Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?

 

Profesi awak kapal perikanan (AKP) masih akan menjadi pekerjaan yang diincar oleh banyak generasi muda Indonesia di masa sekarang dan akan datang. Pekerjaan tersebut masih dinilai sebagai profesi yang menjanjikan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan cepat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir data terkini jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berprofesi sebagai AKP dan disebutkan sudah mencapai angka 2,2 juta jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik (PBS) melansir data angkatan kerja Indonesia pada Februari 2022 berjumlah 144,01 juta jiwa.

Tidak ada penyebutan secara pasti apakah jumlah angkatan kerja tersebut mencakup jumlah TKI yang berprofesi sebagai AKP atau tidak. Hal tersebut dijabarkan oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menjelang pergantian tahun 2022 ke 2023.

Semua AKP yang saat ini sudah bekerja, statusnya masih belum mendapatkan perlindungan penuh secara hukum. Bukan karena regulasi yang tidak ada ataupun belum kuat, namun karena sebaliknya bahwa regulasi sudah banyak dan cenderung berlebih.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, menyebutkan kalau profesi AKP di Indonesia dikenal luas dengan ciri sebagai pekerja informal alias tidak resmi, menganut bagi hasil sistem pengupahan, sistem rekrutmen yang tidak transparan, dan pengawasan pekerja yang minim.

Semua ciri tersebut berjalan dengan lancar tanpa hambatan, walau regulasi perlindungan AKP dan nelayan sudah ada. Selain peraturan berupa undang-undang yang jumlahnya 11, masih ada enam aturan berbentuk Peraturan Pemerintah, tiga Peraturan Presiden, dan 10 Peraturan Menteri.

Spesifiknya, Peraturan Menteri yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, dan Peraturan Menteri Perhubungan. Semua peraturan di atas sudah berjalan, namun tidak saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.

baca  : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini masih banyak pelanggaran ketenagakerjaan yang terjadi dan dilaporkan kepada aparat hukum. Semua aturan yang sudah berlaku itu, tidak bisa menutup celah untuk mencegah terjadinya pelanggaran.

Padahal, dengan wilayah laut Indonesia yang luas dan jumlah pelabuhan ikan yang tidak sedikit, perlindungan hukum secara penuh mutlak untuk diberikan kepada para AKP asal Indonesia. Semua itu diperlukan, untuk mencegah para AKP terjebak dalam praktik kerja paksa di atas kapal.

“Sejauh ini, pengawasan awak kapal perikanan belum diatur dan dilakukan secara nasional,” ungkap dia.

Adapun, pelabuhan perikanan yang ada saat ini di seluruh Indonesia jumlahnya mencapai 576. Semua pelabuhan tersebut menjadi tempat bekerja atau naik-turun AKP dan nelayan dari kapal perikanan yang akan dan sudah selesai melakukan operasi penangkapan ikan.

Salah satu persoalan yang sering muncul dan dilaporkan kepada aparat hukum terkait di Indonesia, adalah tentang sistem pengupahan AKP yang dinilai masih amburadul. Sampai saat ini, Pemerintah belum sepenuhnya melakukan pengawasan terhadap sistem pengupahan yang diberlakukan kepada AKP di dalam atau luar negeri.

Padahal, pengawasan sistem pengupahan yang menjadi bagian dari perlindungan hukum secara penuh kepada AKP tersebut, seharusnya mutlak harus untuk dijalankan karena bisa menjamin kesejahteraan dan sekaligus perlindungan hukum kepada AKP.

Dari hasil kajian yang sudah dilakukan DFW Indonesia pada Juni 2022, terungkap bahwa sistem dan besaran pengupahan AKP yang berjalan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Jakarta, ternyata masih belum ideal.

baca : Praktik Kerja Paksa Terus Hantui Para Pekerja Migran Perikanan Indonesia

 

Sekelompok awak kapal perikanan (AKP) Indonesia lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Menurut Suhufan, setiap AKP yang bekerja di kapal perikanan yang terdata di pelabuhan berlokasi di Muara Baru itu, besarnya berkisar antara Rp900.000 sampai Rp1.300.000 per bulan. Besaran tersebut jauh ada di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp4,6 juta yang ditetapkan untuk berjalan pada 2022.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, sistem pengupahan AKP dapat dilakukan dengan bagi hasil dan gaji bulanan. Sistem bagi hasil dan gaji harian biasanya diterapkan pada kapal penangkap ikan, dan sistem gaji bulanan biasanya diterapkan pada kapal pengangkut ikan.

Ketentuan itu ada dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, dan Penandaan Kapal Perikanan, serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.

Namun, khusus untuk sistem pengupahan dengan bagi hasil, sampai saat ini DFW Indonesia menilai bahwa itu belum berjalan sesuai standar hidup yang berlaku dan asas keadilan bagi AKP. Merujuk pada Permen KP No.33/2021 itu, upah minimum yang berhak diterima AKP di Muara Baru seharusnya minimal Rp2,3 juta bulan.

Hasil penghitungan tersebut didapat, karena berdasarkan aturan tersebut yang terdapat pada pasal 176 ayat 2, disebutkan bahwa dalam kondisi yang mengakibatkan tidak terdapat pendapatan bersih, pemilik atau operator Kapal Perikanan harus memberikan gaji kepada seluruh Awak Kapal Perikanan, masing-masing setengah dari besaran upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten atau kota untuk setiap bulan.

Akan tetapi, walau sudah ditetapkan klausul tersebut dengan tegas dan jelas, pengawasan sistem pengupahan AKP belum pernah dilakukan oleh otoritas ketenagakerjaan maupun perikanan. Akibatnya bisa ditebak, implementasi aturan tersebut belum sepenuhnya berlaku.

Suhufan mengungkapkan, agar regulasi yang berlaku bisa dipatuhi oleh para pemilik kapal perikanan, maka diperlukan surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Menteri Ketenagakerjaan.

“SKB tersebut mengatur standar pengupahan dan hal-hal yang terkait dengan pekerja perikanan khususnya awak kapal (perikanan),” terang dia.

baca juga : Perjanjian Kerja Laut dan Ancaman Eksploitasi Kerja di Kapal Perikanan

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Peneliti DFW Indonesia Imam Trihatmadja memaparkan, walau peminat untuk bekerja sebagai AKP akan terus ada, namun akibat praktik sistem pengupahan yang tidak adil sampai saat ini, dia menduga akan terjadi penurunan minat dan pengerucutan para pengincar pekerjaan tersebut.

Kalau sebelumnya ada banyak pelamar profesi AKP yang berasal dari beragam latar belakang ekonomi dan pendidikan, namun diperkirakan mereka yang masih tertarik untuk menjadi AKP adalah yang berasal dari kelompok pekerja tanpa keahlian sama sekali.

“Jadi, mereka yang menjadi ABK domestik itu adalah menjadi pilihan terakhir,” ucap dia.

Jika prediksi di atas benar akan terjadi, maka industri perikanan tangkap di dalam negeri dikhawatirkan akan mengalami kekurangan pekerja AKP di masa mendatang. Para AKP diprediksi akan memilih untuk bekerja di luar negeri dengan pertimbangan gaji yang jauh lebih tinggi.

Imam kemudian mencontohkan, Taiwan saat ini sudah mengeluarkan ketentuan baru untuk AKP migran non pengalaman akan mendapatkan upah senilai Rp8,2 juta per bulan. Tawaran tersebut dipastikan akan memikat banyak para AKP asal Indonesia.

Tentang keluhan saat bekerja di atas kapal perikanan, secara detail dia menjelaskan bahwa sepanjang 2022 sudah ada 20 aduan pelanggaran tenaga kerja yang dilaporkan oleh AKP dan nelayan kepada National Fishers Center (NFC).

Imam yang juga menjabat sebagai Manajer NFC mengatakan bahwa pengaduan yang diterima mayoritas berkaitan dengan masalah sistem pengupahan. Sebanyak 40 persen laporan adalah tentang gaji yang tidak dibayar dan pemotongan upah.

“Sedangkan 25 persen berkaitan dengan asuransi dan jaminan sosial. Sisanya, atau 15 persen berkaitan dengan penipuan,” urai dia.

baca juga : Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tumpang Tindih

Masih tumpang tindihnya peraturan tentang perlindungan AKP di Indonesia, dipertegas lagi oleh Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL). Koalisi yang terdiri dari sembilan organisasi itu, menyebut kalau regulasi yang ada saat ini hanya memicu banyak celah untuk diterobos oknum tidak bertanggung jawab.

Contoh tentang regulasi yang berjalan tidak saling menguatkan, adalah tentang Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran.

Aturan tersebut menegaskan bahwa pihak yang melaksanakan rekrutmen dan penempatan AKP migran diwajibkan untuk mendapatkan izin dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Kedua lembaga tersebut diperlukan, karena Kemenaker yang berwenang untuk menerbitkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan BP2MI yang memiliki kewenangan menerbitkan Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI).

Tetapi, pada kenyataannya selama ini agen perekrut (manning agency) terbiasa memproses perizinan melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang berwenang untuk menerbitkan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).

Kewenangan itu ditetapkan dalam Permen Perhubungan 59/2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan. Namun seharusnya, kewenangan tersebut menjadi gugur karena PP No.22/2022 diterbitkan dan beralih ke Kemenaker sebagai pemimpin untuk perizinan dan pengawasan dalam rekrutmen dan penempatan AKP migran.

Dengan kata lain, Pemerintah harus membenahi tata kelola rekrutmen dan penempatan AKP migran, serta bertanggung jawab mengawal prosesnya dari sejak hulu sampai ke hilir. Pemerintah harus mengawasi proses perekrutan, penempatan, pelindungan selama bekerja, hingga pemulangan AKP migran kembali ke Indonesia.

baca juga : Kapan Perlindungan Penuh kepada Awak Kapal Perikanan Diberikan?

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Agar segala ancaman buruk yang bisa didapatkan AKP migran bisa hilang, KORAL menilai kalau ratifikasi norma perlindungan bagi awak kapal yang dibuat Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) atau Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan mutlak untuk segera dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Norma yang disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss itu menjadi standar ketenagakerjaan internasional yang ditujukan untuk memastikan para pekerja yang bekerja di atas kapal perikanan memiliki kondisi kerja yang layak.

Khususnya, terkait syarat dan kondisi kerja, akomodasi dan makanan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), layanan kesehatan, dan jaminan sosial. Dengan pertimbangan tersebut, maka ILO C-188 akan bisa menjadi landasan kuat sejak dari rekrutmen, penempatan, dan pemulangan kembali AKP.

Pernyataan dari KORAL mewakili organisasi seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Yayasan EcoNusa, Pandu Laut Nusantara, Greenpeace Indonesia, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi), dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).

Di lain pihak, BP2MI sendiri sudah menerbitkan data tentang jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) di seluruh dunia. Sampai sekarang, tercatat sudah ada sebanyak sembilan juta orang WNI yang bekerja, seperti dilansir oleh Bank Dunia.

Namun, BP2MI pada November 2022 sudah merilis data tambahan bahwa terdapat 4,5 juta PMI yang masih belum terdaftar dalam sistem yang dikelola langsung Pemerintah Indonesia. Kendala itu terjadi, karena masih ada pemalsuan dokumen PMI yang dilakukan sindikat rekrutmen yang tidak bertanggung jawab.

Lebih spesifik, BP2MI juga merilis data resmi AKP migran asal Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan di luar negeri, dan jumlahnya sebanyak 254.186 orang. Sedangkan menurut KKP, saat ini sedikitnya ada 61 ribu WNI yang sedang bekerja pada kapal penangkap ikan berbendera Korea Selatan atau Taiwan yang beroperasi di perairan Selandia Baru.

Berdasarkan keterangan yang diterbitkan resmi oleh BP2MI, ada 389 pengaduan kasus terkait AKP yang muncul selama periode 2018 hingga 2020. Namun, merujuk pada data yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu), per 2020 sudah ada laporan sebanyak 1.451 kasus.

baca juga : Akankah Nasib Awak Kapal Perikanan Mengalami Perbaikan?

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Banyaknya kasus yang muncul tersebut, dipicu karena profesi AKP adalah pekerjaan yang rawan terhadap eksploitasi, menjadi korban perdagangan manusia dan kekerasan fisik, verbal, psikis, ataupun secara seksual.

Hal tersebut diungkapkan Kepala BP2MI Benny Rhamdani. Selain ancaman yang sudah disebut di atas, AKP juga berpotensi akan mengalami tindakan pemalsuan dokumen, perjanjian kerja, gaji yang tidak dibayarkan, dan resiko kehilangan nyawa.

Bermunculan kasus yang menimpa AKP memicu harapan yang besar kepada aparat hukum di Tanah Air. Para AKP yang sudah merasakan kegetiran saat bekerja di atas kapal perikanan berbendera asing itu, menaruh harapan besar agar setiap kasus bisa diselesaikan sampai tuntas.

Namun sayang, harapan tersebut sangat sulit terwujud karena kasus yang dilaporkan sebagian besar tidak berhasil diselesaikan sampai tuntas. Bahkan, ada juga kasus yang akhirnya mengendap sampai sekarang tanpa ada kejelasan.

 

Tidak Percaya Polisi

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno belum lama ini mengatakan kalau tingkat kepercayaan para AKP kepada aparat kepolisian masih rendah, walau Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus melakukan berbagai upaya perbaikan.

Penyebab belum pulihnya kepercayaan mereka, tidak lain karena Polri gagal menuntaskan beragam kasus yang menimpa AKP saat sedang bekerja di kapal perikanan. Bahkan, khusus untuk kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), sampai sekarang kasusnya berhenti di tangan polisi.

Dia menyebutkan, sepanjang periode 2014 hingga 2021 ada kasus yang mandek di institusi kepolisian dan jumlahnya mencapai 19 kasus. AKP yang menjadi korban dari kasus yang dilaporkan dan mengalami kemandekan itu, jumlahnya mencapai 83 orang.

Menurut Hariyanto, kasus yang dilaporkan ke kepolisian tersebut beberapa di antaranya melibatkan para AKP yang bekerja pada kapal ikan asing (KIA). Penanganan kasus tersebut dilakukan mulai dari tingkat Kepolisian Resor (Polres) sampai Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

“Mereka tak kunjung mendapatkan keadilan, sementara pelakunya masih bebas berkeliaran,” ungkap dia menyebut TPPO yang dilakukan para oknum.

Proses yang tidak tuntas tersebut membuat AKP banyak yang mengalami frustasi. Sebabnya, karena mereka ada yang sudah menjadi korban sejak saat masih proses rekrutmen, penempatan, dan saat sudah bekerja di atas kapal perikanan milik negara lain.

Penderitaan itu bertambah lagi, karena saat pulang kembali ke Indonesia dan melaporkan kasus yang mereka alami ke aparat hukum terkait, ternyata tidak mendapat respon bagus. Padahal, mereka melaporkan agar bisa mendapatkan keadilan di mata hukum.

Apa yang dialami AKP dengan kasusnya masing-masing, sudah seharusnya tidak terulang lagi oleh generasi muda yang akan menjalani profesi tersebut. Sudah sepatutnya juga, Pemerintah Indonesia bersikap lebih tegas lagi untuk memberikan perlindungan yang penuh kepada mereka.

Agar tidak menjadi korban sejak dari proses rekrutmen, Pemerintah harus bisa mengerucutkan proses perizinan ke dalam satu pintu saja. Tidak perlu lagi ada proses yang tumpang tindih, karena itu berdampak panjang dan buruk pada nasib AKP.

 

 

Exit mobile version