Mongabay.co.id

Riset: Perlindungan Lahan Gambut dan Mangrove Kunci Mencapai Tujuan Iklim Indonesia

 

Melindungi keseluruhan lahan gambut dan hutan mangrove yang tersisa di Indonesia adalah kunci untuk mencapai tujuan pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca pada akhir dekade ini.

Temuan studi baru oleh para peneliti dari Indonesia, Jepang, dan AS, yang diterbitkan pada 9 November di jurnal Environmental Research Letters. Diperkirakan bahwa moratorium pada semua pembukaan lahan basah berpotensi meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon hingga 1.001 juta metrik ton setara karbon dioksida, atau MtCO2e, per tahun.

Angka tersebut dua kali lipat dari target pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU, forest and other land uses) yang menjadi komitmen Indonesia saat menandatangani perjanjian iklim Paris. Dengan menambahkan perlindungan pada lahan kering ke dalam perhitungan tersebut, potensi yang diperkirakan naik menjadi 1.302 MtCO2e per tahun, jelas studi tersebut.

“Indonesia memiliki endemisme yang sangat tinggi di seluruh hutan, lahan gambut, hutan mangrove, dan ekosistem alam unik lainnya,” kata Nisa Novita, penulis utama studi sekaligus manajer senior iklim dan karbon hutan di LSM konservasi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), kepada Mongabay dalam sebuah wawancara email.

“Kami berharap wawasan (informasi) yang dihasilkan dapat mendukung pemerintah dalam memprioritaskan mitigasi iklim dari sektor FOLU,” tambahnya.

 

Lahan gambut di pesisir provinsi Riau di pulau Sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) telah berkomitmen untuk mengurangi emisi dari sektor FOLU sebesar 500 MtCO2e pada tahun 2030. Target pengurangan emisi Indonesia secara keseluruhan berdasarkan Perjanjian Paris, bertujuan untuk menjaga suhu global kurang dari 2° Celcius (3,6° Fahrenheit). Yaitu, angka di atas tingkat pra-industri, yaitu 31,8 persen pada tahun 2030 melalui praktik business-as-usual, atau 43,2 persen lewat dukungan dari komunitas internasional.

Rencananya untuk mencapai hal ini, juga termasuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional, yaitu dari 7,4 GW saat ini menjadi 20,9 GW; meningkatkan laju pertumbuhan tahunan hutan alam dari 0,71 menjadi 0,98 metrik ton karbon per hektar per tahun; dan mengurangi deforestasi sambil meningkatkan reboisasi.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan restorasi 1,6 juta hektar) lahan gambut dan rehabilitasi 50.000 hektar mangrove pada tahun 2024.

Namun menurut koalisi riset global Climate Action Tracker (CAT), upaya itu sendiri masih “sangat tidak memadai” untuk memenuhi target Perjanjian Paris. Diperkirakan bahwa emisi rumah kaca tahunan Indonesia selama periode tersebut dapat mencapai hingga 1.805 MtCO2e — jauh lebih tinggi dari batas yang ditetapkan Paris sebesar 1.000 MtCO2e per tahun.

Untuk mencapai potensi mitigasi secara maksimal dari solusi iklim alami, studi terbaru merekomendasikan agar pemerintah memperluas moratorium hutan primer dan lahan gambut (termasuk hutan sekundernya) secara permanen, yang mencakup area seluas 42,8 juta hektar dan hutan mangrove.

 

Dukungan bagi Inisiatif Rendah Karbon

Para peneliti juga berharap lebih banyak dana untuk melindungi hutan dan lahan gambut. Saat ini sumbangan sektor FOLU sekitar 40 persen dari total emisi nasional, namun hanya menerima 2 triliun rupiah ($128 juta) untuk berbagai inisiatif rendah karbon, bandingkan dengan 14 triliun rupiah ($893 juta) untuk sektor transportasi dan 6 triliun rupiah ($383 juta) untuk sektor pembangkit listrik.

Selain itu, para peneliti juga mengatakan perlu meningkatkan koordinasi data dan sistem pemantauan untuk membangun pemantauan, pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan yang efisien dan tepat waktu.

“Kami percaya [solusi iklim alami] dapat kontribusi pada sebagian besar mitigasi iklim yang dibutuhkan yang turut membantu Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim sesuai dengan Perjanjian Paris,” ujar Nisa.

 

Hutan mangrove di pesisir berdekatan dengan gunung berapi Manado Tua di lepas pulau Sulawesi. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

Secara keseluruhan, para penulis mencatat, bahwa melindungi dan melestarikan ekosistem yang ada memiliki potensi mitigasi yang lebih tinggi daripada memulihkan yang terdegradasi. Solusi iklim alami, jika diimplementasikan dengan baik, juga bisa menjadi alat utama dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak pandemi COVID-19, tambah para peneliti.

“Solusi iklim alami membutuhkan pendanaan yang optimal untuk meningkatkan skala kegiatan yang sudah terbukti dilakukan oleh banyak pemangku kepentingan,” ujar Nisa.

“Memperluas moratorium saat ini ke hutan sekunder akan meningkatkan kapasitas hutan untuk menyerap karbon lebih cepat dan memastikan pencapaian target moratorium.”

 

Referensi:

Novita, N., Subarno, Lestari, N. S., Anshari, G. Z., Lugina, M., Yeo, S., Malik, A., … Ellis, P. (2022). Natural climate solutions in Indonesia: Wetlands are the key to achieve Indonesia’s national climate commitment. Environmental Research Letters, 17(11). doi:10.1088/1748-9326/ac9e0a

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Protecting wetlands is key to Indonesia hitting its climate goals, study says.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version