Mongabay.co.id

Mengejutkan, Ada Buaya Muara Terdampar di Pantai Legian Bali

 

Seekor buaya muara atau Buaya Air Asin (Crocodylus porosus ) ditemukan di pesisir Pantai Legian, Badung, Bali pada Rabu, 4 Januari 2022, sehingga mengejutkan para turis yang sedang memadati pantai itu.

Dari kronologis laporan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali disebutkan petugas Balawista (lifeguard) pos 7 Pantai Kuta melihat seekor buaya di pesisir Pantai Legian pada sore hari. Selanjutnya menghubungi pos induk dan BKSDA Bali untuk penanganan.

Karena khawatir buaya kembali ke laut, para petugas Balawista dibantu para pedagang di sekitar pantai, mencoba menangkap buaya di depan Hotel Padma Legian, Kuta, Bali.

Dalam video nampak sejumlah petugas penyelamat pantai mengikat mulut buaya menggunakan tali dan bambu yang biasa tersedia untuk penyelamatan korban tenggelam dalam waktu 30 menit tanpa ada korban jiwa/luka.

Buaya itu ditarik ekornya dari pantai, kemudian dibawa ke pusat penyelamatan satwa (PPS) Tabanan dengan kendaraan Balawista yang berjarak sekitar satu jam dari Kuta.

Petugas BKSDA meminta anggota Balawista beserta masyarakat sekitar pantai waspada terhadap kemungkinan adanya buaya lain di sekitar pantai. Sebelumnya ada laporan warga melihat buaya di pesisir dan teluk Bali selatan.

baca : Konflik Manusia dan Buaya Muara Kembali Terjadi di NTT. Bagaimana Pencegahannya?

 

Seekor buaya muara berukuran sekitar 3,5 meter ditemukan terdampar di Pantai Legian, Bali pada Rabu, 4 Januari 2023. Foto : BKSDA Bali

 

Kepala BKSDA Bali Agus Budi Santosa menjelaskan dari pemeriksaan fisik, buaya memiliki panjang punggung 70 cm dan panjang kepalanya 67 cm. Terdapat 2 buah luka di pinggang dan di punggung, serta badannya tertempel teritip sepanjangnya 3,5 cm. Buaya sudah mendapat penanganan injeksi vitamin biodin.

Namun si buaya betina ini akhirnya mati keesokan harinya setelah dipindah ke PPS Tabanan. Agus mengatakan penyebab kematiannya diduga karena stress, dehidrasi, dan shock. Baik karena akibat tunggal maupun gabungan.

Menurut Agus, identifikasi asal usul buaya ini apakah buaya liar atau ditangkarkan belum bisa dilakukan karena sudah mati. Pihaknya pernah mengevakuasi buaya lain misalnya di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Mangrove Ngurah Rai karena berkonflik dengan warga sekitar.

Salah satu cara membedakan buaya sebagai satwa peliharaan atau satwa liar di alam, jika buaya sudah dinyatakan sehat terlebih dahulu. Misalnya dilakukakan dengan cara dipuasakan 3 hari kemudian dikasih makan 1 ekor ayam. Kemudian dikasih ayam lagi, sampai maksimal 5 ekor tergantung berat dan panjangnya buaya. Jika hanya mau 1-2 ekor, menurutnya cenderung merupakan satwa peliharaan karena sudah terpola di pikirannya bahwa akan ada lagi makanan. Jika buaya liar semua yang ada didepannya akan dimakan.

baca juga : Habitat Rusak, Konflik Manusia dan Buaya Muara Tinggi, 2 Warga Maluku Tewas

 

Seekor buaya muara yang ditangkap di Pantai Legian, Bali akhirnya mati dan dikubur di PPS Tabanan. Foto : BKSDA Bali

 

Dyah Ayu Risdasari Tiyar Noviarini, dokter hewan di PPS Tabanan dikonfirmasi pada 6 Januari 2022 mengatakan saat buaya datang sudah dalam kondisi lemas karena sejak pagi terdampar di pantai, dalam kondisi dehidrasi.

Buaya itu tiba di PPS sekitar pukul 10 malam. Menurutnya penanganan buaya harus melibatkan orang yang berpengalaman untuk bisa mengecek kondisi satwa. Ia juga tidak tahu riwayat penyakit sebelumnya.

“Ada luka di punggung, sepertinya luka tusukan tombak, tapi lukanya sudah lama. Ketika dimasukkan kandang tidak ada perlawanan,” urai Rini, panggilan dokter hewan yang setia merawat satwa telantar, hasil sitaan, dan sakit di PPS Tabanan.

Setelah dipantau sekitar 1 jam, tidak ada gerak apapun. Buaya dinyatakan mati. Kemudian dikubur oleh petugas BKSDA Bali.

Sebelumnya sudah ada buaya muara yang dirawat di PPS Tabanan dari titipan kebangkrutan sebuah taman reptil di Padanggalak, Denpasar. Buaya-buaya muara ini ada yang sudah dirilis di Lampung pada 2019. Kini sisa satu ekor jenis buaya Irian yang dirawat oleh pawangnya.

Jenis satwa ini paling banyak menghabiskan ruang, tenaga, dan dana karena kandang kerap rusak. Tangan Rini juga pernah kena gigit dari buaya yang berhasil melubangi kandang lalu memecahkan kaca ruangan dari hempasan ekornya.

Kandang reptil ini juga dinilai kurang memadai karena ukuran buaya muara yang mati itu lumayan besar sekitar 3,5 meter. Buaya muara ini dikenal sebagai salah satu buaya dengan ukuran terbesar, bisa sampai 10 meter. Dinamakan juga buaya air asin karena habitatnya di muara, pertemuan sungai dan laut.

baca juga : DAS Rusak, Biang Konflik Manusia dengan Buaya Muara di Bangka Belitung 

 

Ilustrasi. Seekor buaya muara bernama Merry diduga memangsa seorang manusia berinisial DT, kepala laboratorium perusahaan mutiara di desa Ranowangko, Minahasa, Sulut, Jumat (11/1/2019). Merry akhirnya mati seminggu kemudian. Foto : BKSDA Sulut/Mongabay Indonesia

 

Buaya Muara jenis dilindungi

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi menyebutkan ada 904 jenis satwa yang dilindungi.

Salah satunya buaya (Crocodylidae) dengan empat jenis dilindungi yakni Crocodylus novaeguineae (buaya irian), Crocodylus porosus (buaya muara), Crocodylus siamensis (buaya siam), dan Tomistoma schlegelii (buaya sinyulong).

Sedangkan dalam PP No 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa disebutkan untuk menetapkan suatu jenis tumbuhan dan satwa sebagai jenis yang dilindungi harus didasarkan pada informasi yang memadai tentang populasi, kondisi-kondisi biologis, dan ekologis jenis yang bersangkutan termasuk habitat dan lingkungannya.

Informasi yang paling akurat didapatkan melalui kegiatan inventarisasi. Namun inventarisasi sering membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sangat besar. Sehingga sambil menunggu inventarisasi yang lebih rinci, penetapan jenis tumbuhan atau satwa sebagai jenis yang dilindungi dapat didasarkan dari hasil identifikasi yang menggambarkan keadaan populasi jenis tersebut secara garis besar dan dihubungkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Satwa yang karena sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan ke habitatnya. Apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara. (Pasal 26 (1)).

 

Exit mobile version