Mongabay.co.id

Menagih Pemenuhan Hak Dasar dan Keadilan Masyarakat Adat Kepulauan Aru

Ritual adat tordauk di Aru. Foto: dokumen Mastaeakar Adat Marafenfen

 

 

 

Hak-hak masyarakat adat di nusantara ini masih sering terabaikan, salah satu dialami masyarakat adat di Kepulauan Aru, Maluku. Marginalisasi masyarakat adat di Kepulauan Aru terjadi sejak 1992. Mereka dilarang menganut ajaran agama leluhur, stigma primitif-terbelakang, dan ujungnya menjadi wilayah pangkalan militer dari TNI AL maupun beragam rencana proyek pembangunan. (Papua Study Center, 2022).

Pada 2010, saat Teddy Tengko, Bupati Kepuluan Aru, 2005-2010, mengeluarkan izin usaha perkebunan untuk konsorium PT Menara Group seluas 1,6 juta hektar. Izin diperkuat dengan rekomendasi dari Karel Albert R, Gubernur (2003-2013), Juli 2011. Ironis, pada rapat terbatas 2014 antara PT Menara Group, Lantamal Papua, dan Pjs Gubernur Maluku menyebut,  Kepulauan Aru hanyalah ‘padang alang-alang.’ Yang berarti sama dengan “tak penghuni.” Sebagai satu cara agar investor bisa leluasa masuk dengan rencana bisnis mereka (Saturi, 2014).

Keterlibatan TNI AL dan legitimasi pemerintah daerah dalam beragam proyek pembangunan berbasis agraria (darat dan laut) yang masuk di Kepualuan Aru ini jadi akar masalah agraria struktural di masyarakat adat Kepulauan Aru (FWI, 2021-PSC, 2022).

Singkatnya, meskipun masyarakat adat diakui secara legal dalam UUD 1945, namun hingga 77 tahun merdeka, di Kepualuan Aru, kemungkinan di banyak tempat di Indonesia, belum menikmati napas “kemerdekaan” atas tanah-air mereka.

 

Baca juga: Nasib Hutan dan Savana Kalau Peternakan Sapi Masuk Kepulauan Aru

Ritual Adata Tordauk oleh masyarakat adat di Aru Selatan. Sumber foto Dokumentasi Masyarakat Adat Marafenfen.

 

 

Krisis agraria Masyarakat Adat Aru

Setidaknya tiga perusahaan pernah punya konsesi di Kepulauan Aru, yaitu,  PT Menara Grup, PT Aru Manise Group, dan PT Nusa Ina Group. Dari tiga perusahaan besar itu, 46 anak perusahaan siap menjalankan proyek. Menara Grup, paling dominan dalam konsesi ini menyumbang 28 anak perusahaan. Keseluruhan luas konsesi mencapai 305.120 hektar.

Berdasarkan data analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari Menara Group, luas keseluruhan Kepulauan Aru 626.900 hektar, terdiri dari 117 desa dan dua kelurahan. Keberadaan konsesi Menara Group bukan saja mengancam pelestarian hutan alam, juga seluruh dimensi kehidupan dan ekosistem di Kepulauan Aru.

Ancaman lain dari kuasa TNI AL. Merujuk Inkuiri Nasional Komnas HAM (2017), secara historis TNI AL hadir sejak 22 Januari 1992, dengan mengambil 658 hektar wilayah adat. Lokasi ini untuk membangun bandara dan fasilitas pangkalan militer atas dasar klaim untuk pertahanan nasional. Dasarnya, surat pelepasan hak tanah pada 20 Agustus 1991 dari Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Marafenfen.

Pembebasan tanah oleh BPN Maluku Tenggara. Dalam gugatan Masyarakat Adat Marafenfen di Pengadilan Negeri Dobo, diuraikan banyak sekali proses prosedural yang manipulatif hingga keluar sertifikat hak pakai (SHP) atas tanah seluas 689 hektar itu. Misal, pemberi hibah tanah ternyata dalam kondisi gila, masih bayi (belum cukup umur), atau bukan orang lokal desa.

Dari banyak pengakuan Masyarakat Adat Marafenfen, ketika TNI AL datang ke Kepulauan Aru, mereka langsung menuju lokasi pembatas dan membuat patok-patok tanpa lapor diri ke kepala desa, atau sesepuh adat terlebih dahulu. Setelah itu, TNI AL kembali ke Jakarta dan membawa surat sertifikat tanah yang diberikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebelum meminta kepala desa menadatangani klaim pelepasan tanah itu.

Jika dilihat secara prosedural, sertifikat tanah bisa keluar atau terbit ketika sudah ada “surat pelepasan” dari marga atau suku yang memiliki otoritas tanah adat. Sayangnya,  hal itu tidak terjadi hingga sekarang (PSC, 2022).

Selain itu, proyek lain yang mengancam ekosistem Kepulauan Aru adalah usaha sektor kehutanan seperti HPH, HTI, dan restorasi ekosistem. Ancaman lain, rencana proyek peternakan sapi skala besar. Hal ini mengancam kerusakan hutan, karst, termasuk hutan mangrove, sumber air bersih, sampai satwa endemic. (Tim Kolaborasi Mongabay, 2022).

Tak hanya ancaman sosial-ekologi dan ekonomi, proyek-proyek pembangunan dan aktvitas TNI AL berdampak pada sistem kepercayaan dan upacara adat-spiritual. Salah satu contoh, ritual tordauk. Tordauk adalah ritual oleh Masyarakat Adat Marafenfen setiap September dan Oktober berburu bersama untuk menjaga stabilitas ekosistem di padang savana. Hewan yang biasa diburu seperti tikus, babi liar dan rusa.

Sejak kehadiran TNI AL, diduga terjadi perburuan satwa tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat Marafenfen. Puncaknya pada tiga tahun belakangan yang membuat tordauk tidak bisa berjalan lancar karena satwa makin berkurang. Bahkan,  pada 2020 sempat tidak ada tordauk karena kondisi tak memungkinkan, hingga tidak ada kesepakatan (Belseran, 2021, FWI, 2021).

 

Baca juga: Masyarakat Adat Mafafenfen Terusik Kehadiran TNI-AL

Lansekap pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru bagian tengah. Dok: FWI/2021

 

Minus konsensus

Dalam perspektif Dahrendorf (Ritzer, 2004), masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsesus. Teori konsesus menekankan nilai integritas, sedangkan teori konflik menekankan nilai kepentingan dan kekerasan terhadap suatu obyek. Adanya perbedaan distribusi otoritas jadi faktor untuk menentukan konflik sosial sistematis. Otoritas menjadi kunci analisisnya. Di dalamnya, ada superordinasi dan subordinasi. Dalam penerapannya,  otoritas tidak konstan, karena otoritas tidak dipegang penuh lewat diri seseorang, melainkan hanya lewat posisi. Sedang masyarakat yang dikendalikan disebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative.” Artinya,  melihat apapun keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada “di atas” dan menekankan pada “peran kekuasaan” dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.

Konflik Kepulauan Aru akibat benturan kelompok yang memiliki otoritas kuat atau superordinasi, yaitu pemerintah pusat-daerah, TNI-AL dan Menara Group dengan kelompok subordinasi yakni masyarakat adat.

Otoritas itu ditopang posisi-posisi kunci dalam kekuasaan (pusat-daerah) sebagai gubernur, bupati, TNI AL yang menguasai armada laut di seluruh Kepulauan Aru, beserta jaringan pengusaha di sekelilingnya.

Dengan otoritas itu,  kelompok superordinat ini mampu mengendalikan, mengontrol, menekan, dan menertibkan masyarakat di pulau-pulau kecil Aru. Masyarakat adat sebagai kelompok subordinat, minus “otoritas” politik dan ekonomi seringkali hanya jadi penonton dan terpaksa ikut dalam irama gendang yang dikendalikan kelompok superordinat itu.

Kasus kekalahan gugatan Masyarakat Adat Marafenfen di Pengadilan Dobo 2021 menunjukkan, meskipun bukti kesalahan dan pelanggaran hukum pemerintah dan TNI AL diajukan secara adekuat oleh masyarakat, namun tetap saja kalah. Sebab, politik hukum telah “dikendalikan” dan “ditertibkan” menurut kepentingan kelompok superordinat dan jaringannya.

Konflik antara kelompok superordinat dan subordinat di Kepualuan Aru ini telah menciptakan jurang ketidaksetaraan dan ketimpangan yang tajam. Penguasa (gubernur, TNI AL, dan pengusaha) selalu “di atas” dan mayarakat adat selalu “di bawah.”.  Kondisi inilah yang menjadi akar masalah dari sulitnya menawarkan jalan “konsesus” antar pihak yang berkonflik di Kepulauan Aru. Maka, tanpa syarat wajib kesetaraan secara politik, sudah pasti akan sulit dibangun konsesus adil untuk menyelesaikan konflik di Kepulauan Aru.

Sebenarnya, upaya membangun konsesus itu muncul dari masyarakat adat di Kepulauan Aru melalui upaya audiensi atau roadshow beberapa wakil mereka ke lembaga-lembaga dan kementerian di Jakarta, selama tiga bulan dari September sampai November 2022.  Mereka antara lain datang ke Kantor Komnas HAM, Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Kementerian ATR-BPN, DPR, Kementerian Pertahanan, dan TNI AL.

Upaya geriliya politik membuat landasan konsesus multi pihak yang berkonflik di Kepulaun Aru ini, masih belum menghasilkan solusi konkret. Meskipun, dapat membuka komunikasi dan koordinasi lebih baik dengan pihak-pihak pemerintah. Setidaknya, kini pemerintah mendengar cerita langsung dari representasi Masyarakat Adat Kepulauan Aru yang selama ini berjuang mempertahankan tanah-air mereka.

Roadshow politik ini bukti bahwa masyarakat adat membuka pintu konsesus dann mencari ‘jalan tengah’ bersama dalam penyelesaian konfliknya. Bukan untuk ‘zero-sum game’, semata menang-kalah.

Sedangkan jalur tempuh melalui gugatan di persidangan hingga ke Mahkamah Agung menunjukkan, mereka berjuang secara konstituisonal, bukan strategi yang bersifat inkonstitusional, sebagaimana sempat distigmakan. Upaya semacam ini penting dipertimbangkan oleh pemerintah agar menyediakan jalan ‘konsesus bersama” yang adil dan demokratis.  Sebab,  itikad baik masyarakat sudah sedemikian kuat disampaikan, tinggal bagaimana good will pemerintah serius mentaati mandat konstitusionalnya, yakni memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Catatan Tim Aru, 2022).

 

Telaga karst di tengah padang savana. Air menjadi kebutuhan penting bagi warga di pulau-pulau kecil di Aru. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

 

Pasca Perda Adat

Awal tahun 2022, Perda Adat No. 2, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima terbit. Ini merupakan tonggak penting dari pengakuan masyarakat adat di Kepulauan Aru. Berlandaskan Perda Adat ini, dapat ditegaskan,  kini masyarakat adat di Kepulauan Aru makin kuat sebagai warga negara Indonesia.

Perda adat ini menyebutkan,  pada Pasal 2, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru yang berdasarkan asas, pengakuan, keadilan, kepastian hukum, kesetaraan dan non diskriminasi, keberlanjutan lingkungan, partisipasi, dan transparan. Jadi, sudah seharusnya,  konflik, marginalisasi, eksklusi dan kriminalisasi atas masyarakat adat di Kepulauan Aru diselesaikan. Hak-hak dasar mereka harus dipenuhi.

Merujuk Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 7/2022 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam, Komnas HAM, hak-hak masyarakat hukum adat harus dipenuhi negara.

Hak-hak itu antara lain, pertama, melindungi hak atas rasa aman masyarakat hukum adat dengan cara menyusun mekanisme pencegahan atau deteksi dini atas konflik dan mendorong segera penyelesaian beragam konflik agraria struktural di wilayah adat, termasuk dalam keadaan darurat.

Kedua, menyegerakan pemberian kepastian tenurial pada hak-hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dengan cara melakukan pengadministrasian tanah-tanah ulayat. Ketiga, negara wajib melindungi sumber kehidupan masyarakat hukum adat, secara sosial-ekonomi, hukum, politik, ekologis, dan budaya, baik dalam jangka pendek maupun Panjang. Caranya, dengan mempercepat legalitas payung hukum atas masyarakat adat (UU Masyarakat Hukum Adat) serta audit perizinan korporasi sumber daya alam yang terbukti melanggar HAM atas masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam mereka. Juga memberikan sanksi tegas dan efek jera agar pelanggaran HAM atas masyarakat hukum adat tak berulang.

Keempat, negara wajib memastikan, dalam setiap kebijakan dan program apapun secara nasional, global atau daerah yang masuk di dalam kawasan masyarakat hukum adat, wajib memenuhi hak partisipasi substantif dan penuh masyarakat hukum adat. Kelima, negara wajib melindungi dan menjamin keselamatan, hak hidup, hak atas tanah dan sumber daya alam, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak memperoleh keadilan bagi masyarakat hukum adat termasuk masyarakat hukum adat nomadik dan semi-nomadik, serta para aktivis dan pembela HAM masyarakat hukum adat yang selaras dengan prinsip nondiskriminasi dan keadilan gender.

 

Aksi penolakan Masyarakat Adat Marafenfen di Pangkalan Udara TNI AL. Sumber foto: Dokumentasi Masyarakat Adat Marafenfen.

 

Keenam, negara wajib penegakan hukum yang tegas dan adil kepada semua pihak, termasuk kepada anggota TNI/Polri yang terbukti melanggar hukum dan melanggar hak masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya.

Ketujuh, negara wajib melindungi dan menghormati kekayaan sistem pengetahuan, sumber daya alam, dan sumber kehidupan ekonomi masyarakat hukum adat dari ancaman perusakan dan penghancuran sistematis. Juga memfasilitasi pengembangan alternatif ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip dan norma HAM.

Kedelapan, negara wajib melindungi keberlanjutan kekayaan keanekaragaman hayati dan pengetahuan/ kearifan lokal yang menjadi ruang hidup masyarakat hukum adat.

Kesembilan,  negara wajib melindungi keberlanjutan kehidupan, regenerasi, dan eksistensi masyarakat hukum adat sebagai warga negara. Dengan cara,  melindungi sumber pangan, sumber air, ekosistem hutan, sungai, gunung, tanah dan sumber daya alam, wilayah sakral/suci, dikelola dengan sistem pengetahuan dan tradisi adat yang selaras dengan tujuan kelestarian, keberlanjutan sosialekologis, serta keberlangsungan juga dinikmati generasi mendatang (inter-generational justice).

Kesembilan kewajiban negara itu tentu dalam batasan SNP Nomor 7/ 2022 itu. Yang tentu saja bisa meluas dan mendalam kalau ditafsirkan lebih jauh. Setidaknya,  pasca perda adat lahir, hal-hal itulah yang harus diberikan kepda masyarakat adat di Kepulauan Aru.

Walau begitu, proses advokasi kebijakan dan regulasi perda adat ini harus terus dilakukan, terutama di tingkat penyusunan paraturan turunan, petunjuk teknis, dan implementasi praksisnya. Sebab, seringkali niat baik jadi pupus Kembali kalau implementasi tidak sesuai atau dibajak untuk tujuan lain di luar niat awal. Ini yang sering terjadi di Indonesia.

Akhirnya, tulisan ini sebagai satu undangan diskusi sekaligus refleksi awal tahun 2023. Konflik agraria masyarakat adat di Kepuluan Aru, seumpama puncak gunung es, yang tak terlihat pasti lebih dalam dan luas. Mungkin juga sebagai cermin, dari nasib masyarakat adat di nusantara sekarang, yang masih belum mendapatkan hak-hak dasar secara penuh, meski sudah puluhan tahun berjuang mempertahankan tanah-air sendiri.

Dengan memahami dan menuntaskan kasus masyarakat adat di Kepulauan Aru ini, bisa jadi satu langkah penting mengurai benang kusut dan membebaskan belenggu ketidakadilan struktural dari masyarakat adat lain di nusantara yang mengalami nasib sama.

 

Aksi Masyarakat Adat Marafenfen di Kepulauan Aru, menanti sidang gugatan di Pengadilan Negeri Dobo. Foto: AMAN

 

*Penulis Ananda Bagus.WK adalah pegiat Papua Study Center (PSC). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

 

Referensi

Eko Cahyono, dkk, Policy Paper “Rentang Perjuangan Masyarakat Adat Marafenfen dan Ragam Masalah Krisis Sosial-Ekologis di Kepulauan Aru, Papua Study Center, 2021-2022

Eko Cahyono, Policy Paper “Konflik Agraria dan Hak Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan”, Sajogyo Institute dengan di dukung oleh RRI (Rights Resources Initiative), 2016

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, “Teori Sosiologi Modern”, 2004.

John Haba, “Realitas Masyarakat Adat di Indonesia: Sebuah Refleksi”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 12 No. 2, 2010

Komnas HAM, “Standar Norma dan Pengaturan Nomor 7 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam”, Komnas HAM, 2021

Catatan Hasil Pertemuan Tim Advokasi Marafenfen dengan Wakasal RI, Jakarta, 9 November 2022

Catatan Hasil Pertemuan Tim Marafenfen dengan Menteri ATR/Kepala BPN RI, Jakarta, 27 Oktober 2022

Noer Fauzi Rachman, “Rantai Penjelasan Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia”, 2013

Forest Watch Indonesia (FWI), Bio Region Papua: Hutan dan Manusianya. FWI – 2021.

Peraturan Adat Daerah Kabupaten Kepulauan Aru, No. 202, Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Aru Ursia-Urlima

Tim Kolaborasi, “Nasib Hutan dan Savana Kalau Peternakan Sapi Masuk Kepulauan Aru [1]”, 2022, https://www.mongabay.co.id/2022/10/10/nasib-hutan-dan-savana-kalau-peternakan-sapi-masuk-kepulauan-aru-1/

Christ Belseran, “Kala Ritual “Tordauk” Masyarakat Adat Marafenfen Terganggu”, 2021, https://www.mongabay.co.id/2021/11/07/kala-ritual-tordauk-masyarakat-adat-marafenfen-terganggu/
Sapariah Saturi, “Kebun Tebu Batal, Hutan Kepulauan Aru Sementara Aman”, 2014 : https://www.mongabay.co.id/2014/04/14/kebun-tebu-batal-hutan-kepulauan-aru-sementara-aman/
Sapariah Saturi, “Sudah Batal, Mentan Mau Hidupkan Lagi Kebun Tebu di Aru?”, 2015 : https://www.mongabay.co.id/2015/06/23/sudah-batal-mentan-mau-hidupkan-lagi-kebun-tebu-di-aru/

 

Exit mobile version