Mongabay.co.id

Kasus Pengrusakan Mangrove di Tolitoli Segera Disidangkan, Potret Keterancaman Mangrove di Indonesia

 

Berkas perkara kasus pengrusakan mangrove di Desa Sandana, Kecamatan Galang, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah dengan tersangka berinisial ZND (51) alias Sarkodes telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah pada hari Jumat, 2 Desember 2022, sehingga siap untuk disidangkan.

Selain menjerat tersangka ZND (51 tahun) alias Sarkodes sebagai operator lapangan, pihak Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) wilayah Sulawesi Selatan menegaskan akan mendalami kemungkinan aktor lain, hingga pemodal dan aktor intelektual di balik tindakan pengrusakan tersebut.

“Saya telah perintahkan kepada penyidik untuk mendalami keterlibatan pihak lain, yang dimungkinkan masih ada pemodal maupun aktor intelektual yang juga turut terlibat dalam perusakan mangrove tersebut,” ungkap Dodi Kurniawan, Kepala Balai Gakkum KLHK wilayah Sulawesi, di Makassar, Selasa (6/12/2022).

baca : Kasus Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar Terus Diusut, Aktivis Harap Ada Sanksi Pidana

 

Aparat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah usai melimpahkan berkas lengkap (P/21) perkara kasus pengrusakan mangrove di Desa Sandana, Tolitoli, Sulawesi Tengah dengan tersangka berinisial ZND (51) alias Sarkodes, pada Jumat, 2 Desember 2022, sehingga siap untuk disidangkan. Foto: Balai Gakkum Sulawesi

 

Menurutnya, penindakan terhadap tersangka ini merupakan bentuk keseriusan dan komitmen Gakkum KLHK wilayah Sulawesi untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan. Pihaknya berharap pelaku dapat diberikan hukum seberat-beratnya agar dapat memberikan efek jera.

“Ditetapkannya kepala desa sebagai tersangka dalam kasus pengrusakan mangrove ini, menjadi pelajaran bagi pemangku jabatan agar tidak sewenang-wenang dalam menggunakan jabatannya, sekaligus menjadi efek jera bagi orang-orang yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup,” tambahnya.

Kasus penebangan pohon mangrove yang terjadi di Desa Sandana terjadi pada September 2022 lalu, sebelumnya ditangani pihak Kejaksaan Negeri Tolitoli yang kemudian dilimpahkan kepada pihak Balai Gakkum KLHK wilayah Sulawesi untuk ditindak lanjuti dan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan UU Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat dan sempat viral di media sosial perihal terjadinya kegiatan perusakan kawasan hutan mangrove yang diduga terjadi kerugian negara akibat dari pembabatan mangrove. Kasus ini mendapat perhatian publik dan media, dan bahkan diikuti oleh aksi demonstrasi oleh sejumlah LSM dan ormas di Tolitoli.

Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi kemudian menurunkan tim untuk melakukan penyelidikan terkait kebenaran informasi tersebut. Dari hasil kegiatan penyelidikan, pengumpulan barang bukti dan saksi ahli, terbukti telah terjadi pelanggaran hukum terkait perusakan kawasan mangrove seluas 0,9 hektare dan nilai kerusakan ekosistem mencapai hampir Rp7 miliar.

Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menurunkan tim untuk menangkap pelaku ZND di Desa Sandana dan menjerat pelaku dengan Pasal 98 ayat 1 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terancam hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.10 miliar.

Menurut Kepala Seksi (Kasi) Wilayah II Palu, Balai Gakkum Wilayah Sulawesi, Subagio, sebelum menetapkan ZND sebagai tersangka, pihaknya telah memeriksa 23 orang saksi termasuk Dinas Lingkungan hidup (DLH) Kabupaten Tolitoli, Kantor Pertanahan/BPN Toli-toli, Dinas Tata Ruang, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan tim ahli.

“Menurut keterangan ahli yang dihimpun oleh tim Gakkum, kerugian negara yang ditimbulkan dari pembabatan mangrove yang terjadi di Desa Sendana dengan luas sekitar 0,9 ha ini berjumlah sekitar Rp6,9 miliar,” kata Subagio.

baca juga : Situs Mangrove Bangko Tappampang Takalar Terancam Industri Arang

 

Tim Gakkum Wilayah Sulawesi melakukan pemeriksaan di lokasi mangrove yang ditebang oleh oknum kepala desa di Desa Sandana, Kecamatan Galang, Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah. Foto: Balai Gakkum Sulawesi.

 

Berbagai Ancaman terhadap Mangrove

Yusran Nurdin Massa, Environmental Technical Advisor di Yayasan Hutan Biru (Blue Forests) mengapresiasi upaya pemerintah, khususnya Gakkum Wilayah Sulawesi, untuk menindak pelaku pengrusakan mangrove di Tolitoli ini.

Menurutnya, kasus ini hanya satu dari sekian banyak kasus pengrusakan mangrove di berbagai daerah di Indonesia, sebagai potret tata kelola mangrove kita di Indonesia yang masih mengalami ancaman alih fungsi dan degradasi ekosistem mangrove di beberapa tempat di tengah upaya pemerintah untuk melindungi dan merehabilitasi ekosistem mangrove.

“Kita berharap selain menyelesaikan kasus per kasus, upaya yang lebih komprehensif dan jangka panjang perlu diperkuat,” katanya.

Menurutnya, berbagai kasus sejenis masih terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya ekspansi perkebunan sawit di Sumatera, Riau dan Sulawesi Barat, alih fungsi untuk pengembangan pemukiman dan infrastruktur perkotaan seperti di Batam, Kepulauan Riau dan hampir seluruh wilayah perkotaan pesisir bervegetasi mangrove di Indonesia.

“Termasuk juga pembukaan tambak budidaya baru skala kecil, degradasi mangrove di Bangka Belitung akibat penambangan timah di pesisir dan berbagai ancaman lainnya,” tambahnya.

Dikatakan Yusran bahwa langkah nyata perlindungan dan pengendalian pemanfaatan mangrove perlu diperkuat dengan sejumlah kebijakan, program dan aksi nyata hingga ke tingkat tapak.

“Upaya ini perlu diselaraskan dan disinergikan dengan geliat rehabilitasi mangrove yang lumayan kencang. Pemulihan ekosistem mangrove yang rusak melalui kegiatan rehabilitasi penting, tapi konservasi dan perlindungan ekosistem mangrove yang sehat sebaiknya menjadi prioritas utama agar mangrove kita yang masih baik bisa terjaga.”

Ia berharap hutan mangrove yang tersisa saat ini sekitar 3,3 juta ha di Indonesia dapat dilindungi dengan kebijakan moratorium alih fungsi lahan untuk peruntukan lain. Ancamannya nyata baik dalam kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi) yang telah diatur dalam kebijakan yang jelas maupun di luar kawasan hutan (APL) yang mencapai 21% dari total luas mangrove di Indonesia dengan kebijakan dan peruntukan didasarkan oleh political will oleh pemerintah daerah.

baca juga : BRGM: Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah

 

Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra

 

“Saat ini sejumlah inisiatif perbaikan tata kelola mangrove perlu diperkuat bersama agar betul-betul berperan dalam perlindungan dan pengendalian. Penyusunan RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove misalnya agar betul-betul menguatkan nuansa perlindungan dan pengendalian pemanfaatan terutama sebagai upaya kita menghentikan alih fungsi lahan,” katnaya.

Ditambahkan Yusran bahwa inisiatif memperkuat kelembagaan multipihak di masing-masing daerah melalui Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) juga sebagai peluang bersama untuk memastikan tata kelola di tingkat lokal betul-betul berjalan, setidaknya bisa menjadi ”alarm” publik terhadap aktivitas merusak sekaligus sebagai corong perubahan dan perbaikan pengelolaan di daerah.

Langkah memberi efek jera terhadap pelaku pengrusakan perlu dibarengi dengan penguatan kebijakan lokal yang diamini masyarakat agar mudah diterapkan, baik melalui peraturan desa maupun kebijakan di tingkat kabupaten terutama jika kawasannya adalah Area Penggunaan Lain (APL).

“Langkah penegakan hukum ini tentunya juga sembari mengenalkan nilai mangrove bagi masyarakat. Kita sulit berharap mangrove dilindungi dan dijaga jika tidak dianggap bernilai. Upaya-upaya ini juga perlu diperkuat,” pungkasnya.

 

Exit mobile version