Mongabay.co.id

Kawasan Karst Gunungsewu Terancam Terpangkas

 

 

 

 

Jalan menuju Wonosari, ibukota Gunungkidul dari arah Yogyakarta berkelok dan menanjak. Selepas gapura tanda memasuki wilayah Gunungkidul, tertulis “Welcome Geopark Gunungsewu.” Tulisan itu menyambut mereka yang datang ke kota yang kini makin dikenal lewat keberadaan taman kebumian Gunung Sewu.  Kekayaan alam luar biasa itu yang masuk warisan dunia ini kini terancam menyusut karena Pemerintah Gudungkidul mengusulkan pengurangan kawasan karst di sana.

Gunungkidul, berarti gunung di selatan. Merujuk pada satu wilayah yang kaya dengan perbukitan karst dan tebing curam berbatasan dengan laut selatan Jawa.

Sepuluh tahun lalu, jalan ini masih terasa lengang. Kini, saat akhir pekan atau musim liburan nyaris macet karena banyak kendaraan wisatawan ingin menikmati pesona alam Gunungkidul.

“Karst itu terbentuk jutaan tahun. Karst merupakan ladang ilmu pengetahuan nan tak ada habisnya untuk digali, dari aspek geologi, hidrologi, geomorfologi, speleologi, arkeologi, biologi, pertanian, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain,” kata Sari Bahagiarti Kusumayudha, Ketua Pusat Studi Karst UPN Veteran Yogyakarta itu, beberapa waktu lalu.

Gunungkidul,  katanya, identik dengan Karst Gunung Sewu yang berkembang makin baik ke arah selatan. “Gunungkidul juga terkenal karena ada Gunungsewu yang ditetapkan UNESCO sebagai global geopark,” katanya.

Gunung Sewu terancam karena Pemerintah Gunungkidul ingin mengurangi luas kawasan karst. Pada 1 November lalu, pemerintah rapat koordinasi tentang Peninjauan Kembali Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu di Gunungkidul.

Walhi Yogyakarta, menyatakan, dalam rapat itu, Pemerintah Gunungkidul memutuskan mengajukan permohonan peninjauan ulang delineasi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, melalui Kepala Badan Geologi untuk mengurangi luasan KBAK Gunungsewu, Gunungkidul.

Sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 3045 K/40/Men/2014 tentang penetapan KBAK Gunung Sewu sebagai kawasan lindung geologi, seluas 75.835,45 hektar. Pemerintah Gunungkidul mengusulkan, kawasan itu jadi 37.018,06 hektar atau hanya 48,81% dari luas saat ini.

Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia protes dan menolak penyusutan Kawasan karst Gunung Sewu ini. Koalisi ini terdiri dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari akademisi, organisasi masyarakat sipil maupun elemen masyarakat sipil.

 

Geopakr Gunungsewu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen bencana UPN Veteran Yogyakarta mengatakan,  kawasan karst bisa dikelola lebih baik dan ekologis dengan mengedepankan pemanfaatan jasa ekosistem.

“Saya menyayangkan semua upaya yang berujung pada pemanfaatan karst eksploratif dan eksploitatif, antara lain dengan mengubah luasan KBAK dengan kata lain itu bermakna pengurangan dari luasan karst itu sendiri. Semoga kita bisa menjaga karst kita, memanfaatkan lebih berkesinambungan untuk pembangunan yang berkelanjutan,” katanya.

Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia pun menyampaikan penolakan terhadap rencana pengurangan luasan KBAK. “Memohon dukungan kepada Gubernur DI Yogyakarta dan Menteri ESDM untuk tidak menyetujui rencana pengurangan luasan kawasan bentang alam karst yang diusulkan Pemerintah Gunungkidul,” kata Petrasa Wacana, Ketua Umum Masyarakat Speleologi Indonesia ini, mewakili koalisi.

Mereka berpendapat penetapan luasan KBAK di Gunungkidul sudah dengan standar kajian akademis dan melalui proses panjang serta melibatkan berbagai pihak. “Baik dari perguruan tinggi, dunia usaha, pemerintah, media, dan kelompok masyarakat sipil.”

 

 

Bahaya

Mereka khawatir, kalau luasan KBAK dikurangi, akan berdampak pada ketidakpastian hukum, ancaman kelestarian lingkungan, potensi bencana sebagai akibat perubahan lahan dan pembangunan masif.

Selain itu, katanya,  eksploitasi seperti pertambangan bakal berpengaruh pada ekosistem kawasan karst sebagai kawasan warisan dunia sebagai Global Geopark Network (GGN) pada 2015.

“Ini akan berdampak pada penilaian UNESCO terhadap proses evaluasi dan revalidasi tahap II yang akan dilaksanakan 2023 untuk tetap menjaga status Global Geopark Gunungsewu di mata dunia,” katanya.

 

Stalagtit sebuah gua karst Gunungsewu yang masih meneteskean air. Foto: Nusawantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah kabupaten berdalih pengurangan wilayah itu untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, yaitu pengembangan pariwisata, infrastruktur, dan industri. Padahal, menurut koalisi, pembangunan di KBAK tak harus menghilangkan fungsi kawasan lindung dari suatu bentang alam.

Petrasa mengatakan, dari paparan rapat November itu, kawasan yang akan keluar dari KBAK terkonsentrasi di wilayah selatan Gunungkidul.

“Berkaca pada kasus-kasus penetapan KBAK di berbagai wilayah Indonesia sangat berkaitan dengan konflik-konflik sumber daya alam terutama tambang batu gamping antara pemerintah, investor dan industri, atas hadirnya pabrik semen,” katanya, 21 Desember lalu.

Pemerintah provinsi, katanya,  sudah memberikan respon dengan dua kali pertemuan yang menghadirkan para ahli dan pemangku kepentingan.

“Secara umum pada dua pertemuan itu saya melihat  Pemerintah DIY dan berbagai pihak tak menyetujui usulan pengurangan luasan KBAK Gunung Sewu,” katanya, seraya bilang, perlu merumuskan bersama kebijakan dan strategi pengelolaan KBAK lebih baik agar tetap memberikan perlindungan dan pembangunan seimbang.

Dia bilang, beberapa usulan wilayah yang dikeluarkan dari KBAK adalah sudah ditetapkan sebagai area industri pertambangan. Petrasa bilang, kerusakan karena pertambangan akan berdampak pada kehilangan fungsi resapan air.

“Itu berdampak pada suplai air sistem sungai bawah tanah Seropan dan Bribin, yang saat ini jadi penyedia air bagi masyarakat Gunungkidul. Untuk air bersih juga pertanian.”

KBAK, katanya,  jangan dilihat dari sisi fisik saja tetapi  dari konteks ekologi kawasan karst yang harus dilindungi untuk menjaga keberlanjutannya. “Untuk itu, kawasan karst perlu mendapat kepastian hukum dan perlindungan di tengah ancaman di berbagai wilayah di Indonesia.”

 

Stalagtit dan tetesan air di Goa Gong, Pacitan. Foto: Nuswantoro

 

Preseden buruk

Budi Martono, General Manager Gunung Sewu UNESCO Global Geopark mengingatkan, sebagai lembaga dunia, UNESCO pasti punya pertimbangan dan aturan sendiri.

“Semoga saja tidak berpengaruh. UNESCO ini kan lembaga dunia, sangat straight (ketat). Yang jelas, saya harus mengubah peta kawasan geopark Gunung Sewu dampak dari peninjauan ulang. Ini bisa jadi preseden buruk. Kalau misal mendapat kartu merah ya mau bagaimana lagi,” katanya saat dihubungi Mongabay, 20 Desember.

Seharusnya, kata Budi,  luas KBAK bukan dikurangi justru ditambah. Terlebih saat ini Pemerintah DIY sedang menggodok peraturan gubernur mengenai pembangunan berbasis ekonomi hijau. Seharusnya,  kebijakan di bawahnya juga mengikuti.

Kalau karst keluar dari KBAK, katanya, Indonesia harus bersusah payah mendaftarkan kembali dan mungkin 10 tahun lagi baru disetujui karena proses lama. Padahal,  kehadiran Geopark Gunung Sewu ini melalui serangkaian proses panjang yang tak mudah sejak 2007.

Meskipun UNESCO tak melarang kegiatan ekonomi di kawasan geopark, namun ada klausul harus memenuhi aturan yang ada.

“Membangun di kawasan karst sudah pasti berbeda dengan membangun di kawasan non karst. Apakah bangunan yang ada saat ini sudah memiliki izin, Amdal, dan lain-lain?”

Dengan masuknya Gunung Sewu dalam jaringan geopark dunia, katanya, bisa mengangkat citra kawasan hingga makin dikenal. Hal ini, katanya,  mampu mendorong pendapatan daerah dan ekonomi masyarakat.

Label GGN dari UNESCO, katanya,  bisa jadi katalisator pembangunan berkelanjutan di Gunungkidul.

“Apa yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil itu karena melihat indikasi di Gunungkidul bagian selatan muncul bangunan resort-resort di kawasan KBAK. Mestinya kan nggak boleh. Jangan-jangan pengurangan luas itu untuk meloloskan perizinan itu.”

 

 

 

*********

 

 

 

 

Exit mobile version