Mongabay.co.id

Catatan Awal Tahun: Merapal Mitigasi Gempa Cianjur

 

 

Para penyintas gempa di Cianjur tumbuh dan bertahan dengan sebekas ingatan yang sulit lupa. Di udara dingin pagi kelabu di penghujung tahun 2022, ingatan Edah (75) warga Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, masih menyimpan trauma tentang betapa mengerikannya bencana kala itu.

Sekalipun sudah 52 hari berlalu di pengungsian. Edah masih sering termangu. Dia gusar perihal nasibnya. Setelah rumahnya hancur dan merontokkan mentalnya.

Kehilangan dua cucu kesayangan bukanlah sekedar duka lara belaka. Sambil menyeka air mata. Edah hanya pasrah dan berharap denyut kehidupan kembali berangsur pulih.

“Pemerintah memberi bantuan bagi rumah yang tidak direlokasi. Jika dibolehkan saya ingin kembali membangun rumah panggung,” kata Edah tersipu.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang sudah mengeluarkan rekomendasi pasca gempa berdaya magnitudo 5,6 yang membelah tanah dan merobohkan ribuan rumah bangunan. Khusus pada zona kerawanan tinggi, relokasi menjadi rekomendasi yang diprioritaskan.

Adapun kawasan tersebut meliputi 10 desa dari 2 kecamatan. Informasi kompensasi juga sudah sampai ke telinga warga. Besarannya Rp30 – Rp60 juta tergantung kategori kerusakan.

Pasca masa tanggap darurat bencana diberhentikan sejak 10 desember lalu, pemerintah berupaya mencari alternatif lokasi hunian baru bagi warga. Jaraknya 10 kilometer dari Cugenang, 200 unit rumah sedang digarap di Desa Cilaku.

Di lahan 2.5 hektar, sejumlah pekerja terlihat sibuk membangun rumah tahan gempa dengan teknologi panel struktur instan sederhana sehat. Menurut rencana, rumah bertipe 36 lengkap dengan reservoir, balai RW, dan taman bermain tersebut bakal jadi rujukan membikin tempat relokasi.

baca : Rumah Panggung yang menyelamatkan Dayi dari Gempa Cianjur

 

Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah tahan gempa di Kampung Sirnagalih, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, menurut Projek Manager PT. Brantas Abipraya, Ade, penentuan lokasi yang disediakan pemerintah daerah baru ditentukan satu lokasi. Dari target pemenuhan 3.000 rumah, kebutuhan lahan masih belum memadai.

“Kami dapat bekerja cepat ketika pemerintah daerah sudah punya penlok (penetapan lokasi). Sejauh ini hanya ada di Cilaku yang sudah jelas penloknya,” paparnya. Ade memprediksi penyelesaian hunian tahan gempa itu paripurna pada awal tahun depan.

Penyintas gempa menuntut kejelasan perihal mekanisme hingga akses pekerjaan terkait rencana relokasi. Namun, banyak warga berat hati untuk pindah. Salah satunya Mamat (54), warga Desa Mangunkerta. Dia menghitung secara matematika seputar mata pencahariannya.

“Belum lagi soal adaptasi yang butuh waktu lama,” katanya. “Kalau bisa, tidak usah pindah. Karena dimanapun pindah bencana selalu ada. Terutama ini menyoal kehidupan yang sudah berjalan lintas generasi.”

Gempa bumi memang bukan cukilan sejarah. Tetapi gempa menjadi sepotong kisah yang kini mesti disadari secara seksama. Apalagi fenomena alam ini punya siklus waktu yang berulang.

Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur, Nurdin, cenderung mengindahkan rekomendasi BMKG. Hasil identifikasi Sesar Cugenang yang memanjang sekitar 8 kilometer jelas menyimpan potensi bahaya.

“Karena sudah ada informasi dan rekomendasi diharapkan penduduk di wilayah dengan kerentanan tinggi untuk mau direlokasi,” terang Nurdin.

Adapun kewenangan dan mekanisme relokasi sepenuhnya diatur pemerintah daerah, katanya. Saat ini, secara simultan warga yang tinggal di zona merah didata sebagai langkah taktis.

Walaupun memang masih belum diputuskan ihwal penlok berikutnya. Kecuali hunian tahan gempa di dekat tempat pembuangan akhir (TPA) Pasir Sembung Cilaku. Setidaknya, butuh sekitar 30 hektar untuk mengentaskan pembangunan 3.000 rumah sebagaimana yang ditargetkan.

baca juga : Begini Mitigasi Tsunami dan Gempa Megathrust Selatan Jawa

 

Warga memilah sisa-sisa bahan bangunan yang roboh untuk digunakan kembali di Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Nurdin, menuturkan, pasca dicabutnya masa tanggap bencana setelah 30 hari, warga sudah diperkenankan kembali ke rumah masing-masing. Namun, separuh warga yang rumahnya hancur masih bertahan di tenda pengungsian. Pihak BPBD berencana membangun tenda keluarga untuk mencegah penularan penyakit yang kini sudah merebak di tiap posko.

“Aplikator terdiri dari TNI dan Polisi juga sudah bertahap melakukan pembongkaran sekaligus pertanyaan. Nantinya segera akan dibangunan ulang yang diawasi oleh Kementerian PUPR,” terangnya. Proses pemulihan ini ditargetkan tuntas selama rentang waktu 3 tahun.

 

Momen Penting

Gempa dangkal yang jauh lebih besar dari gempa Cianjur ini berpotensi dapat terjadi di kota-kota yang lebih padat penduduknya. Apalagi BMKG merinci penyebab gempa Cianjur menjadi sangat merusak disebabkan antara lain hiposenter gempa yang sangat dangkal, episenter gempa di dekat pemukiman, dan lokasi topografi pemukiman berada di wilayah labil.

Terlebih, kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawa, Jabar menjadi salah satu wilayah dengan catatan bencana yang tinggi secara nasional. Kondisi ini menuntut peningkatan literasi sains kebencanaan agar upaya mitigasi terus diutamakan.

Dia juga berharap bencana Cianjur bisa meningkatkan literasi kebencanaan. Sebab, rasa aman (sense of security) perlu terus dirawat agar memiliki sikap kewaspadaan.

Meski, katanya, masyarakat kita bukan masyarakat yang rajin membaca. “Jadi kami modifikasi cara memberikan informasi kebencanaan itu tidak harus dengan membaca. Misalnya, kami membuat audio visual agar masuk kepada semua elemen masyarakat.”

Dwikorita menegaskan, mengedukasi dan membangun pemahaman harus berulang. Ujungnya adalah membangun sikap. Dan akhirnya menjadi budaya. Hanya saja pada realitanya kecenderungan masyarakat kita acapkali abai karena ketiadaan pengalaman.

“Karena tidak mengalami langsung kadang mereka lupa dan abai. Contohnya dulu sudah ada kurikulum mitigasi bencana sekolah-sekolah formal. Agaknya, kini sudah tidak ada lagi,” imbuhnya.

baca juga : Saat Gempa Cianjur Memberi Sinyal Literasi dan Mitigasi

 

Aktivitas warga pasca gempa di SDN Gintung, Cugenang, Cianjur, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Merujuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) mengamanatkan pentingnya pemberian perlindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari risiko bencana.

Adapun keunggulan pada Program SPAB adalah fasilitas sekolah aman, manajemen bencana sekolah, dan pendidikan pencegahan berikut pengurangan risiko bencana. Berdasarkan informasi di kanal resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah ada 27.000 lebih satuan pendidikan yang telah melaksanakan SPAB di Indonesia. Setidaknya hingga tahun 2019.

Akan tetapi peristiwa gempa cianjur menguji keseriusan itu. Data BNPB menunjukkan, ada 525 fasilitas pendidikan dan 14 fasilitas kesehatan yang rusak. Gempa ini pun terjadi saat masih jam belajar sehingga menimbulkan korban didominasi kalangan anak-anak.

Ahli kebencanaan yang juga Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno, sependapat bahwa minimnya literasi kadang berujung nestapa. Kearifan lokal yang selalu adaptif terhadap karakter bencana dan diwariskan turun-temurun itu ada jika berada dalam siklus pengalaman.

“Artinya ada dalam siklus kehidupan yang diketahui,” katanya. Namun, ketika karakter lingkungan berubah serta periodesasi siklus perulangannya tidak terdeteksi, di situ manusia punya keterbatasan ingatan. Sehingga pengetahuan sebelumnya terkikis hingga nekat mengambil resiko tinggi.

Kata Eko, bencana cenderung terjadi pada masyarakat yang rentan. Kerentanan mereka diakibatkan oleh keterbatasan akses terhadap lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi. Sehingga dibuat tak berdaya memilih tempat yang tidak aman. Mereka dipaksa hidup di kawasan rawan longsor atau pergerakan tanah, dan di bantaran sungai yang sering dilanda banjir.

“Itu mungkin menjadi ironi dari faktor kesiapsiagaan saat ini,” katanya.

Eko memberi rujukan mitigasi paling efektif dimulai dari tingkat komunitas. Namun, cara ini kurang populis di masyarakat.

perlu dibaca : Terancam Gempa Magnitudo 8,7 dan Tsunami 10 Meter, Begini Upaya Mitigasi di Pesisir Selatan Jawa

 

Foto udara kondisi pemukiman setelah dilakukan perobohan rumah sebagai upaya pemulihan pasca gempa di Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sepanjang risetnya, Eko menemukan pergeseran sosial yang terjadi. Masyarakat masa kini cenderung ada ketergantungan kepada pemerintahan yang lebih besar. Padahal masa kolonial, kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana sudah teruji. Mereka mampu menyelesaikan di tingkat komunitas.

“Dulu bencana dianggap masalah sosial sehingga dianggap penting, sekarang mungkin sudah berbeda makna,” ungkap Eko.

Sementara itu, di pojokan sudut Kantor Desa Sarampad, Cugenang, Cianjur, Dudu Abdurajab acapkali mengerutkan kening. Pikirannya semrawut. Sebagai kepala desa, dia dituntut gesit mengatur pelayanan masyarakat. Sedangkan wilayahnya masuk dalam kategori desa yang terlintasi sesar cugenang.

Kegusaran Dudu menjadi cerminan. Di wilayah dengan risiko bencana tinggi, Jabar termasuk daerah yang minim program mitigasi bencana. Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2021, wilayah pemerintahan pertama tersebut yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam hanya 13 persen dari total 5.957 desa dan kelurahan di Jabar.

 

Meneguhkan Usaha

Jauh sebelum diperhatikan saat ini, sebetulnya Belanda sudah mengenal dan menerapkan bangunan tahan gempa,. Gedung Sate di Kota Bandung, misalnya, dikenal sebagai gedung yang mewariskan kemampuan teknik mitigasi bencana dengan konsep arsitekturnya.

Warisan arsitektur konstruksi anti gempa dirancang Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Limburg Stirum itu awalnya memang untuk menggantikan gedung pusat pemerintahan Hindia Belanda yang akan dipindah dari Batavia ke Bandung.

Haryoto Kunto dalam Balai Agung di Kota Bandung menulis, J. Gerber dari Lands Gebouwen Dienst (Jawatan Gedung-gedung Nusantara) adalah arsitek dibalik itu. Dia terpilih karena menawarkan paduan bentuk arsitektur lokal dan Eropa yang ideal.

Dalam Peta Rencana Pembangunan Gedung Sate 1920 memperlihatkan penerapan tangga batu sebagai pondasi. Tujuannya agar struktur bangunan tetap lentur meskipun ada guncangan. Pondasinya itu pun nyaris serupa dengan rumah tradisional masyarakat adat Sunda. Seperti halnya Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi.

baca juga : Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang

 

Sejumlah anak menari di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat. Gedung yang dirancang tahun 1920 ini sudah memakai konsep bangunan antigempa. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Belanda waktu itu dipercaya sudah membaca kondisi geologi sebelum merencanakan pembangunan. Karena selain dari konstruksi yang serius, konsep mitigasi bencana terlihat dari penetapan lokasi.

Hal itu diperkuat oleh pendapat Ahli geografi, T Bachtiar, yang menyebutkan, Gedung Sate berada di kawasan batuan solid. Posisinya 75 meter lebih tinggi dari titik tertinggi Danau Bandung Purba yang lapisan tanahnya labil.

Kepiawaian perencanaan pembangunan Belanda juga diungkap Dosen Departemen Geologi Sains Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Ismawan. Menurutnya, literatur kegempaan Indonesia banyak mengadopsi dari penemuan orang-orang Belanda.

Ismawan memberi contoh lain yakni pembangunan Observatorium Bosscha, di Lembang. Peneropongan bintang tertua di Indonesia itu menjadi bukti pengetahuan Belanda tentang Sesar Lembang. Ismawan mengatakan, lokasi bangunan Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda persis berada di tubir sesar.

baca juga : Hidup Mati Gunung Api di Jawa Barat yang Sewaktu-Waktu Bisa Meletus

 

Bangunan Teleskop Refraktor Ganda Zeiss di kompleks Observatorium Bosscha. Foto: Bosscha Observatory/Muhammad Yusuf

 

Berada pada ketinggian 1.310 meter di atas permukaan laut atau pada ketinggian 630 meter dari dataran tinggi Bandung, Boscha dirancang kuat menahan guncangan berdaya magnitudo 7. Katanya, mereka sudah menyadari jika gempa bumi adalah kejadian biasa yang sering terjadi di Nusantara.

“Sudah waktunya literatur gempa mulai direfleksikan kembali entah itu untuk bangunan pemerintahan maupun hunian,” katanya.

Dibalik jatuhnya 640 korban jiwa yang dihimpun Badan SAR Jabar, seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah. Bagi Eko Paripurno, ruang publik dan fasilitas seperti sekolah selayaknya menjadi tempat paling aman saat terjadi bencana. Namun tidak hanya keamanan bangunan, pemerintah maupun komunitas masyarakat harus disiapkan untuk menghadapi gempa yang sewaktu-waktu melanda. (***)

 

 

Exit mobile version