Mongabay.co.id

Baru 4 Tahun, Pemuda Ini Mampu Olah 60 Ton Sampah Organik. Begini Kisahnya

 

Pemuda ini memang cukup sibuk. Dia berkeliling ke berbagai kota mengadakan kerja sama dengan pihak lain. Yang tengah intensif dalam beberapa waktu terakhir adalah kerja sama dengan Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor untuk membangun pengelolaan sampah, khususnya jenis organik.

Dia adalah Arky Gilang Wahab (36), warga Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).  “Dalam beberapa waktu terakhir, kami tengah menjalin kerja sama dengan TSI. Kerja sama telah dimulai pada November lalu. Setelah itu, saat sekarang membangun sarana dan prasarana untuk budi daya mgagot sebagai pengurai sampah organik. Kemungkinan, pengolahan sampah bakal dimulai pada Maret 2023 mendatang,” jelas Arky saat berbincang dengan Mongabay Indonesia pada Senin (2/1/2023).

Arky memanfaatkan maggot atau larva lalat Black Soldier Fly (BSF) untuk mendekomposisi sampah organik. Kebetulan di lokasi TSI cukup banyak sampah organik, sehingga potensial untuk digarap. “Saya membawa nama Greenprosa yang merupakan perusahaan limbah dan bioteknologi. Kebetulan, kalau Greenprosa berpusat di Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja yang menjadi cikal bakal pengelolaan sampah dengan maggot,”paparnya.

Khusus untuk di TSI Bogor bakal menjadi percontohan di TSI lainnya. Nantinya, sampah organik di TSI Bogor bakal mengolah sampah organik. Yang dapat dipanen adalah maggot sebagai sumber protein pakan ikan dan hasil lainnya adalah pupuk kasgot atau bekas maggot. Diharapkan, nantinya setiap hari akan mampuj menghasilkan 1 ton maggot.

baca : Maggot yang Mengubah Jalan Hidup Santoso

 

Arky Gilang Wahab menunjukkan magot yang dibudidayakannya. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Beberapa waktu lalu, dirinya juga diundang ke Bali untuk menyelesaikan persoalan sampah di sana. Sampai sekarang masih penjajakan. Namun, konsep yang dibawa tetap sama seperti yang telah dibuktikan Arky. Yakni dengan membudidayakan maggot. “Kerja sama di Bali masih tengah penjajakan. Namun yang sudah jalan adalah dengan mitra di Semarang, Salatiga dan Pekalongan,”ungkapnya.

Sampai sekarang, lanjut Arky, Greenprosa bersama para mitranya mampu menyerap hingga 60 ton sampah organik. “Saat sekarang, saya kerja sama dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang ada di Banyumas. Selain itu juga TPA BLE (tempat pembuangan akhir berbasis lingkungan dan edukasi). Secara total, kami mampu menyerap hingga 60 ton sampah organik. Yang kami kelola adalah sampah organik yang telah dipilah,”jelasnya.

Sebelum mampu mengolah sampah organik hingga 60 ton, Arky juga membutuhkan proses panjang. Dia pulang ke desa selepas rampung kuliah dan membangun usaha di Bandung. Lulusan Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu balik ke Banyumas pada saat kabupaten setempat mengalami krisis sampah tahun 2018.

“Saat saya pulang, Banyumas tengah mengalami krisis sampah. Dari situlah muncul ide untuk membudidayakan maggot. Saya masih ingat, hanya tiga orang yang memulai usaha. Saya, adik dan teman. Kami bermula mengelola sampah dari tiga rumah saja,”ungkapnya.

Ketekunannya membuahkan hasil, karena semakin banyak warga yang mengumpulkan sampah organik. Maka dari itu, hanya dalam waktu sekitar setahun, tepatnya 2019, pihaknya mampu mengelola sampah organik satu desa yaitu Desa Banjaranyar. “Dalam jangka waktu sekitar satu tahun sudah mulai berkembang pesat. Jika sebelumnya hanya tiga rumah, maka pada 2019 kami telah mengelola sampah satu desa,” katanya.

baca juga : Berawal dari Krisis Sampah yang Mampu Diselesaikan, Bupati Banyumas Berbagi Kisah di COP27 Mesir 

 

Arky berada di tempat budi daya maggot di Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurut Arky, semakin banyak maggot yang dibudidayakan, maka kian meningkat juga jumlah sampah organik yang diserap. Pada tahun 2020, sampah yang diserap sebanyak 5-6 ton atau 3 truk. Sampah organik tersebut merupakan suplai dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas.

Dijelaskan oleh Arky, pihaknya terus melangsungkan kerja sama dengan mitra lainnya yakni para pengelola TPST yang ada di Banyumas. Contohnya adalah TPST Sokaraja dan TPST Karangcegak, Sumbang. Kemudian berlanjut kerja sama dengan TPA BLE yang baru berdiri beberapa bulan lalu.

“Yang kami kelola berjumlah 40 ton, tetapi jika dengan mitra, jumlah sampah organik totalnya 60 ton. Jumlah mitra Greenprosa saat ini mencapai lebih dari 2.500 orang,” jelasnya.

Arky yang mendapat penghargaan dari Satu Indonesia Awards 2021 lalu, mengatakan sampah organik yang diserap tidak hanya untuk budi daya maggot saja, melainkan juga mampu menjadi pupuk kasgot. “Bayangkan saja, dengan dekomposer maggot, hanya memerlukan waktu 24 jam. Bayangkan saja, bau sampah organik paling hanya 1-2 jam saja, setelah itu hilang berkat kerja maggot. Larva tersebut mampu mengurai limbah organik seberat 4-10 kali berat badannya,”jelasnya.

 

Sampah Organik tanpa Sisa

Manfaat budi daya maggot itu beragam. Yang pasti, lanjut Arky, adanya maggot mampu untuk mendekomposisi sampah organik. Artinya, sampah-sampah organik yang biasanya berbau dan dibuang begitu saja, kini dapat dimanfaatkan.

“Manfaat lainnya adalah, sampah yang didekomposisi maggot (kasgot) dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Padahal, jika dengan proses dekomposisi biasa atau bukan dengan maggot, prosesnya cukup lama. Dari sampah menjadi pupuk organik butuh berminggu-minggu, bahkan dapat mencapai waktu hingga sebulan,”katanya.

baca juga : Maggot, Bahan Pakan Ikan Alternatif yang Murah dan Mudah

 

Pengecekan budi daya maggot. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan adanya pupuk kasgot, para petani merasakan manfaatnya. Sebab, dari laporan kelompok tani, pupuk kasgot mampu menjadi alternatif pemupukan di areal persawahan. Selain itu, para petani merasakan bahwa tanah semakin sehat, karena mengurangi pupuk kimia atau pabrikan.

“Tanaman padi yang dipupuk dengan pupuk organik hasil dekomposi lebih sehat. Karena merupakan pupuk organik, ternyata berfungsi juga menyehatkan kembali tanah sawah,”ujar Arky.

Sehingga, sampah organik tersebut sama sekali tanpa sisa. Semuanya dimanfaatkan. Pupuk organik menjadi pakan maggot dan hasil dekomposisi mafgot menjadi kasgot. “Sama sekali tidak ada yang hilang. Semuanya dimanfaatkan.”

Dia juga menjelaskan bahwa budi daya maggot juga begitu menjanjikan. Karena tidak hanya mampu mengolah sampah organik semata, melainkan juga menjadi komoditas. Maggot mendukung sektor perikanan. Sebab, mafgot memiliki kandungan protein tinggi dan menjadi pelengkap pakan ikan,” katanya.

Bahkan, pasar maggot masih terbuka sangat luas. Setiap bulan, lanjut Arky, dirinya baru mampu memproduksi 120 ton. Omsetnya mencapai sekitar Rp500 juta setiap bulannya. “Padahal, kebutuhan maggot di pasaran saat sekarang sekitar 1.000 ton tiap bulannya. Sementara Greenprosa baru sekitar 120 ton per bulan. Jepang saja meminta suplai dari kami belum dapat terpenuhi. Karena mereka meminta pasokan sebanyak 400 ton per bulan,” pungkasnya. (***)

 

Exit mobile version