Mongabay.co.id

Manusia dan Gajah Hidup Berdampingan Sejak Zaman Megalitikum

 

 

Di tengah kebun cabai di Desa Gunung Megang, Jarai, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tampak sebongkah batu besar berdiri kokoh. Batu itu berbentuk manusia dengan mata bulat melotot, dahi menonjol, bibir tebal, dan rahang besar.

Tampak jelas, pahatan manusia itu mengenakan helm prajurit, membawa senjata, memakai perhiasan kalung, gelang tangan dan kaki, sembari menunggang gajah dan memegang belalainya.

Batu berukir itu adalah Arca Megalitik Pasemah, peninggalan Zaman Megalitikum atau biasa disebut Zaman Batu Besar. Ketika itu, manusia sudah dapat mengembangkan kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar.

Kebudayaan ini berkembang dari Zaman Neolitikum [10 ribu tahun Sebelum Masehi] sampai Zaman Perunggu [3,3 ribu tahun Sebelum Masehi]. Apakah manusia dan gajah sudah menjalin interaksi periode tersebut?

Baca: Fokus Liputan: Gurat Hitam Tambang Batubara di Wajah Peradaban Megalitikum

 

Arca Megalitik Pasemah, peninggalan Zaman Megalitikum atau biasa disebut Zaman Batu Besar di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Foto drone: Dimas Cahaya Putra

 

Menurut Rr. Triwurjani, peneliti dari Pusat Riset Penelitian Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional [BRIN], jawabannya adalah benar, bahwa manusia dan gajah memiliki jalinan hubungan yang dekat. Bahkan, gajah mempunyai peran tersendiri bagi kehidupan manusia dan sangat penting, dibanding hewan lainnya.

“Terbukti dari penelitian saya pada 64 arca di 24 situs pada empat lokasi, yang tersebar di Pagaralam dan Lahat. Saya menemukan 14 arca bergambar gajah,” kata penulis “Buku Arca-arca Megalitik Pasemah Sumatera Selatan, Kajian Semiotik Barthes” kepada Mongabay Indonesia pada Selasa, 8 November 2022.

Angka itu lebih banyak dibanding hewan lain yang muncul di Arca Megalitik Pasemah lainnya, seperti kerbau, babi, dan harimau.

Dari sejumlah arca gajah, posisinya ada yang ditemukan di tempat suci di kubur batu. Ini menggambarkan gajah sebagai kendaraan saat kebaktian kepada leluhur dan segala hal yang ada di luar kemampuan manusia. Arca gajah di tempat ini, memiliki makna konotasi bahwa ia adalah sesuatu diluar kemampuan manusia yang mempunyai kekuatan, namun bisa menjalin hubungan.

Kesimpulan itu berdasar pada bentuk arca megalitik yang merupakan pengembangan dari bentuk menhir, yang diberi pahatan wajah manusia di bagian atasnya. Menhir adalah batu tegak yang sengaja dibuat sebagai simbol kekuasaan dari pemimpin yang dihormati.

Apabila pemimpin tersebut meninggal maka menhir itu sebagai ‘batu peringatan’ hubungan antara yang masih hidup dengan orang yang sudah mati. Dengan demikian, arca menggambarkan bentuk kebaktian kepada leluhur dan hal-hal di luar kemampuan manusia.

“Hewan bergading itu bermakna sebuah kekuatan besar diluar manusia yang jika menjalin hubungan akan menjadi dekat dan harmonis,” jelasnya.

Baca: Tinggalan Purba dan Legenda Si Pahit Lidah yang Jaga Kawasan Kerinci Seblat

 

Arca Megalitik Pasemah di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, ini menunjukkan hubungan manusia dengan gajah. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, banyak ditemukan arca figur manusia menunggang gajah, manusia mengepit gajah, bahkan memangku gajah.

“Menunggang gajah tentu adalah tanda sebagai alat kendaraan. Namun figur manusia mengepit dan memangku tentu adalah ekpresi kasih sayang dan kedekatan yang begitu erat.”

Uniknya dari hasil pengamatan Triwurjani, figur manusia bersama gajah selalu memiliki bentuk lebih detil. Arca manusia menunggang gajah umumnya mengenakan cawat, berpakaian lengkap, serta beberapa figur membawa senjata dan nekara seperti pada arca Kota Raya Lembak.

Pada arca di situs Gunung Megang dan situs Tegur Wangi juga memakai cawat dan perhiasan anting-anting, sembari membawa pedang.

Sementara figur manusia memangku gajah, umumnya menggunakan korset dan ada pula jenis tunik. Namun, ada juga figur tidak berpakaian ketika menunggang gajah seperti di Situs Rindu Hati.

“Kedekatan dan keharmonisan hubungan gajah dengan manusia juga terlihat dari arca dengan figur manusia mengendong anak saat menunggang gajah.”

Pada gajah yang ditunggangi dan dipangku figur manusia, gambarannya selalu berukuran lebih kecil. Namun, ada pula yang berukuran sama besar, seperti pada salah satu arca dari situs Tinggi Hari III dan Tanjung Telang.

Baca juga: Membaca Nilai-nilai Ekologi Peradaban Megalitikum di Bukit Barisan

 

Persahabatan manusia dengan satwa liar terutama gajah sudah terlihat pada Arca Megalitik Pasemah. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Bentuk sederhana

Arca Megalitik menurut Triwurjani, memiliki ciri khas bentuk sederhana yang menampilkan figur manusia dengan wajah dan tubuh. Bahkan terkadang, memperlihatkan kelamin.

Namun, Arca-arca Megalitik Pasemah terkesan lebih detail, berbeda dengan Arca Megalitik yang ditemukan di Nusantara lainnya seperti di Situs Posso, Sulawesi Tengah, dan Situs Cikapundung, Sukabumi, Ciamis, Jawa Barat.

Arca Megalitik Pasemah menggambarkan suatu figur manusia yang memperlihatkan kepala, badan, kaki, meskipun ukurannya melebihi manusia normal. Bahkan juga, ada figur bersama hewan dan manusia lain dengan ukuran lebih kecil.

“Arca-arca Megalitik Pasemah ciri khasnya mempunyai mimik menyeramkan. Wajahnya digambarkan mempunyai mata melotot, dahi besar, bibir tebal dan tertutup, telinga lebar, dan hidung besar,” tutur Triwiujani.

Arca Megalitik Pasemah ditemukan di dataran Tinggi Pasemah di lereng Gunung Dempo [± 3.159 mdpl] seluas ± 80 km persegi, meliputi Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.

Kebudayaan Megalitik ini, penyebarannya melalui dua gelombang, yaitu Megalitik Tua pada Zaman Neolitikum [2500-1500 SM] dibawa pendukung Kebudayaan Kapak Seberang [Proto Melayu], dan Megalitik pada Zaman Perunggu [1000-100 SM] yang dibawa pendukung Kebudayaan Dongson [Deutro Melayu].

Penyebaran dua gelombang ini, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti dolmen, kubur batu, menhir, hingga arca.

“Arca Megalitik Pasemah menjadi benang merah bagaimana manusia Zaman Batu memiliki hubungan yang harmonis, bersahabat dengan hewan seperti gajah,” tutur Triwurjani.

 

Arca gajah lainnya yang juga ditemukan di Lahat, Sumatera Selatan. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Lagenda Si Pahit Lidah 

Sulman Effendi, tokoh Suku Besemah, warga Desa Gunung Megang yang diamanatkan sebagai juru jaga Situs Gunung Megang menjelaskan, pengetahuan lokal masyarakat Besemah meyakini mitos dari cerita Si Pahit Lidah atau Serunting Sakti sebagai awal munculnya peninggalan Megalitik tersebut.

Serunting Sakti diyakini leluhur mereka, yang memiliki kesaktian pada lidahnya. Apapun perbuatan salah dan melanggar aturan yang terlihat olehnya, akan diingatkan untuk berbuat benar.

“Jika tetap bersikeras dalam perbuatan salah, Serunting Sakti akan mengutuk orang tersebut menjadi batu,” jelas Sulman kepada Mongabay Indonesia pada Selasa, 21 Juni 2022.

Di kalangan masyarakat Besemah, kisah Si Pahit Lidah memiliki orientasi cerita yang dipengaruhi latar tinggalan Megalitik di daerah mereka. Terkait kutukan misalnya, di Situs Tanjung Telang ada Arca Batu Puteri.

Arca itu diyakini seorang puteri yang dikutuk menjadi batu karena tidak mendengar nasihat Si Pahit Lidah agar tidak menjemur padi di tengah kampung. Sang puteri begitu lama menjemur padi hingga menjelang magrib.

“Kepopuleran kisah Si Pahit Lidah masih kuat hingga sekarang. Cerita lagenda ini biasanya disampaikan secara tutur turun-temurun setiap generasi.”

 

Arca Megalitik Pasemah ini selalu dijaga masyarakat setempat sehingga terjaga hingga sekarang. Foto drone: Dimas Cahaya Putra

 

Menurut Sulman, kisah berlatar Megalitik itu menjadi pembelajaran moral dari orangtua ke anaknya. Misal, kisah Batu Puteri yang sebenarnya nasihat supaya anak puteri jangan menjemur padi di tengah kampung, sebab nantinya mengganggu aktivitas orang kampung. Juga, anak gadis jangan di luar rumah hingga menjelang magrib [sore], apapun alasannya.

Sulman tak menampik, bila kisah legenda masyarakat itu berbeda secara ilmiah dalam memahami peninggalan Zaman Megalitikum. Meski demikian, dia berharap masyarakat Besemah tetap mempertahankan cerita tersebut.

“Disini letak kebijaksanaan peneliti, guru, orangtua, hingga pemerintah diutamakan. Mereka harus menyampaikan informasi bahwa batu-batu itu merupakan peninggalan Zaman Megalitikum, dengan tetap mempertahankan nilai moral melalui kisah-kisah di masyarakat.”

Sulman juga mengingatkan, kunci terjaganya situs-situs peninggalan Zaman Batu karena masyakat Besemah mengganggap batu tersebut keramat.

“Masyakat Besemah sangat kuat menjaga adat. Kepercayaan masyakat terkait kisah Si Pahit Lidah menjadi faktor penting terawatnya peninggalan bersejarah tersebut hingga sekarang,” paparnya.

 

Exit mobile version