Mongabay.co.id

Perjuangan Warga Desa Sumber Jaya, Tidak Rela Lahannya Diserobot Perusahaan Sawit

 

 

Namija dan suaminya rela basah-basahan memanen padi di petak sawahnya yang terendam banjir. Enam bulan waktu ideal untuk memanen, tidak terwujud, justru harus diambil lebih cepat. Padahal, harga beras saat ini sedang mahal.

“Dapat sekarung, jadilah,” katanya, Sabtu (05/11/2022).

Hamparan sawah di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Provinsi Jambi ini, terbentang sekitar 50 hektar. Saung, orang lokal menyebutnya.

Namija menuturkan, hampir seluruh warga memiliki petak sawah, namun hanya belasan kepala keluarga yang aktif. Tak ada lagi gelak tawa perempuan gotong royong di sawah yang dikenal dengan “sistem pelarian”.

Sementara, saluran irigasi yang dibangun tahun 1990-an kondisinya berkarat, tidak berfungsi.

“Siapo yang nak belumbo dengan banjir, fuso, jarang padi kami menjadi (Siapa yang mau berlomba dengan banjir, gagal panen, padi tidak bagus hasilnya),” keluh wanita 50 tahun itu.

Ekspansi perkebunan sawit mengakibatkan lingkungan Desa Sumber Jaya rusak. Persawahan yang dikelola kolektif, lenyap. Sedangkan persawahan pribadi kerap gagal panen, karena bersebelahan dengan barisan pohon sawit, serta kanal yang dibuat perusahaan. Air yang seharusnya singgah di areal sawah, terbendung dan mengalir ke kanal.

“Lingkungan di sini tidak normal lagi. Waktu penanaman padi yang kami lakukan sudah sesuai jadwal, namun karena ada kanal perusahaan, padi keburu kering. Menjelang padi besar, tanah sudah pecah. Kanal menutup sirkulasi air ke sawah,” ujar Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh.

Dampak perubahan iklim makin mempersulit kondisi ini. Ketika musim hujan, persawahan kami banjir.

“Saat kemarau, air di sawah langsung habis, mengalir ke kanal yang dibikin perusahaan,” lanjutnya.

Sering gagal panen, membuat sebagian masyarakat memilih menjual sawahnya kepada perusahaan.

Sedangkan air sungai yang mengalir di Sumber Jaya, tidak lagi dikonsumsi masyarakat. Mereka lebih memilih membuat sumur di rumah, guna memenuhi kebutuhan air bersih.

 

Petani Perempuan Desa Sumber Jaya di kebun jagung yang berada di areal reklaiming PT. FPIL. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Dulunya asri dan nyaman

Sebelum adanya ekspansi perkebunan sawit, keasrian lingkungan Desa Sumber Jaya masih terasa. Ini tergambar jelas di benak Yusnidar (47), warga Desa Sumber Jaya sekaligus anggota Serikat Tani Desa Sumber Jaya Kumpeh Ulu.

Aliran sungai dan ekosistemnya terjaga. Berbagai jenis ikan, seperti gabus, serdang, dan toman, mudah ditemukan. Setahun sekali, penduduk desa menangkap ikan bersama yang disebut “berkarang”.

“Ramai-ramai kami menyantap ikan yang kami tangkap menggunakan tangkul. Dulu kalau banjir, ikan masuk permukiman,” ujar Yusnidar, didampingi anggota Serikat Tani Kumpeh Ulu lain.

Nelayan merupakan profesi yang dipilih sebagian masyarakat, karena ikan yang melimpah. Selain menggunakan jaring, ada kalanya mereka menggunakan tombak. Penduduk pun tidak ragu memanfaatkan air sungai sebagai kebutuhan minum, memasak, dan mencuci.

“Tahun 1990-an, kami masih menggunakan air dari Sungai Batanghari, sebelum ada perkebunan sawit. Airnya bening,” ungkap Yusnidar.

Lingkungan Desa Sumber Jaya juga ditumbuhi aneka pohon yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar: bungur, balam, rotan, meranti, tembesu, dan punak. Masyarakat memanfaatkannya untuk membangun rumah dan fasilitas umum, membuat perahu, hingga membuat anyaman tikar dan ambung.

Pemanfaatan hasil alam ini diiringi kearifan lokal dan kesadaran ekologis. Masyarakat hanya menebang pohon yang tua. Pohon muda dibiarkan hidup lebih lama, untuk menghasilkan bunga dan bibit baru.

Sebelum mengambil kayu dari alam, masyarakat harus melapor ke tokoh adat dan kepala desa. Mereka hanya boleh menebang pohon satu tahun sekali, yakni Oktober. Sedangkan proses pengangkutan kayu dari hutan, berlangsung Desember ketika permukaan air naik.

Perekonomian masyarakat sangat terbantu. Ambung, kursi, meja, dan barang lain yang dibuat dari hasil alam, dijual.

“Ini pula mata pencaharian orangtua kami. Banyak manfaat rotan bagi kami,” ujar Nurdayang, warga Desa Sumber Jaya.

Nurdayang mengingat jelas bagaimana mayoritas masyarakat Desa Sumber Jaya menggarap persawahan. Tidak ketinggalan menanam sayur dan buah, seperti pisang dan duku.

Tidak hanya menanam di lahan pribadi, masyarakat desa juga menggarap sawah secara kolektif. Hasilnya dibagi rata kepada yang terlibat. Bahan pangan tercukupi.

Namun, keasrian alam Desa Sumber Jaya tinggal cerita. Perkebunan sawit memorak-porandakan ekosistem di sana.

 

Pompa air yang digunakan perusahan untuk mengeluarkan air dari areal perkebunan sawit ke sawah masyarakat ketika hujan. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Perusahaan sawit masuk, konflik dimulai

Tahun 1997, PT. Permata Tusau Putra masuk Desa Sumber Jaya tanpa sosialisasi ke masyarakat. Konflik terjadi, lahan yang dikelola kolektif masyarakat diserobot perusahaan tersebut.

“Karena pendidikan kurang, masyarakat bisa ditakut-takuti,” ungkap Ketua Serikat Tani Kumpeh Ulu, Bahusni

Kendati demikian, tahun 1998, muncul perlawanan masyarakat yang melakukan aksi serentak. Alat dan rumah yang didirikan perusahaan, dibakar.

Setahun kemudian, dilakukan pertemuan antara pemerintah desa dan tokoh adat untuk menentukan batas desa. Dokumen ditandatangani oleh pejabat dan tokoh masyarakat, yang memahami batas-batas desa.

Rasidi (80), tokoh masyarakat Desa Sumber Jaya, merupakan saksi kunci awal terjadinya konflik lahan antara Desa Sumber Jaya dan PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL). Dia  menjelaskan, penentuan batas dilakukan untuk menghindari konflik dengan perusahaan, yang sebenarnya hanya memiliki izin penggunaan lahan di Desa Teluk Raya.

Namun, perusahaan sawit itu tidak berhenti merambah Desa Sumber Jaya hingga 2010. Tahun 2015, masyarakat baru mengetahui bahwa perkebunan yang digarap PT. Permata Tusau Putra sudah di-take over PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL).

“Untuk menghindari konflik berkelanjutan, dibuatlah kesepakatan tapal batas, menggunakan tanda alam dengan Desa Teluk Raya. Tahu-tahu lahan kami sudah habis,” katanya.

PT. FPIL juga tidak memilki hak guna usaha (HGU) di Desa Sumber Jaya. Sedangkan izin usaha perkebunan (IUP) baru dimiliki tahun 2019, setelah bertahun memanen sawit yang sekarang berumur sekitar 20 tahun.

Perusahaan ini mempunyai izin seluas 1.200 hektar di Desa Teluk Raya berdasarkan SK 41/HGU/BPN/2008 dan Sertifikat Nomor 46 Tahun 2008. Sedangkan di Desa Sumber Jaya perusahaan ini tidak memiliki HGU, tetapi menggarap lahan seluas 300 hektar lebih.

Kami sudah berusaha menghubungi pihak perusahaan, namun tidak ada jawaban.

Berdasarkan video amatir saat Pengadilan Negeri Sengeti melakukan pengecekan lahan, Senin (22/08/2022), Refman Besari selaku pengacara PT. FPIL bersama Muhsin Herris (Manajer PT. FPIL), mengakui belum mempunyai HGU di desa tersebut.

“Sekitar 300 hektar, ini belum HGU,” ujar Refman.

 

Namija, panen padi di sawahnya yang tergenang. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Lingkungan rusak, ekonomi masyarakat terpuruk

Lingkungan yang rusak, membuat penduduk Desa Sumber Jaya kesulitan mencari ikan. Mereka yang dulunya nelayan, beralih mencari kroto/telur semut, guna memenuhi kebutuhan harian.

“Kroto dijual sebagai makanan burung,” tutur Nurdayang.

Anyaman, seperti ambung, tikar, dan kursi, kini tidak bisa diproduksi warga. Hutan tidak lagi menyediakan bahan baku anyaman berupa rotan. Perusahaan sawit membabat pepohonan yang dulunya tegak.

Nurdayang mengatakan, saat perusahaan datang, tidak ada pekerjaan yang ditawarkan kepada masyarakat. Bantuan sama sekali tidak diberikan.

“Memang tidak ada. Kami minta bukti, kalau ada. Sekarang ini, ketika kami berjuang merebut lahan, pintar pula perusahaan itu. Sebagian warga ditarik untuk bekerja,” ujarnya.

Kepala Desa Sumber Jaya, Armidi tidak memungkiri keterpurukan itu. Tidak seperti sebelumnya, sebagian masyarakat memerlukan bantuan. Dari 448 kepala keluarga (KK), sekitar 50 persen terdaftar dalam program bantuan.

“Yang terdaftar dalam Program Keluarga Harapan (PKH) kurang lebih 90 orang, lalu ada 30 orang lagi. Sedangkan penerima BLT sebanyak 97 orang. Alhamdulillah walau kadang macet, mereka menerima. Data mereka masih berlaku,” ujarnya.

 

Kondisi Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Provinsi Jambi, yang lingkungannya rusak setelah ekspansi perusahaan sawit. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Rebut lahan yang dirampas perusahaan

Setelah bertahun mengalami masa sulit akibat lahannya dirampas, masyarakat Desa Sumber Jaya menyusun rencana perlawanan. Pada Maret 2021, mereka yang juga tergabung dalam Serikat Tani Kumpeh, melakukan rapat akbar untuk membentuk tim pengurus lahan Desa Sumber Jaya yang beranggotakan 30 orang.

Kelompok masyarakat tersebut mengirim surat ke PT. FPIL, meminta klarifikasi. Mereka ingin mengetahui, apa dasar perusahaan menggarap kebun sawit di Sumber Jaya. Namun, perusahaan tidak merespons.

Melalui Kepala Desa Sumber Jaya, pada 12 Oktober 2021, kelompok masyarakat ini mengundang Camat Kumpeh Ulu untuk mencari solusi. Mereka menunjukkan bukti, lahan yang digarap PT. FPIL itu milik Desa Sumber Jaya. Sedangkan pihak perusahaan yang menyatakan mempunyai HGU, tidak bisa menunjukkan dokumen.

Berikutnya, 20 Oktober 2021, kelompok masyarakat merebut lahan mereka kembali. Mereka melakukan reklaiming lahan seluas 320 hektar yang digarap perusahaan. Tidak hanya memanen sawit, masyarakat Desa Sumber Jaya juga menanam pohon pisang, pinang, cabai, dan ubi di sejumlah titik.

Perjuangan ini diperkuat dengan berdirinya Serikat Tani Kumpeh, anggotanya sebanyak 680 orang. Mereka mendapatkan pendampingan dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Wilayah Jambi, serta dukungan dari Kemenkum HAM.

Tidak tinggal diam, PT. FPIL melaporkan kasus tersebut ke Polda Jambi, sehingga 9 warga Desa Sumber Jaya dipanggil. Namun sejauh ini, Muhsin Herris (Manajer PT FPIL) belum memberikan keterangan terkait konflik itu.

Bahusni sendiri menduga ada upaya kriminalisasi kepada sejumlah masyarakat yang terlibat perjuangan ini. Satu per satu masyarakat Desa Sumber Jaya mendapatkan surat pemanggilan dari kepolisian, tetapi tidak dihiraukan.

“Setelah kami duduki lahan, kami diteror. Tetapi tetap kami perjuangkan, karena ini hak kami,” ujar Bahusni.

 

Areal persawahan yang terendam di Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Konflik lahan Sumber Jaya pun bergulir ke pengadilan. Seorang bernama Antoni, warga Kabupaten Batanghari, menggugat pihak BPN, PT. FPIL, dan Bahusni yang menjadi tergugat ketiga. Antoni menggugat lantaran tanahnya seluas 51 hektar diserobot. Pada akhirnya, lahan yang dipermasalahkan terbukti milik Desa Sumber Jaya.

“Eksepsi mereka tidak diterima hakim, hanya saya yang diterima. Saya menang,” ujar Bahusni.

Namun, sebelumnya pada Juli 2022, Bahusni malah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jambi. Dituduh menyerobot lahan, dikenakan pasal dalam undang-undang tentang Perkebunan.

“Mereka menuduh saya mencuri dan sebagainya. Seharusnya sebelum menetapkan tersangka, mereka tanya dulu apakah ada gugat-guatan lain. Saya bilang kepada mereka jangan aneh-aneh,” ungkapnya.

Bahusni sedih dengan kondisi ini. Tapi dia bilang, senyum warga miskin Desa Sumber Jaya yang berupaya mengambil haknya, membuat dia kuat berjuang.

“Kami miskin di tanah yang kaya. Dan orang-orang itu berpesta dari tanah kami. Tapi kami yang disalahkan, kami yang ditetapkan menjadi penjahat,” ujarnya.

 

Hasil panen pisang yang dibawa masyarakat Desa Sumber Jaya untuk dijual ke Kota Jambi. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Bahusni tidak ditahan oleh Polda Jambi. Namun, penetapan tersangka mendorong Serikat Tani Kumpeh bersama KPA Wilayah Jambi melakukan aksi di Mapolda Jambi, Kamis (14/8/2022). Salah satu tuntutan mereka, menghentikan segala bentuk kriminalisasi kepada petani di desa tersebut.

“Mereka seharusnya mendukung perjuangan petani yang mulia. Tetapi, malah ada proses kriminalisasi, sedangkan PT. PFIL terindikasi ada pelanggaran. Kami secara tegas meminta hentikan krimanalisasi dan intimidasi terhadap Serikat Tani Kumpeh,” ujar Koordinator KPA Wilayah Jambi, Fran Dodi, Minggu [13/11/2022].

Masyarakat Desa Sumber Jaya juga menggelar unjuk rasa di Kantor DPRD Provinsi Jambi, Selasa (27/9/2022). Mereka sempat berdialog dengan Ketua DPRD Provinsi Jambi, serta meminta lahan desa dikembalikan.

Masyarakat Desa Sumber Jaya sebelumnya, kata Bahusni, sudah meminta pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut, serta mengembalikan lahan.

“Pemerintah berjanji menyelesaikan, ternyata tidak ada. Bupati pun tidak bisa mendatangkan PT. FPIL,” katannya.

DPRD Provinsi Jambi sudah memberikan rekomendasi kepada tim Pansus untuk menyelesaikan konflik ini, sejak April 2022. Namun, tim tersebut mengecewakan masyarakat, karena terlalu lama mengambil tindakan.

“Tim Pansus memang menyatakan perusahaan kelebihan wilayah, atau memasuki wilayah kami. Makanya, tim merekomendasikan untuk mengembalikan lahan. Tapi ini sebatas janji dan janji,” kata Bahusni.

Kepala Desa Sumber Jaya, Armidi pun telah menyampaikan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik sekaligus mengembalikan hak masyarakat. Sejauh ini, pihaknya tidak pernah memberikan rekomendasi untuk penerbitan izin PT. FPIL.

“Dahulu daerah ini memang Sumber Jaya, banyak orang ke sini. Tempat ikan di sini banyak. Orang tua kami dahulu, meninggalkan lahan perekonomian untuk berkebun. Makanya sangat diperjuangkan masyarakat,” ujarnya.

 

Warga Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Provinsi Jambi, panen jagung di kebunnya. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Berhasil rebut lahan, ekonomi masyarakat membaik

Masyarakat Desa Sumber Jaya masih dilanda was-was sejak menduduki lahan yang sebelumnya dirampas PT. FPIL. Aparat penegak hukum masih mengirim surat pemanggilan kepada sejumlah masyarakat yang terllibat dalam perjuangan tersebut.

“Perusahaan itu masih berusaha, tampaknya. Mereka sudah banyak habis duit, tidak mungkin tinggal diam,” ujar Nurdayang.

Guna menghindari intimidasi, masyarakat mendirikan beberapa pos dan berjaga di sekitar wilayah reklaiming.

Nurdayang menyampaikan, lahan yang diduduki luasnnya 322 hektar. Sebagian sudah dibagikan kepada masyarakat, sebagian lagi dikelola kolektif.

“Kami sudah panen masing-masing, per hektar untuk satu keluarga. Sebagian lagi untuk kolektif, hasilnya untuk bersama,” ujarnya.

Bahusni mengatakan, ekonomi masyarakat mulai membaik sejak mengelola perkebunan sawit tersebut. “Kerja dua hari, hasilnya bisa untuk seminggu.”

Kepala Desa Sumber Jaya menyampaikan, saat ini perekonomian masyarakat Sumber Jaya mulai stabil. Potensi tindakan krimanal berkurang.

“Alhamdulillah, sekarang lebih tenang. Sebelumnya, ada saja kambing dan sawit hilang. Sekarang juga, tidak ada lagi ribut-ribut terkait bantuan,” ungkap Armidi.

 

Masyarakat Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Provinsi Jambi, berharap kasus lahan pertanian mereka yang diserobot perusahaan sawit segera selesai. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Mengembalikan ekologi desa

Perjuangan kelompok Desa Sumber Jaya tidak sebatas merebut kembali lahan yang dirampas perusahaan. Tetapi, mengarah ke pengembalian ekologi wilayah yang telah rusak.

Masyarakat mulai menanam cabai, jagung, pisang, dan sebagainya. Bahkan, menanam berbagai pohon yang sebelumnya mudah ditemukan di desa tersebut.

“Kami membuat pembibitan tanaman kayu. Sudah kami rencanakan untuk menciptakan lingkungan lebh baik,” ujar Armidi.

Koordinator KPA Wilayah Jambi, Fran Dodi mengatakan, sembari memperjuangkan hak atas lahan, masyarakat Sumber Jaya mulai merawat lingkungan.

“Di batas-batas kanal itu, mulai ada tanaman hutan untuk mengembalikan ekologi. Meminta juga minta bantuan Dinas Kehutanan untuk mendapatkan bibit pohon. Ada sekitar 2.800 bibit  yang diajukan.”

Aksi yang dilakukan kelompok masyarakat ini merupakan bentuk perjuangan reforma agraria sejati.

“Bukan hanya mendapatkan hak tanah, tetapi juga bicara tentang ekologi keberlanjutan,” pungkasnya.

 

* M Sobar Alfahri, jurnalis kilasjambi.com.

Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.

 

Exit mobile version