Mongabay.co.id

Catatan Penyakit Mulut dan Kuku: Menyerang Ternak dan Antisipasinya pada Satwa Liar

Petugas kesehatan menyuntik sapi yang sakit di wilayah Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Penyakit mulut dan kuku [PMK] begitu menular pada hewan ternak. Penyebarannya sangat cepat dan lintas negara.

Di Indonesia, penyebaran kasus PMK terjadi sejak April hingga September 2022, yang meluas hingga 24 provinsi. Awal merebak dilaporkan terjadi di 4 kabupaten di Jawa Timur [Gresik, Mojokerto, Lamongan dan Sidoarjo], sebanyak 1.296 ternak sakit dan 8 ternak mati, serta di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh.

Teguh Budipitojo, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, menjelaskan berdasarkan catatan sejarah, wabah PMK pertama kali di Indonesia tahun 1887 saat importasi sapi perah oleh pemerintah Hindia Belanda, dari Belanda ke Pulau Jawa. Wabah dilaporkan kembali di Pulau Jawa pada 1983. Saat itu, upaya pemberantasan PMK dilakukan melalui vaksinasi massal.

Indonesia dinyatakan bebas PMK tahun 1986 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.260/Kpts/TN.510/5/1986, diperkuat badan dunia bidang Kesehatan hewan, OIE, Nomor XI Tahun 1990.

“PMK disebabkan virus dari genus Apthovirus, keluarga Picornaviridae,” terangnya dikutip dari ugm.ac.id.

Teguh menjelaskan, hewan yang peka terhadap infeksi virus PMK adalah hewan berkuku genap/belah, yaitu jenis ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan rusa. Hewan lain yang dapat terinfeksi adalah babi, unta, dan beberapa jenis hewan liar seperti bison, antelope, menjangan, jerapah dan gajah.

Namun, pada skala penelitian menggunakan hewan laboratorium yang diinfeksi secara buatan dengan virus PMK, dilaporkan penyakit ini dapat menular pada tikus, marmut, kelinci, hamster, ayam, dan beberapa jenis hewan liar.

“Akan tetapi tidak berperan penting dalam penyebaran secara alamiah,” jelasnya.

Baca: Penyakit Mulut dan Kuku Serang Hewan Berkuku Belah, Gajah Sumatera Aman

 

Penyakit mulut dan kuku menyerang hewan berkuku belah seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Melawan PMK

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan [Dirjen PKH] Nasrullah menyampaikan, untuk pencegahan dan pengendalian PMK, Kementerian Pertanian telah melakukan berbagai tindakan.

Sebut saja, menyusun 28 regulasi dan langkah strategi, pembentukan gugus tugas, bantuan obat-obatan dan pakan, vaksin, penggantian ternak, dan pelatihan sumber daya manusia.

Data Siaga PMK menunjukkan, perkembangan nasional hingga tanggal 11 Desember 2022 adalah 11 provinsi zero reported case. Sejauh ini, 16 provinsi masih terdampak PMK.

Vaksinasi sudah dilakukan pada 9.224.101 ekor hewan. Rinciannya, sapi potong [7.232.105 ekor], sapi perah [322.477 ekor], kerbau [171.240 ekor], kambing [745.414 ekor], domba [352.143 ekor], dan babi [400.722 ekor].

Jumlah kabupaten/kota yang tertular saat ini 129 kabupaten/kota dari semula 294 kabupaten/kota.

“Kementerian Pertanian telah memproduksi 1 juta dosis vaksin dan akan terus bertambah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” jelasnya, Selasa [13 Desember 2022].

Baca: Wabah Penyakit Mulut dan Kuku Hewan Ternak Terus Meluas

 

Petugas kesehatan menyuntik sapi yang sakit di wilayah Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, pada Mei 2022 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

PMK dan satwa liar

Berdasarkan informasi  yang ditulis Jamal dan Belsham [2013], ada 70 spesies satwa liar yang bisa tertular penyakit ini, salah satunya jenis kerbau Afrika [Syncerus caffer].

Menurut Belsham dkk [2022], infeksi PMK pada satwa liar terjadi pada bagian tanduk atau kuku dengan ciri pengelupasan.

“Pada penelitian di Afrika, infeksi pada satwa liar sangat sulit dikendalikan,” jelasnya.

Satu cara antisipasi penyebaran virus adalah dengan pemagaran pada kawasan konservasi. Tujuannya, terhindar dari kontak khususnya ternak domestik yang memang sudah menjadi pembawa penyakit ini.

“Pada kasus di Afrika, ternak yang berada di zona penyangga kawasan konservasi diberi vaksi dua kali setahun.”

Penularan penyakit ini, diketahui berasal dari hewan terinfeksi yang baru tergabung dalam kawanan [membawa virus dari air liur, susu, dan lainnya] juga kandang/bangunan maupun kendaraan pengangkut hewan yang terkontaminasi.

Bisa dari bahan yang terkontaminasi seperti jerami, pakan, air, atau pakaian, alas kaki, bahan biologis, maupun aerosol yang terinfeksi [melalui aliran udara].

Lebih dari 50% ruminansia yang sembuh dari penyakit dan telah divaksin, dapat terpapar virus kembali dan menjadi pembawa. Kondisi pembawa virus dapat bertahan hingga 3,5 tahun pada sapi, 9 bulan pada domba, dan >5 tahun pada kerbau Afrika.

Berdasarkan informasi Food and Agriculture Organization of the United Nations, jenis satwa liar di Eropa yang rentan terkena virus ini adalah babi hutan [Sus scrofa], Roe deer [Capreolus capreolus], rusa merah [Cervus elaphus], European fallow deer [Dama dama], dan ovis [Ovis orientalis].

Tidak tertutup kemungkinan, ada jenis satwa yang disebutkan itu, terdapat di kawasan konservasi di Indonesia, yang berpotensi dapat tertular karena letaknya berbatasan dengan permukiman.

 

Referensi:

 

Exit mobile version