Mongabay.co.id

Ketika Lumbung Pangan Halmahera Tengah Terkepung Tambang

 

 

 

 

Desa Woejerana, terletak sekitar 38 kilometer dari Kota Weda, Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.  Desa yang masuk Kecamatan Weda Tengah ini menyokong ketersediaan pangan di Halmahera Tengah dan beberapa kabupaten di Maluku Utara. Kini, kondisi berubah sejak banjir bandang besar menerjang desa ini pada 2020 dan 2021. Lahan pertanian rusak, bukan hanya terlibas genangan air, juga tertimbun lumpur. Desa ini di kelilingi pertambangan nikel yang juga diduga jadi penyebab bencana.

Ada sekitar 256 keluarga transmigrasi asal Jawa dan Nusa Tenggara Barat tinggal di sini.   Mereka ikut program transmigrasi era Presiden Soaherto pada 1991 kala  Halmahera masih masuk Maluku. Mereka sebagian besar petani.

Ketika datang ke sini, mereka bekerja keras buka kebun di hutan dan semak belukar.  Woejerana pun jadi salah satu produsen padi di Halmahera.

Desa ini,  kena terjang banjir pertengahan 2020 dan 2021. Sejak itu, desa seakan tak terawat. Sawah-sawah jadi semak. Saluran irigasi rusak. Warga menduga banjir datang karena hutan di daerah hulu sudah terbabat jadi tambang nikel.

Kasdi tampak lesu siang itu. Dia duduk di beranda teras beratap seng, berdinding papan. Dia baru saja membersihkan kebun yang tak jauh dari desa. Di situ juga ada istrinya, Siti terbaring lemas di kasur. Siti sudah sepekan sakit.

Sejak padi mereka gagal panen karena banjir, kondisi kesehatan Siti menurun. Kasdi bilang,  mereka sempat drop karena kerja keras mereka sia-sia dan tak ada hasil. Dari hasil jual padi itulah, mereka memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Harapan besar nikmati panen, namun pupus. Beberapa kali benih padi yang ditanam rusak karena diterjang banjir. Ikan yang dipelihara dalam tambak juga rusak. Sebagian hanyut, ada juga yang mati.

Kasdi bilang, kehidupan berubah total setelah kehadiran tambang. Mereka yang dulu hidup berkecukupan, jadi sulit.“Setelah ini tambang operasi malah tidak dapat apa apa, cuma imbas yang kita terima,” kata Kasdi emosi.

 

 

Aktivitas pertambangan di hulu dan sekitaran Desa Woejerana berdampak bagi perekonomian mereka. Tak hanya gagal panen terlibas banjir dari hutan yang hilang, tanaman pertanian dan holtikultura juga tak bisa dinikmati karena rusak.

Banjir membawa lumpur hingga padi mereka penuh sedimen lumpur. Perhatian pemerintah tak ada kepada mereka. Sedang perusahaan yang beraktivitas enggan membayar ganti rugi tanaman-tanaman yang rusak.

“Tolong instansi terkait, tolong memperhatikan masyarakat di Woejerana ini, karena desa ini dan berada di sektar tambang Weda Bay Nikel (WBN). Sejak masuk di sini, tidak ada pengertian dengan masyarakat kecil ini. Saya belum pernah dibantu seperak pun dari perusahaan Weda Bay Nikel,” kata pria kelahiran 1936 asal Kendal ini.

Setidaknya ada dua tambang nikel beroperasi sekitar desa ini, WBN—sekarang bagian dari PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)—dan PT Tekindo Energi.

Dulu, sebelum diterjang banjir, Kasdi punya sawah beberapa petak. Ukuran 100 x 100 meter. Kalau hasil bagus,  sebagian dijual ke pengepul dan sebagian cadangan gabah untuk makan keluarga setahun.

Pria 86 tahun ini bercerita,  mereka sempat dipindahkan ke Wairoro, Kecamatan Weda Selatan. Di Wairoro,  Kasdi bersama keluarga tinggal selama 11 Tahun. Pada 2003 Kasdi pindah lagi ke Kobekulo, lokasi saat ini.

“Awal kita datang 2003 di SP II, sekarang nama Desa Woejerana. Selama di Kobekulo (Kulo Jaya) waktu belum ada perusahaan waktu itu bertani lancarlah. Namanya lokasi baru, hidup masyarakat trans susah, tapi lama-lama dibenahi jadi layak, lama lama bisa jadi kota,” kata pria beranak lima ini.

Setelah tambang nikel datang, apa yang mereka bangun seakan hilang. Kini, warga malah sengsara. Mereka hanya menerima dampak buruk dan taka da perhatian pemerintah sama sekali.

“Kita minta dengan sangat, pemerintah tolong perhatikan.”

Dulu,  kata Kasdi, desa ini mandiri beras bahkan hasil berlebih dan jual ke Weda bahkan ke beberapa kabupaten. Mereka tak kaya, tetapi sejahtera.

Pemerintah,  kata Kasdi juga berjanji desa ini akan dikembangkan jadi lumbung pangan di Indonesia Timur, karena hasil panen berlimpah. Lambat laun lahan pertanian tak terurus karena tertimpa bencana.

Petaka banjir pada 6 september 2021 menyisakan jejak pahit bagi Kasdi dan warga Desa Woejerana.

Sebelum banjir melanda, cuaca buruk dengan hujan tak setop. Dia dan istri cemas. Untuk menyelamatkan padi, mereka menimbun tanah di sekelilingnya agar air tak masuk. Namun itu tak sempat mereka lakukan karena hujan begitu deras. Kasdi pasrah.

“Banjir terjadi sekitar pukul 02.00 dan surut pada pukul 05.00. Banjir bandang susulan terjadi pukul 07.00 pagi merendam seluruh desa,” katanya.

Kasdi dan istri tak sempat menyelamatkan barang-barang milik mereka termasuk beras hasil panen. Banjir bandang itu luapan dari air Kali Saloi dan Sungai Ake Jira.

“Banjir besar sampai rumah hanyut, sapi hanyut, terus sawah itu tenggelam, beras macam tanah. Itu saya laporkan ke instansi terkait, mulai dari Dinas Lingkungan Hidup, sampai DPRD. Itu pun satu orang pun yang respon.” Kasdi kesal.

Mereka sulit mau bertemu bupati. Sedang lapor kepada instasi terkait pun tak ada respons.

 

Tutupan hutan yang terbabat untuk tambang nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, dulu banjir tak pernah separah itu, hanya sebatas bibir sungai dan tak meluap. Pasca aktivitas beberapa perusahaan tambang nikel di hulu Sungai Akejira, katanya, dia duga jadi penyebab banjir bandang ini.

“Ini saya sejak 1991 di Halmahera, untuk di Weda,  Halmahera Tengah 2001 banjir memang ada, tapi tidak separah dua tahun belakangan ini. Ini sangat parah.”

Tak hanya 2021, banjir parah juga menerjang desa mereka pada 2020. Kala itu, rumah dan lahan pertanian tergenang.

Dhaman, warga Woejerana, transmigran asal Lombok ini juga cerita kondisi setelah tambang datang, banjir dan gagal panen.

Setelah tambang masuk pada 2007, katanya, para petani di desa-desa transmigrasi terus alami gagal panen.  Banjir yang melanda menyebabkan banyak lumpur dan material bebatuan masuk serta merusak padi mereka.

Dulu, katanya, walau sungai meluap tetapi air jernih. Saat ini,  air berwarna coklat kehitam-hitaman.

Sejak tiba di Woejerana, padi 2002 dan 2003, padi yang dia tanam pada lahan setengah hektar tak kurang hasilkan 3-4 ton. Saat ini, paling dapat 200 kg.

Biaya tanam pun tak tidak seimbang dengan hasil atau pendapatan.

“Kita jual dan makan sendiri sudah.”

Warga petani, katanya, seperti jatuh tertimpa tangga pula. Setelah banjir, dia dan petani lain tidak mendapat ganti rugi dari perusahaan tambang yang melakukan bongkar lahan di hulu.

“Tidak ada hasil, nol sama sekali. Kita nda ada ganti rugi. Kalau diganti meringankan petani.”

Kalau pun bantuan,  kata Dharman,  hanya berupa sembako dari pemerintah desa dan BPBD. Sebagian juga dari Tekindo.

“Kalau di sini, Beras tiga kilogram, mie instan tujuh bungkus dan air mineral lima botol. Hanya itu aja. Selama saya disini, di Weda Bay Nikel tidak bantu kalau terjadi bencana,” katanya.

Mereka berharap, Presiden Joko Widodo turun langsung melihat kondisi warga tranmigran di SP2, SP 1, SP 4, SP 3. Mereka yang dulu swasembada beras, berubah drastis setelah banjir melanda desa-desa mereka.

Selain bersawah, Dhaman juga menanaman cabai, singkong, jagung.  Dia bilang karena tanah subur, tanam apapun hasilnya baik.

“Sekarang itu sampai nda bisa kita makan, apakah sebabnya tambang, apakah dari mana? Kita minta sama Pak Jokowi supaya turun sendiri liat masyarakat SP2 Desa Woejerana.”

Setelah banjir, tak hanya padi sulit ditanam, sayur mayur juga pernah dia coba tanam namun gagal.

“Kita taman sayur saja kena lumpur waktu banjir kalau hujan besar. Kita pelihara ikan, kolam pun hanyut. Kita pelihara 10.000 ekor, sisa 3.000 mungkin kena banjir.”

Dharman dan keluarga untuk kesekian kali dipaksa bersabar karena kehilangan sumber kehidupan mereka. Nila yang mereka jadwalkan panen Desember 2021 juga gagal karena terbawa banjir.

Padahal,  perlu proses panjang merawat ikan dengan ongkos tak murah. Mulai dari pemupukan pada kolam untuk menyuburkan lumut, pemberian pakan ikan, hingga obat penahan rasa lapar.

 

Kasdi, petani Woejerana yang kini kesulitan karena lahan pertanian sudah rusak. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dharman bilang, dalam sehari biasa memberi makan dua kali.  Untuk kebutuhan pakan ikan dalam sebulan, katanya,  sekitar 4-5 karung pakan berukuran 30 kilogram seharga Rp450.000 per karung.  Belum lagi obat penahan rasa lapar Rp800.000 per liter.  Untuk panen ikan empat bulan sekali. Naas, banjir datang, dia merugi hingga puluhan juta rupiah.

Sebagian warga tak tahan dengan kondisi sulit ini. Mereka pun terpaksa melepas lahan. Dharman maupun Kasdi memilih bertahan ketimbang menyerahkan lahan kepada perusahaan tambang.

Perusahaan-perusahaan tambang terus mengeruk tanah dan menumbangkan pepohonan di sekeliling desa itu. Kini, 80% lahan pertanian Woejerana tak bisa digunakan lagi karena rusak.

Yusmar Ohorella,  Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Tengah, menampik persoalan di Kecamatan Weda Tengah.

Yusmar bilang, transmigrasi Kobe dalam pendekatan Dinas Pertanian sering terjadi banjir. Saat ini, Dinas Pertanian fokus ke Desa Woekob untuk jadi lahan pertanian tanaman padi.

 

Kolam ikan (tambak) warga dengan air berubah coklat setelah terkena banjir bandang. Air bandang berwargna coklat dan membawa lumpur. Foto: Cgrist Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, Desa Woejerana yang dulu merupakan lumbung pangan, tetapi sebagian wilayah masuk dalam pelepasan lahan untuk IWIP. Dengan gampangnya dia bilang, daerah-daerah yang saat ini sudah terdampak banjir itu tidak lagi untuk lahan pertanian.

Dia klaim banyak program ketahanan pangan Dinas Pertanian ke Woejerana tetapi saat ini desa itu dikelilingi pertambangan beberapa perusahaan. Bagaimana nasib warga yang hidup di dalamnya seakan tak jadi perhitungan pemerintah.

“Di belakangnya ada wilayah pertambangan hingga kita lagi fokus ke desa transmigrasi yang di belakang Desa Woejerana namanya Desa Woekob,” katanya.

Data Dinas Pertanian Halmahera Tengah, kata Yusmar, pada 2020 panen padi di Desa Woejerana 147,28 ton. Pada 2021,  panen para petani turun drastis jadi 81 ton karena banjir hingga merusak tanaman petani.

Masri Anwar,  pegiat lingkungan hidup di Maluku Utara mengatakan, banyak desa di Weda Tengah, antara lain, Kobe Pante, Kulo, Lelilef Sawai, Lukulamo, dan desa-desa transmigrasi seperti Woejarana SP2 sejak 2010 berhadapan dengan masalah pertambangan nikel IWIP dan Tekindo Energi.  Perusahaan-perusahaan ini beroperasi di Desa Kobe dan Lelilef, desa tetangga Woejarana.

Aktivitas perusahaan, kata Masri, telah mencemari air Sungai Saloi sungai itu digunakan warga di Lukulamo dan Woejerana untuk kebutuhan air bersih dan tanaman. Masyarakat pun kehilangan sumber air bersih.

“Alternatif [mereka kini] menunggu bantuan air bersih dari perusahaan, membeli air galon atau menunggu air hujan,” kata dosen Fakultas Hukum UMU Ternate ini.

)Dalam keadaan terpaksa ketika ketersediaan air kurang, masyarakat harus mengkomsumsi air sungai yang diduga sudah tercemar.

Selain itu, katanya, limbah perusahaan juga mengalir ke sawah, perkebunan kelapa, dan tambak-tambak ikan.

 

Penampakan Desa Woejerana dari atas. Dulu, desa ini produsen pangan. Sejak banjir bandang melanda berulang kali dan membawa lumpur serta bebatuan menutupi pertanian warga, kondisi berubah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

********

 

*Hasil Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial.

Exit mobile version