Mongabay.co.id

Sayur Mayur Organik Hasil Memanfaatkan Tepian Kali di Bondowoso

 

 

 

Sayur mayur berjejer di kanan kiri  tepian kali irigasi di Dusun Widuri,  Desa Prajekan Lor, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Terlihat berbagai jenis tanaman hias dan serai tumbuh di bagian bawahnya. Hamparan padi muda tumbuh segar menghijau dan beberapa pohon kelapa menjulang  di sisi kiri dari arah utara.

Sore itu, seorang pria berkaos abu-abu bercelana pendek cekatan menanam bibit sawi ke dalam polybag. Agus Tri Setia, begitu nama pria itu. Dia mulai berkebun di tepian kali sejak 2019.

“Waktu itu, pas ngobrol sama Pak RW (RW03), sempat ada obrolan ingin ada tanaman di lingkungan sepanjang sungai. Menurut saya ide bagus. Pak RW juga memberikan fasilitas,” katanya.

Dia dapat polybag dan bibit dari RW.

Tanaman itu Agus rawat secara organik alias tanpa menggunakan zat kimia. Untuk pupuk dia pakai kotoran kambing dari tetangga yang punya peternakan kecil.

Awalnya, Agus tak punya keahlian menanam. Dia sebenarnya pedagang, bukan dari latar belakang petani. Pria yang lahir dan besar di Pasuruan ini pindah ke Bondowoso karena ikut istri.

Awal mulai berkebun, dia dapat bimbingan langsung dari temannya yang jadi penyuluh pertanian di Kecamatana Wringin.

“Saya aslinya tidak tahu soal bertani. Kan saya ini dagang. Syukur,  ada teman saya yang penyuluh pertanian memberikan ilmu,” katanya.

Sayur mayur Agus pun sudah berkali-kali panen. “Panen dijual langsung ke konsumen, tidak ke pasar. Pembeli banyak dari warga RT sini, kadang juga dari RT sebelah. Kadang juga dibagikan gratis buat warga yang butuh tapi sedang tidak ada uang,” katanya.

Sawi dan pokcoy tanaman Agus ini dijual Rp2.000 per ikat. “Saya dapat sekitar Rp500.000 dari hasil jual sawi dan pakcoy ini.”

 

Agus Tri Setia sedang menyiram tanaman. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Pangan sehat dan pertimbangkan alam

Betty Tiominar, Koordinator Nasional FIAN Indonesia,  organisasi masyarakat sipil yang mendorong hak atas pangan dan gizi mengatakan, inisiatif Agus bisa jadi referensi dalam pemenuhan pangan dengan memanfaatkan lahan kosong.

Dia billang, tak banyak orang seperti Agus yang mau melihat potensi lahan kosong ini. Makin bagus lagi, katanya, kalau aksi seperti Agus bisa ‘menular’ “ke warga lain.  Dengan begitu, katanya, minimal kebutuhan pangan sehat keluarga bisa dapat dari hasil tanam sendiri.

“Saya ingin mengajak semua, termasuk saya, pegiat kebun pangan keluarga untuk mempertahankan dan meningkatkan pola pertanian ramah lingkungan. Mari berkebun lagi dan kalau bisa tanamlah benih lokal yang kita punya di sekitar kita. Menanam adalah cara melestarikan benih pangan dan memastikan kualitas gizi pangan keluarga,” katanya.

Bicara pangan sehat dan berkelanjutan bukan sekadar tanaman itu dengan cara organik atau tidak, kata Betty, tetapi bagaimana bisa mendorong sistem agroekologi atau bertani dengan mensyaratkan keseimbangan ekosistem.

Penggerak isu pangan, termasuk organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) mendorong agroekologi sebagai salah satu tawaran sistem pangan yang bisa dilakukan sendiri, atau kelompok dengan menanam beragam tanaman.

“Kalau hanya bicara organik dan non organik, perusahaan skala besar juga banyak mengembangkan pertanian skala besar dengan organik. Memang pasar terbuka.  Maka kami dorong isu pangan dengan sistem pertanian agroekologi.”

Secara kelembagaan, katanya, FIAN mendorong pemerintah untuk menghormati, melindungi , dan memenuhi hak-hak petani, mulai dari sistem berladang tradisional dan atau lokal termasuk dengan benih-benih lokal.

Wardatul Jannah dan Aria Dirawan dari Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat dalam jurnal “Budidaya Sayuran Organik Dalam Pemanfaatan Pekarangan Masyarakat di Dusun Lantan Duren” mengatakan,  masyarakat desa memiliki potensi lahan luas yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian organik.

“Dari segi ekonomi masyarakat yang budidaya sayuran organik dapat menekan biaya pengeluaran untuk kebutuhan pangan sayuran serta dapat melakukan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi sayuran organik,” tulis jurnal itu.

 

Agus Tri Setia memanfaatkan bantaran kali di kampungnya untuk tanam sayur mayur organik. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

*******

 

 

Exit mobile version