Mongabay.co.id

Kearifan Warga Kampung Adat Manola, Hidup Selaras Alam

 

Siang itu, Kamis (15/9/2022) sepeda motor yang kami tumpangi melintasi perkampungan, pusat Desa Tena Teke, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Selepas areal persawahan, terdapat kebun-kebun kemiri dan kakao yang tampak rindang.

Kami lalu berjalan kaki menuju sebuah bukit. Tampak dari bawah, rumah-rumah adat berjejeran berada di ketinggian. Rumpun-rumpun bambu aur (Bambusa vulgaris) rapi tertanam mengitari kampong adat Manola yang kami tuju.

Selepas tanjakan, sebuah pohon beringin (Ficus benjamina) berukuran besar berumur ratusan tahun seakan menjadi tembok pembatas kampung adat Manola. Hanya ada satu akses jalan menuju kampung adat ini.

“Dulunya ada 180 rumah lebih di kampung adat ini namun karena berbagai alasan, banyak suku-suku yang mendiaminya mulai meninggalkannya,” sebut  Bili Ngongo, seorang warga kampong Manola saat bersua Mongabay Indonesia.

Bili mengatakan masyarakat adat banyak sudah membangun rumah di luar kampung karena berbagai sebab. Ada yang sudah menganut agama Katolik maupun Protestan serta ada yang tidak bisa membangun rumah adat karena terbentur biaya yang mahal.

Ada 13 suku yang hidup di Kampung Adat Manola dengan mendiami 26 rumah adat yang ada. Kesemua warga suku masih tetap menjalankan kepercayaan atau agama Marapu.

Suku-suku tersebut terbagi dalam 4 suku besar (Kabisu besar) yakni Wee Magho, Umbu Taghila, Wella Ngodo dan Egara Pakaa. Sementara 9 suku kecil yakni Bukabero, Letekanaka, Umbu Koba, Kabubusane, Enggara Lola, Mamodo, Mimmira, Lobo dan Egara Ana Paalli.

baca : Marselus Setia Mengawal Musik Bambu dan Kampung Adat Wogo

 

Rumah adat di Kampung Adat Manola, Desa Tena Teke,Sumba Barat Daya, (NTT berbahan bangunan alami. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pertanian Tradisional

Penduduk kampung adat Manola semuanya berprofesi sebagai petani. Setahun sekali mereka menanam padi di areal persawahan yang setelah panen akan diganti dengan menanam jagung.

Sebelum penanaman, diadakan ritual adat Teda guna meminta berkat dan restu dari Marapu untuk keberhasilan panen. Mereka percaya, restu Marapu dan leluhur wajib dikantongi agar rejeki panen bisa diperoleh.

“Kami menanam padi dan jagung dari benih lokal. Biasanya hasil panen selain dipergunakan untuk dimakan, juga disimpan sebagai benih untuk ditanam lagi,” jelas Bili.

Warga juga menanam bambu di sekitar kampung adat agar bisa ditebang ketika diperlukan untuk memperbaiki rumah atau keperluan lainnya.

Mereka juga taat kepada pemerintah yang melarang untuk merusak hutan. Bahkan pohon yang berada di dalam kawasan hutan pun tidak ditebang termasuk untuk keperluan membangun rumah adat.

Lahan pertanian pun kian bertambah sehingga areal padang ilalang kian tergerus dan tidak ditemukan lagi. Ini menyulitkan warga membangun rumah adat yang atapnya wajib memakai ilalang.

“Kami harus membeli kayu dan ilalang dari daerah lain agar bisa membangun rumah adat. Kami taat kepada pemerintah yang melarang menebang kayu di dalam hutan sehingga kami harus membeli kayu bila bangun rumah adat,” ucapnya.

Sejak dahulu leluhur kampung Manola mengajarkan agar hidup selaras alam dan tidak merusak hutan. Bahkan dalam bercocok tanam pun mereka tetap melakukannya secara tradisional.

Ini yang membuat warga di kampung adat ini tidak bergantung terhadap bahan kimia seperti pupuk dan pestisida.

“Bila ada serangan hama pada lahan pertanian, kami membuat ritual adat dan meminta kepada Marapu agar menjauhkan kami dari serangan hama dan penyakit,” ucapnya.

baca juga : Pangan Lokal Mulai Menghilang di Kampung Saga

 

Kuburan batu di depan rumah adat di Kampung Adat Manola, Desa Tena Teke, Sumba Barat Daya, NTT melambangkan tradisi megalitik yang masih dipertahankan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tiga Tingkatan

Rumah-rumah di kampung adat Manola dibangun berbentuk lonjong di atas lahan bertingkat. Untuk menjangkau setiap rumah, disusun batu-batu ceper sebagai anak tangga.

Terdapat sebuah areal lapang di tengah kampung yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan menggelar ritual adat. Di bagian depan rumah-rumah adat terdapat kubur-kubur batu berbentuk segi empat dengan bagian atasnya diletakan batu ceper.

Dikutip dari Sejarah Kampung Manola di Desa Tena Teke, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya yang ditulis Yohanes Tanggu Dedo, disebutkan rumah adat Sumba dibagi menjadi tiga bagian yaitu menara bawah, tengah, dan atas. Dunia atas dianggap sebagai tempat Marapu, dunia tengah sebagai manusia dan dunia bawah sebagai roh jahat atau hewan.

Bagian menara terdiri atas dua bagian yang mana bagian tertinggi digunakan untuk pemujaan Marapu sedangkan bagian  bawah dijadikan tempat menyimpan barang-barang berharga.

Bagian tengah tempat dimana manusia tinggal dan beraktivitas terdapat dapur dan perapian yang letaknya di bagian tengah rumah.

Rumah adat sumba di buat dengan empat pilar utama yang melambangkan empat mata angin berbeda. Keempat pilar berada di setiap sudut rumah Sumba dan sebagai tiang penyangga.

Selain keempat pilar, juga terdapat dua pilar induk yang berarti ayah dan ibu. Pria dan wanita Sumba biasa digambarkan dalam ornamen buaya dan penyu, dimana buaya merupakan hewan yang perkasa dan berani sedangkan penyu penyeimbangkan dengan kesetiaan dan kelemahlembutan.

Secara arsitektur, rumah adat Sumba berpedoman pada kepercayaan Marapu yang seimbang. Secara horizontal, rumah dibagi secara seimbang dan geometris menjadi tiga bagian berbeda. Sedangkan secara vertikal dibagi menjadi dua bagian berbeda, yaitu bagian perempuan dan laki-laki.

Rumah adat sumba tidak memiliki jendela dan terdiri dari dua buah pintu yaitu pintu laki-laki dan tamu di sebelah kiri dan sisi kanan untuk pintu perempuan.

baca juga : Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan Masyarakat Adat Karampuang

 

Anak-anak warga Kampung Adat Manola, Desa Tena Teke, Sumba Barat Daya, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pertahankan Keaslian

Semua jalan di areal perkampungan adat Manola merupakan jalan tanah yang dipasang batu-batu alam. Rerumputan dibiarkan tumbuh.

Bili menyebutkan, bahan bangunan seperti kayu sebagai tiang dan alang-alang dibeli dari tempat lain. Sedangkan bambu diambil dari sekitar kampung adat Manola.

Semua bahan bangunan merupakan bahan alam termasuk tali yang dipergunakan berasal dari hutan. Tidak diperkenankan menggunakan semen di kampung adat ini.

“Tiang kayu saja satu buah harganya bisa Rp15 juta sehingga butuh dana ratusan juta rupiah untuk bangun satu buah rumah adat,” ucapnya.

Belum lagi, beberapa rangkaian ritual adat yang digelar sebelum pembangunan rumah yang memerlukan biaya besar seperti makanan dan minuman.

Meski begitu, dalam pembangunannya semua warga bergotong royong sehingga biaya tenaga kerja tidak diperlukan.

Hampir semua rumah menggunakan penerangan listrik dari tenaga matahari selain lampu pelita.

Panel surya berukuran kecil diletakkan di bagian depan atap rumah atau diletakkan di jalan depan rumah. Tenaga listrik yang dihasilkan cukup untuk beberapa bola lampu sebagai penerangan di malam hari.

“Pernah ada bantuan mesin generator listrik dan bola lampu dari gubernur NTT. Tapi saat hendak dipergunakan generatornya rusak dan bola lampu semua meledak,” kata Bili.

Ini merupakan pertanda bahwa keaslian kampung adat Manola harus tetap dipertahankan.

 

Exit mobile version