikan tanah keras, banyak akar-akar keras, tanaman gak akan tumbuh.”
Belum lagi soal tak ada gudang penyimpanan yang memadai. Jadi, katanya, bibit yang datang ditumpuk begitu saja hingga banyak rusak. Akses jalan menuju lahan pun masih kurang memadai. Jadi, katanya, para petani harus pergi ke lahan melalui ‘jalan tikus’. Padahal jalan ini sangat penting karena dapat membawa pupuk dan kompos untuk tanaman bawang.
Akibatnya, banyak pupuk dan kompos tidak sampai secara tepat waktu dan membuat tanaman kekurangan nutrisi.
Petani, katanya, juga harus bertarung dengan cuaca ekstrem di Humbahas. Curah hujan sangat tinggi pada rentang September sampai Desember. Padahal , katanya, jenis tanaman umbian tidak baik kalau terus terkena air.
“Jadi kalau dibilang berhasil, kalau bagiku, balik modal pun tidak itu.”
Permasalahan pun tidak sampai disitu. Ingot bilang, pasca panen pun jadi persoalan. Saat masa masa tanam pertama itu, Direktorat Hortikultura, Kementerian Pertanian mendirikan sebuah koperasi bernama Koperasi Usaha Bersama (KUB).
Koperasi ini rencananya untuk membantu petani menjual hasil panen hingga tidak perlu melalui tengkulak.
Dari keseluruhan panen pada masa tanam satu, Ingot bilang, sekitar Rp100 juta uang petani dipegang KUB. Saat diminta untuk kirim ke rekening masing-masing petani, katanya, hanya kata ‘tunggu’ yang mereka dapat. Kurun beberapa waktu, KUB ini pun hilang begitu saja tanpa tahu kejelasan.
Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara
Memasuki masa tanam kedua, kata ingot, Kementerian Pertanian yang sebelumnya mengelola ditarik dan diambil alih Kementerian Kemaritiman dan Investasi bekerjasama dengan pemerintah daerah. Mulai masuk perusahaan yang menjadi offtaker.
Sederhananya, yang mengelola food estate ini perusahaan dengan petani. Soal bagaimana kerjasama petani dengan perusahaan, yang mengawasi adalah Kemenko Marves.
Sejak itu, seluruh modal awal untuk penanaman sampai panen dari petani.
Caranya, Kemenko Marves yang bekerjasama dengan beberapa bank memberikan kemudahan bagi petani untuk modal awal.
“Lahan ini juga harus dikerjakan banyak orang. Mana sanggup ngerjain sendiri atau beberapa orang saja. Jadi harus dipanggil orang dan dibayar untuk bisa bantu kelola tanaman ini,” katanya. Dia pun kini punya utang di bank Rp40 juta.
Ingot juga terutang dengan offtaker karena pakai bibit. Bibit itu bukan bantuan tetapi pinjaman. Pembayaran pun dilakukan saat panen tiba.
Untuk harga bibit Rp160.000 per 50 kilogram. Kalau dia hitung, sudah rugi Rp3 juta untuk bibit saja. Padahal, tanaman semua gagal.
“Utang makin banyak, lama-lama petani hanya bekerja untuk membayar utang. Karena kalau tidak dibayar, lahan ini akan disita.”
Dalam berita Mongabay, sebelumnya menyebutkan, pemerintah akan memperluas lahan untuk kebutuhan food estate di Humbahas. Pada 2022, target pengembangan food estate 1.000 hektar di tiga titik, yakni, Desa Ria-Ria, Hutajulu, dan Parsingguran I.
Saat ini, perusahaan offtaker yang aktif bekerjasama dengan petani adalah PT Parna Raya, sebagai penyedia benih bawang putih, lalu PT Euwindo (bawang merah) dan PT Indofood (benih kentang).
Mongabay berupaya menghubungi PT Parna Raya pada September lalu tetapi tidak mau memberikan keterangan. Berulang kali menghubungi via telepon tetapi sampai berita ini terbit tidak ada respon.
***
Walhi Sumatera Utara bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara, lakukan penelitian di lahan food estate. Hasilnya, dari awal program ketahanan pangan banyak mengalami kegagalan dan ketimpangan. Tidak hanya dari panen yang dirasakan langsung oleh masyarakat, juga skema dari kerjasama, sistem serta keterbukaan tentang jumlah luas kawasan food estate.
Pemerintah pusat, katanya, tak pernah secara terang-terangan membuka soal proyek ini.
Temuan Walhi dan SPI juga banyak konflik setelah ada food estate ini. Mulai dari kepemilikan lahan terutama di Desa Ria-Ria. Sertifikat tanah dari pemerintah kepada masyarakat saat itu, hanya pemanis agar mau menyerahkan lahan dan berkontribusi pada food estate ini.
Pada masa tanam pertama di Desa Ria-Ria masyarakat yang mengelola lahan food estate dapat upah Rp80.000 per hari selama tiga bulan. Upah ini untuk kerja pembersihan lahan dan perawatan tanaman.
Baca juga: Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?
Memasuki masa tanam kedua, ada skema baru, yakni kontrak dan kerjasama antara petani dengan perusahaan offtaker.
Pada skema kontrak, perusahaan mengelola tanah petani dan memiliki kuasa untuk memperkerjakan buruh tani di atas tanah yang dikontrak, . Selain itu, pengawasan benih, perawatan dan penanganan tanaman, sampai hasil panen.
Sementara pada skema kerja sama, petani masih kelola lahan alias tak ada buruh kontrak, namun mendapat dukungan dan pendampingan perusahaan terkait benih sampai dengan perawatan dan penanganan tanaman.
Penelitian ini juga menemukan terjadi dampak lingkungan dari proyek ini seperti kehilangan sumber mata air karena pembukaan hutan dan lahan. Pasalnya, pembukaan lahan di wilayah food estate, menggunduli kawasan hutan seoerti di Desa Parsingguran I dan Taman Sains dan Taman Herbal (TSTH).
Dalam penelitian lapangan FIAN Indonesia juga mengidentifikasi, masalah pokok dari food estate Sumatera Utara adalah kondisi spesifik-konkret pertanian pangan setempat terabaikan dalam mekanisme pembangunan pertanian pangan.
Hal ini berasosiasi dengan penyelenggaraan proyek yang bersifat top-down dan serba cepat. Kondisi spesifik yang dimaksud berkaitan dengan aspek historis, kultural, sosial-ekonomi, dan lingkungan.
Warga tak mudah beralih dari berkebun maupun ke hutan yang mereka tekuni turun menurun ke pertanian food estate.
“Saya dan petani di desa ini punya lahan kopi, padi, kemenyan dan andaliman. Kalau saya gak bisa hidup dari sini karena tantangan alam, model pertanian serta komoditas baru,” kata Lumban Gaol.
Baca juga: Kala Pemerintah Klaim Sukses, Begini Cerita Petani soal Food Estate di Humbang Hasundutan
*******