Mongabay.co.id

Jatuh Bangun Merawat Hutan Mangrove Sicanang

 

 

 

 

Mentari menyengat kulit saat perjalanan ke ekowisata mangrove Sicanang, Belawan, Sumatera Utara. Suhu di daerah pesisir sekitar 34 derajat celcius.

Tiba di pintu masuk, kami disambut spanduk bertuliskan ‘Ekowisata Mangrove Sicanang Ditutup’ tergantung di jeruji gerbang.

Hendra, penduduk Belawan bilang,  sejak awal 2020 destinasi wisata Sicanang berhenti operasi.  Saat memasuki lokasi, kami melewati ruangan seperti aula. Meja, kursi, buku-buku di rak sudah tak beraturan. Ini bekas ruang aktivitas sekolah alam Sicanang.

Kami melanjutkan perjalanan ke areal ekowisata.

Akses jalan terbuat dari bambu besar tersusun, satu ruas jalan hanya bisa dua orang. Sebagian bambu sudah rusak. masih terlihat ratusan pohon mangrove mengelilingi gazebo, rata-rata tinggi pohon tiga meter.

Terdengar kicauan burung yang hinggap di ranting mangrove. Di tengah hutan ada gazebo. Ada restauran apung atau rumah makan lesehan. Semua terbuat dari bahan ramah lingkungan. Pengunjung dapat menikmati alam sambil menyantap hasil laut seperti ikan, udang, kepiting, dan lobster hasil tangkapan nelayan setempat.

Hendra bilang,  dulu setiap akhir pekan pengunjung yang datang bisa mencapai 1.000 orang. Wisatawan masuk bayar Rp10.000.

Tiket ini, katanya,  untuk keberlangsungan aktivitas komunitas Ekowisata Sicanang. Dari uang Rp10.000 pengunjung sudah terima dua botol air mineral. Selain itu, bisa juga sewa boat kalau ingin keliling hutan mangrove Rp20.000.

Jenis mangrove yang dominan sebagai penahan abrasi di pesisir Kota Medan Belawan-Sicanang adalah Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris.

 

Restoran terapung di Sicanang. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Hingga kini, masih ada warga tebang pohon di hutan mangrove itu untuk furniture seperti meja, kursi, dan lain-lain.

“Ada yang menjual kayu, uang untuk kebutuhan sehari-hari keluarga,” kata Meilinda Suryani Harefa, Dosen Universitas Negeri Medan.

Kalau musim hujan, atau saat air laut pasang, Desa Sicanang tergenang air.  Meilinda prihatin,  dengan kondisi pemukiman yang terus-menerus alami banjir rob. Awal Oktober 2022, pesisir Belawan tergenang air sampai 2,7 meter.

Penelitian menunjukkan,  kerusakan hutan mangrove di pesisir Kota Medan dominan faktor ekonomi masyarakat seperti penebangan liar maupun jadi tambak. Dari peta Bappeda Sumatera Utara 2013,  menunjukkan, kurun 10 tahun (2003-2014) terjadi perubahan garis pantai di pesisir Sicanang Belawan, sepanjang 57 meter.

Jadi, tantangan dari warga yang masih tebangi pohon, di tengah mereka yang berupaya merawat hutan mangrove.

Sebelumnya, kawasan di Sicanang ini dalam kondisi kritis, tinggal beberapa pohon. Sejak 2013, Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) datang ke Sicanang dan mulai menanam, merawat, dan mendampingi masyarakat. “ Sampai menjadi obyek wisata, ” kata  Rusmiono Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sicanang.

Sementara Yagasu, berdiri pada 2001. Awalnya, lembaga ini fokus kerja pada konservasi gajah, belakangan berkembang pada kegiatan atau tindakan lapangan soal restorasi dan perlindungan mangrove.

“Seperti di Sicanang, kami juga merevitalisasi kapasitas masyarakat, mengembangkan bisnis sosial,” kata Syahdan dari Yagasu.

 

Pembibitan tanaman untuk hutan mangrove Sicanang. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Yagasu juga konsern pada adaptasi perubahan iklim. Mereka juga punya misi meningkatkan ketahanan masyarakat rentan, dan mengurangi emisi dari perubahan penggunaan lahan.

“Yagasu punya target jangka panjang memperbaiki ekosistem pesisir, hingga dapat memberi kontribusi pada pembangunan ekologi, sosial dan ekonomi Sumatera di masa depan,” kata Meilinda, juga aktif di Yagasu.

Rusmiono termasuk warga dampingan Yagasu. Pada 2015 bersama warga Sicanang dan pemerintah lokal, Rusmiono sepakat Desa Sicanang jadi destinasi ekowisata mangrove.

Masyarakat Bersama Yagasu menanam, membuat lokasi pembibitan mangrove, dan membentuk komunitas sadar wisata.

Hutan mangrove, katanya,  rumah bagi satwa seperti kura-kura, monyet, burung, ikan, udang, kepiting, lobster, dan siput.

Kelurahan Belawan Sicanang dikelilingi air. Dari Kawasan seluas 1.550 hektar, 178 hektar jadi daerah perlindungan mangrove. Area dibagi jadi tiga zona: inti, penyangga, dan pemanfaatan.

Di zona pemanfaatan, sudah ada musholla, kantin, dua kamar toilet, gazebo atau lesehan, dan spot-spot foto di Sicanang. Ada beberapa fasilitas lain seperti aula belajar sekolah alam, biasa dipakai juga untuk pelatihan membuat batik. Di sekolah alam,  anak-anak datang setiap Rabu dan Kamis. Ada les musik dan Bahasa Inggris, pengajarnya dari Prancis. Berbagai kegiatan ini terkendala sejak pandemi COVID-19 melanda.

Tak mudah, kata Rusmiono, dalam menjalankan ekowisata Sicanang ini. Dia menyesalkan,  soal minim perawatan, dan belum ada sanksi bagi warga yang menebang pohon.

Yah masih kendala-lah, artinya harapan kita untuk perhatian pemerintah ikut mendukung. Supaya ini bisa dipertahankan dan dikembangkan bagaimana yang layak,” katanya.

 

Meilinda Suryani Harefa, Dosen Universitas Negeri Medan juga aktidf di Yagasu. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Sejak 2016,  pria ini menanam banyak bibit mangrove bersama Yagasu guna perbaikan ekosistem Sicanang.

“Itu bagus buat nelayan yang biasa berpencarian dari hasil pasang surutnya air,” kata Rusmiono.

Meilinda cerita, sejak 2013,  bersama Yagasu sudah merehabilitasi mangrove Sicanang. Perempuan ini memberi edukasi kepada warga lokal berbasis komunitas. Warga diberi pemahaman pentingnya mangrove bagi masa depan pesisir. Penduduk dilatih mulai dari pembibitan, menanam, merawat, dan mengolah mangrove agar jadi sumber penghasilan.

Dia membina warga agar hidup berdampingan menjaga mangrove. Sicanang mereka jadikan ekowisata dan punya kegiatan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Pada 2019,  Meilinda dapat penghargaan Kalpataru kategori pengabdian.

“Kategori pengabdian ini semacam penghargaan kepada pegawai negeri yang bisa mendedikasikan manfaatnya di luar jam kerja,” katanya.

Tak hanya di Sicanang, selama 15 tahun Meilinda dan Yagasu mengajak masyarakat di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Jambi agar mencintai dan menanam mangrove. Kini, sekitar 144 kelompok masyarakat binaan berhasil merestorasi 15.000 hektar kawasan mangrove.

“Semua itu dimulai dari kesadaran masyarakatnya. Restorasi mangrove mesti berkelanjutan hingga seumur hidup,” kata Meilinda.

 

Hutan mangrove yang terancam berbagai hal seperti jadi tambak maupun penebangan liar. Foto: Ayat S Karokaro. Mongabay Indonesia

******

 

Exit mobile version