Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Bintang Laut Berduri Bisa Jadi Ancaman Terumbu Karang Indonesia

Bintang laut mahkota berduri di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Sejumlah nelayan di pesisir Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, sering mengeluh tentang kematian terumbu karang. Penyebabnya, bukan akibat praktik mencari ikan yang merusak seperti menggunakan bom atau potasium. Melainkan, akibat gangguan biotik yang belum begitu banyak mendapatkan perhatian.

Jika di darat biasanya terjadi serangan hama bagi pertanian, maka di laut hama juga menyerang terumbu karang tempat ikan hidup. Hama tersebut bernama bintang laut mahkota berduri [Acanthaster planci]Dalam Bahasa Inggris biota ini disebut Crown of thorn starfish [COTS]. Disebut mahkota duri karena durinya yang memanjang ke atas dan menutupi tubuhnya.

Indonesia yang menjadikan sumber daya terumbu karang sebagai basis perikanan tradisional, harus waspada terhadap ancaman bintang laut mahkota berduri. Sebab, spesies ini dapat menjadi persoalan terhadap mata pencaharian penduduk di kawasan pesisir, terutama nelayan. Tidak hanya itu, pariwisata yang mengandalkan keindahan bawah laut juga akan berdampak dengan masifnya bintang laut mahkota berduri.

Derwan Karaba, Kepala Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah mengatakan, meski sudah dilakukan pembersihan di perairan laut di desa mereka, namun masih banyak ditemukan biota tersebut.

Di seputaran Desa Kadoda, terdapat kawasan terumbu karang yang menjadi tempat mencari ikan nelayan tradisional. Lokasinya dikenal dengan nama California Reef, tempat snorkeling dan menyelam wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun, di lokasi ini banyak ditemukan bintang laut berduri.

“Beberapa kali dilakukan pembersihan bekerja sama dengan pihak Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, pihak resort, serta wisatawan asing. Kalau saya perhatikan, jumlah bintang laut berduri ini masih banyak,” kata Derwan.

Baca: Bintang Laut Berduri Ini Jadi Musuh Terumbu Karang

 

Bintang laut mahkota berduri musuhnya terumbu karang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pembersihan

Tahun 2019, sekitar 8.000 ekor bintang laut mahkota duri ukuran diameter 8-48 cm, diangkat dari perairan Taman Nasional Kepulauan Togean. Pembersihan tersebut menggunakan metode Fine Scale Survey Method. Tim melakukan survei lokus kegiatan yang diduga memiliki populasi bintang laut berduri cukup tinggi.

Bintang laut diangkat menggunakan alat bantu penjepit bambu. Pengumpulan dilakukan di atas perahu untuk menghindari kontak langsung. Hal tersebut bertujuan mencegah bintang laut mengeluarkan larvanya untuk regenerasi menjadi utuh kembali.

Derwan menambahkan, selain pembersihan secara bersama, dengan melibatkan banyak pihak, nelayan juga saat mencari ikan dan ketika melihat ada bintang laut berduri, biasanya akan langsung menangkap dan membersihkannya dari terumbu karang. Mereka menyadari, hewan tersebut hanya menciptakan masalah.

Tidak hanya bagi kematian terumbu karang, bintang laut berduri juga berbahaya bagi manusia yang menginjaknya, menyebabkan sakit serta pembengkakan hingga berjam bahkan berhari.

Hanya saja menurut dia, ada beberapa kesalahan yang dilakukan nelayan ketika membersihkan bintang laut berduri, yaitu membunuhnya kemudian dibiarkan begitu saja di laut.

“Padahal, bintang laut berduri yang dimusnahkan itu akan mengeluarkan larva dan bisa hidup kembali serta bertambah banyak.”

Seperti diketahui, hewan ini memiliki kemampuan untuk menumbuhkan kembali bagian tubuhnya yang terputus. Bahkan jika dipotong menjadi dua bagian, kedua sisi tersebut secara teoritis dapat pulih menjadi individu yang lengkap.

 

Bintang laut mahkota berduri di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Predator

Di wilayah perairan laut Gorontalo, bintang laut mahkota berduri memiliki nama lokal, yakni tayomo.

Gusnar Ismail, penyelam senior dan juga pemerhati kelautan dan perikanan di Gorontalo mengatakan, sejauh pengamatannya belum terjadi ledakan populasi di wilayah laut Gorontalo. Dia biasanya menemukan 5-10 ekor bintang laut berduri dalam areal sekitar satu hektar.

“Kalau menemukannya saat menyelam, kami biasa mengangkatnya menggunakan kayu atau tongkat dan dibawa ke darat,” ungkapnya.

Meski demikian kata Gusnar, belum banyak nelayan dan juga masyarakat pesisir di Gorontalo yang tahu bahwa spesies laut ini adalah predator pemakan terumbu karang hidup yang bisa berdampak ke nelayan.

Sehingga menurutnya, diperlukan sosialisasi dari berbagai pihak untuk menyampaikan tata cara pemusnahannya. Juga, perlu melakukan aksi bersama dalam membersihkan bintang laut berduri ini.

Mohamad Sayuti Djau, Analisis Sistem Ekologi Pesisir dan Laut dari Universitas Muhamadiyah Gorontalo, mengatakan pada dasarnya bintang laut mahkota berduri memang salah satu predator terumbu karang dan pada kondisi tertentu populasinya bisa melimpah.

Dia tak menampik kalau salah satu dugaan melimpahnya bintang laut mahkota berduri bisa terjadi akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global.

“Karena alga zooxanthellae yang bersimbiosis dengan terumbu karang mati akibat pemanasan global. Sehingga, spesies ini menjadi pembunuh bagi terumbu karang karena memang predator. Tapi kalau dari jumlah presentasinya yang banyak itu, saya belum tahu dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,” ungkap Sayuti.

 

Penampakan bintang laut mahkota berduri di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Terumbu karang mati

Naturevolution Indonesia [NEI] lembaga non-pemerintah yang fokus pada penanganan bintang laut mahkota berduri menyebut, spesies ini merupakan salah satu penyebab kerusakan terumbu karang. Besaran dampaknya secara kuantitatif sama dengan dampak siklon.

Pada pertengahan 2021, NEI bekerja sama dengan Toli-Toli Giant Clam Conservation [TGCC] dan Lembaga Penelitian Prancis, Institute of Research for Development [IRD] yang dipimpin penelitinya Pascal Dumas, merintis program kerja sama dalam bidang konservasi wilayah laut di Sulawesi Tenggara. Terutama, dalam hal penanganan bintang laut mahkota berduri.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan Naturevolution, spesies ini memiliki banyak lengan [biasanya 16 sampai 18]. Bagian atasnya, terdapat duri panjang dilapisi steroid sangat beracun, yang dapat menimbulkan sengat sangat menyakitkan.

Meskipun hewan ini tampak bergerak lambat, namun mereka menunjukkan perilaku jelajah mangsa yang aktif [dapat mencapai 20 meter/hari]. Juga, berpotensi menyebrang dari satu terumbu karang ke terumbu karang lain dengan wilayah lintasan dasar laut yang dalam.

Pada umumnya, bintang laut mahkota berduri memiliki kepadatan cukup rendah, namun populasinya dapat meningkat selama periode tertentu, hingga puluhan ribu/hektar.

Wabah ini dapat bertahan berbulan atau bahkan bertahun di wilayah terumbu karang yang luas dan menjadi salah satu gangguan biotik paling signifikan. Dapat menyebabkan gangguan dan kematian terumbu karang yang luas dan masif.

“Kematian terumbu karang dapat mencapai atau lebih dari 90% dari satu ekosistem terumbu karang. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya restrukturisasi mendalam dari ekosistem dan fungsi terumbu karang itu sendiri,” tulis para peneliti dari Naturevolution.

Pendekatan baru yang dilakukan untuk mengendalikan jenis ini dan disebut ramah lingkungan adalah dengan menggunakan injeksi zat asam alami yang cukup terjangkau. Pengujian sebelumnya dilakukan baik di laboratorium dalam kondisi yang terkendali dan secara langsung di lapangan, menunjukkan keberhasilan.

Kematian bintang laut mahkota berduri melalui injeksi dapat dilakukan dengan beberapa jus buah [jenis jeruk nipis dan markisa], cuka putih, dan sejumlah asam bubuk yang dapat dengan mudah diperoleh dari industri pertanian.

Zat-zat tersebut dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, bahkan dengan dosis rendah dengan kematian 100% dalam kurun waktu 12-24 jam.

Metode ini, disebut-sebut menjadi alternatif ramah lingkungan serta kredibel dalam memerangi wabah bintang laut mahkota berduri di seluruh negara dan telah diuji oleh Institute of Research for Development [IRD] sejak 2014, di Vanuatu dan New Caledonia. Metode ini terbukti efisien di lapangan dengan pemberantasan bintang laut mahkota berduri yang lebih dari 1 ton dalam kurun waktu 2 hari.

 

Exit mobile version