Mongabay.co.id

Cerita dari Kampoeng Batara, Sekolah Adat Berbasis Konservasi di Banyuwangi

 

 

 

 

Puluhan anak berpakaian serba hitam berkumpul di Rumah Budaya dengan model rumah adat khas Banyuwangi. Sebagian bermain alat musik tradisional di bagian depan. Di bagian tengah, belasan anak berbincang satu sama lain. Pada bagian belakang, beberapa anak berkelompok sambil diskusi peta yang tertera di kertas karton warna putih.

“Aku mau nyobain ini.  Ayo gantian. Sini biar aku yang jelasin. Mainnya gantian.” Riuh puluhan anak terdengar saat saya masuk ke tengah-tengah mereka sambil ambil gambar.

Kampoeng Batara. Begitu nama organik dari sekolah adat berbasis konservasi di kaki Gunung Raung sebelah timur. Tepatnya, masuk Lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi.

“Kampoeng Batara lahir dari keprihatinan kondisi pendidikan. Waktu sekitar 2013. Anak-anak usia sekolah memprihatinkan,” kata Widie Nurmahmudy, penggagas Kampoeng Batara, beberapa waktu lalu.

Kala itu, katanya, banyak anak putus sekolah. Tamat SD dianggap sudah selesai bahkan ada yang tak tamat SD. Selain itu, katanya, perkawinan usia anak pun tinggi serta kurang kesadaran masyarakat akan pendidikan.

Kampoeng Batara resmi berdiri 31 Oktober 2015. Kala itu, ada empat anak jadi anggota Batara.

“Fendi, Humairo, Lita dan Firman.” Widie mengenang empat anak pertama yang bergabung di sana.

Saat itu, Batara masih belum punya tempat khusus, masih gunakan kobhung (langgar) kecil. Sesekali mereka belajar dan bermain di halaman dan ruang terbuka di sekitar rumah.

“Keempat anak  ini masih famili dekat, ada yang ponaan, ada juga yang garisnya cucu,” katanya.

Kata ‘kampoeng’ dia pakai identik dengan damai dan sejuk, sesuai tempat tinggalnya. Istilah ‘Batara’  adalah akronim dari baca taman rimba.  Kata ‘baca’ diartikan dapat membaca semua,  tak terbatas pada teks. Kata ‘taman’, bermakna keindahan dan memberikan kesenangan sesuai fungsi taman itu sendiri.

 

Mereka belajar alat musik tradisional di Kampoeng Batara. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, ada dua suku dominan di sekitar Papring, dari keturunan Madura dan Osing. Masyarakat setempat rata-rata paham dua bahasa juga, Madura dan Osing. Ia jadi bahasa sehari-hari.

“Misal lawan bicara saya pakai bahasa Osing, direspon dengan bahasa Madura. Pun sebaliknya. Kami nyaman dengan kebiasaan itu.”

Kata ‘rimba’ memang benar-benar suasana hutan. Batara berada di pinggiran hutan yang masuk Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Gombeng, bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ketapang,  di bawah Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Utara, Banyuwangi.

Pembelajaran di sini pun memakai konsep bermain sembari memberikan pengetahuan soal alam, konservasi dan budaya lokal.

“Sesuai niat awal bahwa kami tidak ingin ambil pusing dengan membuat aturan ini itu. Jadi, obyeknya pun bukan sesuatu yang ribet. Bagi kami, banyak aturan soal belajar, justru bikin ribet dan membosankan,” katanya.

 

Memasuki Kampoeng Batara, sekolah adat berbasis konservasi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Alam, konservasi dan budaya lokal

Masih lekat di ingatan Widie, dulu, anak-anak Batara, tidak bisa membedakan antara tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dan petai (Parkia speciosa), karena  melihat daun, sekilas hampir sama.  Antara lain pengetahuan soal jenis tanaman ini yang mereka pelajari di Batara.

“Alam sekitar dan kekayaannya adalah pengetahuan. Penanaman pengetahuan lokal, seharusnya mulai dari anak-anak. Kami tidak langsung menggurui. Kami justru mengikuti alur, dan rasa keingintahuan anak-anak itu sendiri,” kata Widie.

Meskipun bernama  identik dengan sekolah, Batara tidak mengkotak-kotakkan anak-anaknya.  Mulai usia pra sekolah sampai sekolah menengah atas, campur. Sistemnya, yang lebih tahu mengajarkan yang belum tahu dengan tetap menggunakan metode pembelajaran yang menyenangkan.

Widie mengatakan, ada beberapa materi ajar di Kampoeng Batara ini. Ada maca kahanan (literasi dasar). Berisi konsep baca-tulis-hitung dasar melalui berbagai kearifan lokal yang memuat pemahaman tentang kondisi lingkungan di Papring. Ada bahasa ibu dan sastra. Menyajikan konsep bahasa ibu dan komponen sastra yang memuat bahasa lokal. Ada juga tradisi dan ritual. Ini mempelajari  tradisi dan ritual di Papring.

Kemudian, seni budaya. Ini belajar soal seni budaya di masyarakat Papring. Juga, soal mengenal permainan rakyat dan olahraga tradisional Papring dan nusantara.  “Ada juga belajar tentang olahan tradisional atau kuliner tradisional di Papring,” katanya.

Mereka juga belajar tentang hukum adat di masyarakat Papring, belajar konsep lumbung dan pertanian Papring, belajar tanaman rempah dan hortikultura endemik lingkungan Papring dan sekitar. Mereka juga belajar nandur kamulyan (konservasi lingkungan) dan tak ketinggalan mempelajari kerajinan Bambu  khas Papring.

Pada 2019, Kampoeng Batara terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM ditandai dengan keluar Surat Keputusan Pendirian SA Kampoeng Batara dari kementerian ini.

Kampoeng Batara juga mendapat Banyuwangi  Education Award 2019 dari Dinas Pendidikan Banyuwangi pada 2019. Selain itu, masuk nominasi Orang Baik Nomor 14 dari OB Indonesia. Pada 2018 dapat predikat  Kampung Inspiratif 2018 oleh Unit Kreativitas Mahasiswa Teater Pinggir Kali Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng Banyuwangi.

Herfan Efendi cerita saat diajak Widie  belajar bersama Kampoeng Batara sekitar 2015. Waktu itu, dia masih di bangku Kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah Darussalam 2 Papring.

Fendi ajak anak-anak lain. Di langar itu, mereka bermain,  belajar membaca, menggambar, menulis, dan dilatih  public speaking. Awal-awal di Batara, Fendi masih malu berbicara dengan orang luar atau di depan orang banyak. Sejak berlatih di Batara, rasa percaya diri untuk bicara di depan orang lain tumbuh dari waktu ke waktu.

“Jujur, dulu, saya malu menyebut nama Papring. Dulu, kalau ditanya orang, saya jawab dari Kalipuro saja. Kenapa? Karena dulu jarang orang luar mau ke Papring. Jangankan ke sini, yang kenal atau tahu Papring sedikit. Dulu, jalanan becek. Infrastruktur tidak sebagus sekarang. Kalau sekarang sudah aspal, sebagian  paving,” kata Fendi, sekarang sudah duduk di SMK Negeri 1 Banyuwangi ini.

 

Belajar alat musik tradisional. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Anak-anak bermain dan belajar di Batara tiap Minggu karena hari lain mereka sekolah formal. Beberapa minggu berjalan, Fendi keliling kampung pakai sepeda ontel, mengajak teman-teman di sekitar Papring untuk bergabung.

“Pas ngajak,  saya bilang, yang  mau gabung silakan. Dari tiga orang, akhirnya ada sampai 11 orang bermain dan belajar di Batara. Habis itu, saya  coba kenalkan Papring di sekolah saya. Ada beberapa teman sekolah tertarik. Mainlah ke sini. Ada teman desa sebelah, tertarik.”

Kini, sudah ratusan anak gabung sejak Kampoeng Batara berdiri. Ketika lulus sekolah dasar, sebagian anak-anak ini langsung mondok.  Saat liburan, mereka datang dan belajar di Kampoeng Batara.  Tahun ini, ada sekitar 70 anak aktif belajar.

Fendi bilang, salah satu pelajaran di sini soal permainan tradisional,  seperti egrang bambu, egrang batok, leker, karet, tuluk, seltop, ban banan, kemplut,  gasing, pantel, petak umpet, kalak bhutah, pok kropoan, dan banyak lagi.

“Saya kadang harus memposisikan diri sebagai anak kecil. Karena harus menemani adik-adik yang usia jauh di bawah saya. Itu menyenangkan,” katanya.

Lama kelamaan, ada sekolah di luar Kalipuro yang berkunjung ke Kampoeng Batara. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi, baik untuk penelitian dan pelatihan, belajar permainan tradisional, belajar tanaman di sekitar, seni budaya, bahkan kerajinan bambu.

“Kami di sini belajar mocoan lontar, tulisannya Arab pegon, bacanya Jawa Osing. Ada tembangnya tersendiri. Saya pernah ikut pelatihan mocoan lontar sekitar 2020 di Kemiren, Gelagah, di Rumah Budaya Osing. Waktu itu, mewakili Batara jadi satu satunya peserta dari kalangan anak-anak.”

Kala ikut mocoan lontar itu dia heran karena kebanyakan orang dewasa bahkan sepuh. ”Lha, kan ini budaya Banyuwangi, kenapa tidak ada anak muda yang ikutan?  Padahal disana, banyak anak muda yang dekat dengan lokasi tempat pelatihan.”

 

Pembelajaran di Kampoeng Batara pun memakai konsep bermain sembari memberikan pengetahuan soal alam, konservasi dan budaya lokal. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Tamam Fauzi, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Jajang Arum Lingkungan Papring, mengatakan, perjuangan Kampoeng Batara tidak  mudah. Mereka susah payah membangun dari awal sampai sekarang. Awal mula, ada juga yang mencibir bahkan fitnah. Namun, Batara tak ladeni itu. “Hanya buang waktu dan pikiran. Ini yang saya salut pada teman-teman Batara,” katanya.

“Alhamdulillah, [kini[ Batara dapat bantuan dari berbagai arah. Seperti bangunan untuk rumah budaya dari PLN dan rumah bambu, bantuan sumur bor dan mobil operasional dari Pertamina. Mobil itu, untuk antar jemput anak sekolah dan kepentingan angkut muat kepentingan  Batara.”

Ketika mendapatkan bantuan,  Batara undang beberapa warga, dan menyampaikan kalau fasilitas itu untuk Batara dan masyarakat tanpa pandang bulu.

“Dalam keyakinan kami, ini juga berkat  dari Tuhan. Akhirnya Batara jadi wadah yang benar-benar dapat menyatukan kami semua dan bersama-sama dalam membangun tanah kelahiran.”

Suwadi, Asisten Perhutani BKPH, Ketapang,  Banyuwangi Utara mendukung penuh Kampoeng Batara ini. Batara, katanya, wadah bagus untuk masyarakat mengembangkan pengetahuan, baik kearifan lokal dari segi budaya dan konservasi.

Sekolah Adat Kampoeng Batara, katanya,  dapat mengurai pentingnya hutan dan cara merawat sebagai bagian dari kehidupan manusia.  Artinya, masyarakat dapat edukasi tidak hanya memanfaatkan hasil, juga bagaimana merawat.

“Masyarakat, khusus anak- dapat menghargai potensi di sekitar mereka. Baik kesenian,  permainan tradisional juga tanaman sebagai sumber pengetahuan,” katanya.

Saona Lesmi , warga Dusun  Sumber Tilep, Papring pun bangga  ada Kampoeng Batara. “Saya juga ikut sekolah paket di sini. Saya dulu hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Karena keterbatasan ekonomi.”

 

Belajar bersama di Kampoeng Batara. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

********

Exit mobile version