Mongabay.co.id

Warga Terdampak Proyek Bendungan Bener Tuntut Hak Malah Terjerat Hukum

 

 

 

 

Sudah jatuh tertimpa tangga, alih-alih ada pemenuhan hak, malah terjerat hukum. Hal ini dialami enam warga Dusun Kalipancer, Desa Guntur, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Saat protes menuntut hak lahan yang terdampak proyek Bendungan Bener berujung ricuh, enam warga jadi tersangka. Mereka kena tuding merusak dan terjerat Pasal 170 KUHP.

Keenam petani itu adalah Miftakhul Khafid, dan, Mukhlis Indra Arianto, sama-sama merangkap sebagai Kepala Dusun Kalipancer II dan Kalipancer I. Ada juga Tiiti Edi Setyo, Senin, Sutrasno, serta Saiful Arif.

Dari penelusuran Mongabay, penetapan tersangka sebagai buntut kericuhan saat warga menggelar aksi spontan di proyek bendungan, 4 Agustus lalu. Dalam aksinya, warga menuntut pemerintah menyelesaikan hak-hak warga.

Alih-alih tuntutan terpenuhi, enam dari ratusan warga yang ikut aksi malah kena pasal KUHP.

Khafid kaget jadi tersangka. Dia tak menyangka aksi menuntut pemerintah memenuhi hak warga justru jadi tersangka. Pada 20 Desember lalu, dia dipanggil Polres Purworejo guna dimintai keterangan.

“Saya tahu kalau jadi tersangka ya pas menerima surat panggilan itu karena sebelumnya belum pernah menerima surat penetapan status sebagai tersangka,” katanya.

Dia cerita, 15 Desember dihubungi Misrun, tokoh dusun datang ke Sekretariat Masyarakat Terdampak Proyek Bendungan Bener (Master-Bend).

Dia meluncur. Rupanya, sudah ada dua petugas dari Polres Purworejo yang menunggu menyerahkan surat. Penyidik memanggilnya sebagai tersangka.

“Ya kaget juga sih. Wong baru sekali juga diperiksa sebagai saksi. Sama kawan-kawan yang lain juga,” kata Khafid.

 

Warga Guntur, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo menunjukkan surat panggilan sebagai tersangka. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Pemeriksaan pertama itu pun, sudah berlangsung lama. Sekitar Agustus lalu sebelum akhirnya datang surat pemanggilan.

Dia  bilang, jadi tersangka itu berawal dari aksi doa bersama warga Guntur pada 4 Agustus lalu sebagai bentuk dukungan moril rencana melaporkan pelaksana proyek atas dugaan perusakan dan penyerobotan lahan.

“Saat kami berangkat ke Polres untuk membuat laporan, sebagian warga yang lain menggelar doa bersama di depan lokasi proyek,” katanya.

Namun, acara yang semula berlangsung damai itu berubah ricuh setelah ada yang memprovokasi. Atas peristiwa itu, pelaksana proyek kemudian melaporkan ke polisi.

Sejatinya, dia tidak mempersoalkan pelaporan itu ke aparat. Namun, dia nilai polisi bersikap tak adil. Pasalnya, laporannya terkait dugaan perusakan dan penyerobotan lahan tidak jelas kelanjutan hingga kini.

“Padahal, sebelum mereka,  kami lebih dulu yang membuat laporan. Ini tidak diproses, malah yang ini sudah ada tersangka,” katanya.

Bendungan Bener, merupakan proyek strategis nasional (PSN). Secara administratif, lokasi bendungan berada di Desa Guntur, Kecamatan Bener,  sekitar 12 kilometer Kota Purworejo, Jawa Tengah. Bendungan ini dibuat dengan membendung aliran Sungai Bogowonto yang berhulu di kaki Gunung Sumbing.

Dokumen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, genangan bendungan meliputi tiga desa di dua kabupaten, yakni Guntur (Kecamatan Bener), Kemiri (Kecamatan Gebang) di Purworejo. Lalu, Desa Buat ,  Bener, Gadingrejo di Kecamatan Kepil, Wonosobo.

 

Beragam poster bernada protes ditempel warga di kantor lapangan proyek.Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Air bendungan untuk beberapa keperluan, seperti irigasi pertanian di Purworejo., suplai air bersih untuk Purworejo, Kebumen dan sebagian Yogyakarta.

Pada irigasi, masih merujuk dokumen sama, setidaknya akan ada 1.940 hektar lahan pertanian baru mendapat suplai dari bendungan ini.  Menurut dokumen itu,  lahan pertanian diproyeksikan bertambah dari 13.579 hektar ke 15.519 hektar. Pola tanam juga perkirakan meningkat jadi 263% dari 202%.

Secara teknis, bendungan akan dibangun setinggi 156 meter dan lebar puncak bendungan mencapai 12 meter. Luas genangan bendungan mencakup 690 hektar dengan daya tampung mencapai 100,94 juta meter kubik.

Masih dari data KPUPR, panjang timbunan (as bendungan) estimasi 533,3 meter dengan kebutuhan timbunan 8, 46 juta meter kubik. Pada dinding lereng hulu, desain perlindungan dibuat dengan beton, sedang lereng hilir didesain pakai metode rip-rap dengan elevasi puncak 356 meter.

 

Lahan terdampak proyek Bendungan Bener. Meski di luar peta lokasi, lahan miliknya digerus tanpa ada ganti rugi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Upaya bungkam warga

Dhanil Al Ghifary,  Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, menilai,  penetapan tersangka itu cacat prosedur. “Mereka belum terima surat penetapan tersangka, tahu-tahu sudah dipanggil sebagai tersangka,” katanya.

Apa yang dilakukan warga, katanya, merupakan bagian dari perjuangan menjaga kelestarian lingkungan.  Dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), upaya warga itu mendapat perlindungan.

“Mereka harus dibebaskan dari tuntutan pidana maupun perdata, harusnya begitu,” katanya saat dihubungi 26 Desember lalu.

Dia lihat,  secara politik, penetapan tersangka itu juga bagian dari upaya pemerintah menakut-nakuti warga. “Ini lebih sebagai upaya menggembosi atau mengintimidasi warga di tapak bendungan dari perjuangan mereka untuk mendapatkan haknya.”

Himawan Kurniadai, Kepala Divisi Advokasi Kawasan Walhi Yogyakarta mengatakan, penetapan tersangka enam warga Guntur itu sebagai upaya pemerintah lari dari tanggung jawab.

“Warga protes itu bukan tanpa sebab. Ada hak-hak warga yang diabaikan negara. Tanah diserobot, dirusak begitu saja tanpa komunikasi, tanpa ada ganti rugi. Konteks ini yang tidak dipahami pemerintah dan polisi,” katanya.

Sejak aksi protes warga pada 4 Agustus itu berlangsung, pekerjaan proyek bernilai triliunan itu berhenti. Bahkan, saat Mongabay ke lokasi 15 Desember lalu, beberapa alat berat juga ditarik.

Dia pun mengkritik sikap kepolisian yang dinilai tak adil. Pasalnya, dugaan perusakan dan penyerobotan lahan yang dilaporkan lebih dulu, belum ada penetapan tersangka. Sebaliknya, laporan perusakan oleh warga, langsung menetapkan enam warga jadi tersangka.

“Kalau mau adil, seharusnya laporan warga yang lebih dulu masuk, itu yang diproses,” kata Adi.

AKP. Khusen Martono, Kasat Reskrim Polres Purworejo,  membantah tudingan penatapan tersangka itu sebagai kriminalisasi. “Tidak ada kriminalisasi itu. Ini murni bagian dari pengusutan tindak pidana,” katanya saat dikonfirmasi Mongabay,  26 Desember lalu.

Dia mengaku, telah memiliki dua alat bukti cukup untuk menaikkan status keenam warga sebagai tersangka. “Kalau tidak ada bukti, ya mana mungkin jadi tersangka.”

Bagaimana dengan laporan warga perihal dugaan perusakan dan penyerobotan lahan oleh pelaksana proyek terhadap lahan di peta penetapan lokasi? Kasat menjamin,  bila kasus ini masih dalam proses. Dalam waktu dekat, katanya, akan naik ke tahap penyidikan.

“Masih lanjut terus prosesnya. Segera kami naikkan ke penyidikan.”

 

Proyek Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang berhenti menyusul adanya protes warga. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

********

 

 

Exit mobile version