- Conservation Response Unit [CRU] merupakan garda terdepan penanganan konflik manusia dengan gajah sumatera di Aceh.
- Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, serta pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan mitra kerja, membentuk sejumlah CRU sejak 2008.
- Saat ini, sebanyak tujuh CRU berdiri, di wilayah yang rawan konflik manusia dengan gajah.
- Tugas utama CRU adalah melakukan mitigasi konflik gajah dengan manusia, memberikan pendidikan dan penyadartahuan kepada masyarakat tentang satwa dan masalah lingkungan, serta patroli rutin.
Hendra Masrijal baru pulang dari Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Dia mengendarai sepeda motor, sementara temannya naik truk Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh untuk menjaga dua gajah jinak di kendaran tersebut.
Hendra dan rekannya merupakan perawat gajah atau mahout BKSDA Aceh yang ditempatkan di Conservation Response Unit [CRU] Trumon, Aceh Selatan. Lelaki yang tinggal di Saree, Kabupaten Aceh Besar, ini telah bertugas sejak CRU Trumon didirikan, pada 28 Juni 2012.
Hendra dan tim telah 10 hari di Desa Kapa Sesak, menggiring dua gajah jantan liar remaja yang masuk kebun masyarakat. Desa Kapa Sesak berbatasan langsung dengan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], wilayah yang kerap terjadi konflik antara manusia dengan gajah liar.
“Kami bertugas menggiring gajah untuk menjauh dari lahan masyarakat. Namun siang diusir, malamnya gajah balik lagi,” ungkapnya di CRU Trumon, Sabtu [5 November 2022].
Selain tim BKSDA Aceh dan CRU Trumon, penanganan konflik gajah di Desa Kapa Sesak melibatkan juga lembaga mitra Forum Konservasi Leuser [FKL].
“Kami memang ditempatkan di sini, membantu menanggulangi konflik satwa liar, khususnya gajah sumatera,” ungkap Hendra.
Baca: Mengapa Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera di Aceh Tinggi?

Tujuan utama pendirian CRU adalah merespon cepat bila terjadi konflik. Anggotanya, mahot dari BKSDA Aceh, sejumlah staf lembaga pemerintah, dan masyarakat lokal.
“Ketika terjadi konflik dengan gajah liar, kami yang pertama turun sembari menunggu tim dari Banda Aceh, atau ibu kota kabupaten. Makanya, letak CRU di pinggir hutan,” ujar Rizal, Leader CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Minggu [30 Oktober 2022].
Penggiringan gajah liar tidak bisa dilakukan sembarangan, harus ada pengetahuan tentang kebiasaan atau karakter gajah. Ini sangat penting, untuk mencegah tim dan gajah tidak terluka.
“Misal, kelompok yang memiliki anak butuh waktu lebih untuk menggiring, karena gajah-gajah itu harus menyapih dulu,” ujarnya.
Menurut Rizal, sejauh ini pihaknya sudah mengajak masyarakat untuk tidak lagi menanam tumbuhan yang disukai gajah, terutama di lokasi rawan konflik.
“Yang bisa kami lakukan hanya mengimbau,” terangnya.
Baca: Selama Habitatnya Dirusak, Konflik Manusia dengan Gajah Tetap Terjadi

Yusuf, warga Pinto Rime Gayo yang bekerja di CRU Peusangan, menuturkan pengalamannya berjibaku menangani konflik.
“Gajah liar di sini tidak pernah jauh dari permukiman atau lahan pertanian masyarakat, sehingga konflik bisa terjadi sewaktu-waktu.”
Menurut Yusuf, bila terjadi konflik, dirinya dan tim CRU segera melakukan penggiringan. Satu hal penting yang bisa dilakukan adalah membunyikan petasan atau mercon.
“Gajah itu masuk lahan malam hari, siangnya mereka berdiam di suatu tempat,” tuturnya, baru-baru ini.
Baca: Rancangan Pergub Aceh Tentang Konflik Satwa Liar Disusun, Sebagai Bencana Luar Biasa

Pendirian CRU
Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, serta pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan mitra kerja, membentuk sejumlah CRU sejak 2008.
CRU pertama adalah CRU Sampoiniet, di Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, pada Juli 2008. Berikutnya, CRU Mane, Kabupaten Pidie [Juni 2009]; CRU Trumon, Kabupaten Aceh Selatan [28 Juni 2012]; CRU Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara [Desember 2012]; CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur [27 Januari 2015]; CRU Peusangan di Pinto Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah [Januari 2016]; dan CRU Alue Kuyun, Kabupaten Aceh Barat [24 Oktober 2016].
Baca: Pagar Kawat Kejut Dirusak, Kawanan Gajah Liar Kembali Masuk Permukiman Warga

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Arianto pada 13 Desember 2022 mengatakan, CRU didirikan di wilayah rawan konflik dan di setiap CRU ditempatkan gajah jinak.
“Saat ini, jumlah gajah jinak pada tujuh CRU mencapai 27 individu,” jelasnya.
Baca: Kapan Manusia Berdamai dengan Gajah Sumatera?

Agus menambahkan, tugas utama CRU adalah melakukan mitigasi konflik gajah dengan manusia, memberikan pendidikan dan penyadartahuan kepada masyarakat tentang satwa dan masalah lingkungan, serta patroli rutin.
“Mereka adalah tim pertama yang turun ketika konflik terjadi. Untuk operasional, pendanaannya dari BKSDA Aceh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, serta lembaga mitra,” paparnya.
Baca juga: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, periode Januari hingga Oktober 2022, konflik manusia dengan gajah sebanyak 69 kasus. Sebarannya di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Selatan, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam.
Sementara, tahun 2021 [145 kasus], tahun 2020 [111 kasus], pada tahun 2019, jumlah konflik mencapai 106 kali. Pertikaian paling sering adalah gajah masuk kebun atau makan tanaman pertanian masyarakat.

Berdasarkan data Yayasan Leuser International [YLI] populasi gajah di Aceh menurun dari 800 individu pada 2003 menjadi 539 individu pada 2020. Gajah tersebar dalam 35 kelompok yang berada di 13 kabupaten. Aceh Jaya, Aceh Utara, dan Aceh Barat dengan populasi terbanyak.
Periode 2015-2020, jumlah konflik manusia dengan gajah mencapai 456 kasus. Daerah paling banyak konflik adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara. Tercatat 46 individu gajah terbunuh, yang terbanyak di Aceh Timur. Konflik dengan manusia merupakan penyebab utama kematian gajah [57 persen], akibat perburuan [10 persen], dan 33% karena kematian alami.
Menurut YLI, penyebab konflik manusia dengan gajah semakin sering terjadi, karena habitat gajah menyempit akibat menyusutnya kawasan hutan.
