Mongabay.co.id

Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Kehidupan Kita

Warga melintas di jembatan nelayan dengan latar belakang cerobong asap industri di kawasan pesisir Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pencemaran industri ini perlu dikendalikan agar di tahun 2050 kenaikan gas rumah kaca (a.l.CO2) menjadi net zero sum atau jumlah pencemaran udara nol. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

Perubahan iklim dan kelestarian keragaman hayati menjadi isu besar di dunia saat ini, selain polusi, sumber daya air, serta bertambahnya populasi manusia.

Jatna Supriatna, Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia, menjelaskan Indonesia memiliki kado alam berupa cincin api [ring of fire] yang membuat negeri ini kaya sumber daya alam.

Cincin api ini terbukti dengan 129 gunung berapi sebagai sumber sulfur kesuburan tanah dan geothermal dunia [40 persen cadangan dunia]. Namun demikian, kondisi ini membuat Indonesia rawan gempa naiknya permukaan air laut.

“Tanah yang subur membuat keragaman hayati melimpah, ekosistem dan spesies beragam. Namun, kita harus sadar dan berusaha ramah pada bencana geo-ekologi,” kata Jatna pada webinar “Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati” pada Jumat [23/12/2022].

Baca: “Hantu” Itu Bernama Perubahan Iklim

 

Warga melintasi jembatan dengan latar cerobong asap industri di kawasan pesisir Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Jatna menjelaskan, Indonesia memiliki keragaman pisang tertinggi di dunia. Begitu juga potensi pangan dan obat. Ada 400 tanaman penghasil buah, 370 spesies sayuran, 60 spesies tanaman penyegar, 55 spesies tanaman rempah-rempah, dan 2500 jenis obat-obat.

“Tapi semua potensi itu masih jarang sentuhan sains.”

Sumber pangan laut Indonesia tak kalah banyak. Terbukti, Indonesia merupakan produsen ikan  nomor tiga di dunia, setelah China dan Peru. Data FAO 2012 menunjukkan, kita memproduksi  6.7 juta ton ikan pada 2011.

“Kalau saja ribuan kapal ikan ilegal dapat diatasi, kekayaan laut kita akan terjaga.”

Artinya, biodiversitas memainkan peran penting dalam menyeimbangkan lingkungan.

“Biodiversitas menyediakan makanan, pakaian, dan sumber pendapatan. Hidup kita hampir tidak mungkin tanpa dukungan keanekaragaman hayati,” tuturnya.

Keseimbangan ekologi, manusia dan ekosistem di Bumi, kata Jatna, sangat penting. Kesadaran setiap spesies memiliki hak untuk hidup, bahwa spesies saling tergantung satu sama lain, begitu juga manusia harus hidup di alam keterbatasan ekologi seperti spesies lainnya, harus selalu ada.

“Manusia harus bertanggung jawab sebagai penjaga dan pelindung Bumi. Caranya, menghargai kehidupan manusia yang sebanding dengan keanekaragaman hayati.”

 

Perubahan iklim

Moekti H. Soejachmoen, Direktur Indonesia Research Institute for Decarbonization, menjelaskan tentang perubahan iklim yang sudah di depan mata.

“Laporan WMO [World Meteorological Organization] menunjukkan kecenderungan pemanasan global sejalan dengan peningkatan konsentrasi CO2, akhir 1980-an,” terangnya.

Dampak perubahan iklim terlihat pada luas areal pertanian berkurang, produktivitas lahan turun, kepunahan spesies dan kerusakan habitat terjadi, sebagian pesisir dan pulau-pulau kecil tenggelam, serta penyakit berbasis lingkungan mewabah seperti demam berdarah dan COVID-19.

“Tidak ketinggalan bencana meningkat, terutama bencana hidrometeorologi.”

Guna menyelamatkan bumi, sejumlah negara menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi [KKT] seperti Protokol Kyoto, Amandemen Doha, Persetujuan Paris, hingga terbaru pada November 2022, yaitu Sharm el-Sheikh Implemention Plan.

KTT Iklim PBB COP27 tahun 2022 di Mesir itu, melibatkan hampir 200 negara untuk membahas masa depan aksi global terhadap perubahan iklim.

Konferensi ini menghasilkan kesepakatan, yaitu dana bantuan untuk negara-negara miskin menghadapi bahaya yang disebabkan perubahan iklim, dana loss and damage.

“Namun, perjanjian Sharm El-Sheikh gagal meningkatkan ambisi untuk mengurangi emisi. Meskipun ada upaya dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat [AS], India, dan Uni Eropa,” jelasnya.

Baca juga: Perubahan Iklim: dari Anthropocene ke Capitalocene

 

Perubahan iklim, permasalahan lingkungan meresahkan yang dihadapi masyarakat dunia. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kegagalan ini membuat dunia gagal mengendalikan target pemanasan di bawah 1,5 derajat Celcius yang diabadikan dalam Perjanjian Paris 2015. Hal ini disebabkan, seruan untuk menghentikan semua bahan bakar fosil dan mencapai puncak global pada tahun 2025 ditolak banyak negara pengekspor minyak.

Kondisi ini sangat berbahaya, sebab dampak kenaikan suhu Bumi 1°C saja bisa mencairkan es di kutub dan membahayakan eksistensi sejumlah satwa. Sementara, kenaikan 2 derajat Celcius dapat melenyapkan 40% hutan hujan, yang berakibat pada menipisnya cadangan makanan hewan.

Bagaimana bila terjadi kenaikan 3 derajat? Pohon tidak sanggup lagi menahan carbondioxide dan kota besar dipenuhi polusi. Kenaikan 4°C dapat meningkatkan kebakaran hutan pada musim kemarau dan hutan hujan berubah menjadi padang pasir.

Bila terjadi kenaikan 5°C maka berdampak pada kematian jutaan manusia, hewan, dan tumbuhan, serta meningkatnya kadar racun di atmosfer. Andai terjadi kenaikan 6 derajat Celcius, maka Bumi bakal menjadi tidak layak huni.

“Untuk itu, kawasan konservasi sebagai benteng terakhir harus kita jaga dan pertahankan sebaik mungkin,” ujarnya.

 

Exit mobile version