Mongabay.co.id

Catatan Awal Tahun: Bencana Hantui Warga, Lingkungan Hidup Sumbar Makin Krisis

 

 

 

 

 

Asam lambung Nurhayati sering kambuh karena memikirkan rumahnya yang kerab kebanjiran. Perempuan 75 tahun ini tinggal bersama dua anaknya. Suami sudah meninggal dunia. Sungai di belakang rumahnya di Kelurahan Teluk Kabung Tengah, Kota Padang, Sumatera Barat ini setahun belakangan berubah jalur mendekati rumah dan mengalami pendangkalan dari kedalaman dua meter kini setinggi mata kaki.

Kalau banjir pukul 1.00 dini hari atau pukul 2.00,  dia dan anak-anaknya harus mengungsi ke rumah tetangga. Banjir sering terjadi, hanya tidak sesering sekarang. “Setahun ini sering sekali banjir,” katanya dalam bahasa Minang.

Pecahan-pecahan kerikil yang menyebabkan pendangkalan sungai itu dia ambil seember demi seember kecil. Bebatuan itu dia pindahkan ke pinggiran rumah. Harapan Nurhayati, rumah terlindungi dari air yang mau masuk ke rumahnya.

Matanya berair ketika cerita malam-malam yang mencemaskan setiap hujan turun. Rumah harus berkali-kali dia bersihkan. Sejak 1982,  dia tinggal di sana baru setahun belakangan banjir sering datang dan harus berkali-kali mengungsi ke rumah tetangga.

“Tahun ini sering sekali banjir. Yang setahun inilah yang sering. Saya menginap di rumah orang sudah sering. Kadang jam 12.00 malam, kadang jam 10.00 malam.”

Genangan air tiba-tiba sudah besar. Rumah seperti pulau berkeliling air. “Ndak talok di awak lai (saya tidak sanggup lagi),” keluhnya.

Sungai dekat rumahnya belakangan ini makin dangkal karena terbawa material lumpur maupun batuan kecil saat banjir bandang. Material yang terbawa banjir diduga hutan dan aliran sungai di hulu yang rusak, antara lain karena tambang emas ilegal.

Nurhayati memohon pertolongan siapa pun yang bisa menanggulangi sungai yang mendangkal ini.

“Minta tolong. Mohon bana kok dapek aia ko bana amak minta tolong a. Kama ka lari lai.  (mohon sekali kalau dapat masalah air ini yang ditanggulangi. Kemana lagi mau lari),” katanya.

Andri juga rasakan hal serupa. Air sungai meluap bercampur material deras menghantam rumahnya.

“Warung roboh sama banjir dan televisi terendam. Lantai rumah dikikis air karena banyak lumpur. Saking tebalnya pemadam kebakaran yang harus menyemprot lumpur dalam rumah.”

Karena sering banjir Andri meninggikan lantai rumah. Pondasi sudah berbeda. Kayu kusen jendela terlihat lapuk terlalu sering terendam air.

“Yang kami inginkan sungai ini dilakukan pengerukan. Penyebab banjir ini meluapnya air sungai, sampai ke pemukiman warga,” katanya.

Dia memperlihatkan video saat terjadi banjir.

 

Nurhayati, usia 75 tahun warga Teluk Kabung Tengah, Padang yang kerap terkena banjir bandang. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Pardi, Ketua RW 02 Kelurahan Teluk Kabung Tengah mengatakan, bukan hanya perumahan tetapi lahan pertanian juga kena imbas.

“Kerugian di masyarakat banyak, contoh, ternak, perabot rumah tangga, lahan tani. Kami masyarakat memerlukan uluran tangan pemerintah,” katanya.

Masyarakat, katanya,  melalui pemerintah kecamatan dan kelurahan mengajukan normalisasi sungai. “Untuk bisa menormalisasi sungai di sini, karena sungai ini awalnya dua meter kini jadi dangkal.”

Sejak 2017, katanya,  banjir banjang makin sering terjadi. “Saat hujan satu jam sudah dapat dipastikan Sungai Ibuang meluap dan merendam pemukiman warga sekitar bahkan hampir semua pemukiman di Kelurahan Teluk Kabung Tengah dan Kelurahan Teluk Kabung Utara teredam banjir,” katanya.

Warga Teluk Kabung,  hanya satu dari lebih seribuan kasus masyarakat terdampak bencana ekologis di Sumbar buntut dari iklim makin sakit rentetan dari kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar mencatat,  selama 2022 ada sekitar 1.024 kejadian bencana. Ada 131 kasus longsor dan 122 banjir sepanjang 2022. Ada 135 angin kencang, 549 pohon tumbang dan 87 kebakaran hutan dan lahan. BPBD mencatat,  korban meninggal dunia 31 orang.

 

Banjir yang terjadi di Siberut akibat hutan yang gundul di daerah hulu. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Khalid Saifullah,  Dewan Pengarah Forum Pengurangan Risiko Bencana Sumatera Barat mengatakan,  bencana ekologis di Sumbar seperti banjir karena kerusakan lingkungan.

“Kondisi alam kita tidak baik-baik saja. Lingkungan juga tidak baik. Inilah yang berujung pada bencana,” katanya dalam Forum Walhi Sumbar.

Data mereka, kerugian banjir di Pesisir Selatan pada 2020 mencapai Rp289,296 miliar. Hitungan itu berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tahun 2020. Kerusakan ini mencakup rumah hanyut (86), rumah rusak berat (75), rumah rusak sedang (893), rumah rusak ringan (9.520), motor dan mobil hanyut (12).

Secara finansial,  ada kerusakan sarana ibadah Rp2,45 miliar, kerusakan jembatan dan jalan Rp63,53 miliar, kerusakan sarana air bersih dan energi Rp5,4 miliar, kerugian peternakan Rp5,1 miliar, perikanan Rp1,7 miliar, perkebunan Rp39 miliar dan kerusakan sarana pendidikan Rp1 miliar.

“Itu untuk tahun itu saja. Bagaimana dengan kabupaten dan kota yang lainnya?” kata Khalid.

 

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Sumbar ini mengatakan,  untuk bicara bencana ekologis harus melihat bagaimana kondisi lahan secara keseluruhan. “Kita juga bicara soal ekosistem, relasi apa dan dimana putusnya. Baru bicara kerusakan lahan dan hutan.”

Khalid contohkan, banjir di Kota Padang. “Kalau bicara Padang tidak salah makin tahun makin parah banjirnya. Hujan sebentar saja 75% kota Padang bisa disebut genangan karena memang begitu.”

Dia menyoroti, perubahan bentang lahan di Kuranji, belakang Universitas Negeri Padang. “Dulu,  masih ada hutan mangrove tempat burung bermain. Itu juga daerah resapan air,” katanya. Kini tutupan hutan tinggal sedikit.

“Ada kerentanan, itu ada potensi banjir dan berisiko. Hujan itu trigger. Kalau baik-baik saja lingkungan walaupun curah hujan tinggi ya nggak masalah,” katanya.

Selain pemulihan lingkungan hidup, katanya,  harus ada penguatan dalam aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana, peringatan dini dan kajian risiko bencana, pendidikan kebencanaan, pengurangan faktor risiko dasar dan pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini.

 

Nasrulwarga Teluk Kabung Tengah menggali bebatuan yang menumpuk di selokan. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Hutan hilang

Perubahan bentang alam memicu bencana. Dari rekam LBH Padang, KKS Warsi maupun Walhi Sumbar, tutupan hutan di provinsi ini memang terus tergerus setiap tahun, terutama karena aktivitas ekstraktif legal maupun ilegal.

“Setiap satu jam Sumatera Barat kehilangan satu hektar tutupan hutan,” kata Diki Rafiqi, Kepala Divisi Bidang Kampanye dan Sumber Daya Alam LBH Padang.

Catatan LBH 2017-2021,  setidaknya deforestasi seluas 53.088 hektar. Pada 2021,  deforestasi 9.022 hektar. “Atau 24,71 hektar dalam satu hari,” katanya.

LBH menemukan salah satu penyebab pelanggaran hukum terkait perizinan bermuara pada alih fungsi kawasan hutan. “Ini ikut menyumbang kerusakan hutan lebih signifikan yang kemudian mempersempit ruang hidup bukan saja manusia juga flora dan fauna.”

LBH Padang investigasi izin usaha pertambangan di Sumbar dan menemukan 154 izin bermasalah. “Mereka tidak melakukan pengisian data inventarisasi kepatuhan reklamasi pasca tambang,” kata Diki.

Dari 154 IUP itu ada 49 IUP setop sementara dengan  total luasan 26.768,1 hektar. Ada juga 22 IUP terindikasi masuk ke kawasan hutan.

Diki mengatakan,  pemerintah tahu IUP sebanyak itu bermasalah tetapi tetap memberikan kesempatan memulihkan diri.

LBH Padang soroti kehilangan tutupan hutan pada 2021, sementara Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, pada 2022 sedikitnya Sumatera Barat kehilangan 27.447 hektar atau sekitar 1,5% tutupan hutan dari total 1.744.549  hektar.  Warsi juga menekankan, soal begitu banyak tambang ilegal yang merusak lingkungan termasuk hancurkan hutan.

Rainal Daus, Wakil Direktur KKI Warsi mengatakan, dari analisis Citra Sentinel II yang dilakukan oleh tim Geographic Information System KKI Warsi, 23 Desember lalu.

Dia bilang, banyak faktor penyebab penurunan tutupan hutan di Sumbar, mulai perladangan skala kecil dengan sebaran titik terbilang banyak, indikasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan seperti untuk pertambangan emas tanpa izin.

Aktivitas ilegal seperti pertambangan emas ilegal di Sumatera Barat, katanya,  terpantau di empat kabupaten, yakni, Dharmasraya seluas 2.179 hektar, Solok 1.330 hektar, Solok Selatan 2.939 hektar, dan Sijunjung 1.174 hektar.

 

Aliran Sungai Laman mengalir ke aliran baru yang lebih deras dan dangkal karena pecahan batu kerikil dari bekas tambang. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Tambang emas ilegal biasa terjadi di sungai utama atau sungai kecil dalam area penggunaan lain (APL), hutan produksi, sampai hutan lindung. “Untuk penambang di dalam lubang tidak bisa kita analisa melalui satelit.”

Penambangan emas ilegal ini mengkhawatirkan karena masih terus terjadi yang menyebabkan perubahan bentang alam. “Umumnya dilakukan di pinggir hutan, ada risiko bencana,” kata Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi Rudi Syaf, Desember lalu.

Tambang emas ilegal di pinggir sungai, katanya, limbah akan langsung ke sungai hingga memicu sedimentasi. Satu contoh, sungai yang awalnya lebar 15 meter kedalaman tiga meter bisa berubah jadi lebar 30 meter dengan kedalaman 0,5 meter karena galian dan lumpur.

”Perubahan bentang alam itu bisa menimbulkan bencana. Ada sungai yang tadinya berbelok-belok, alurnya terpotong jadi lurus akibat sedimentasi. Risiko banjir bandang tinggi. Menambang mengikuti badan sungai dan mengubah badan sungai itu berpotensi memicu bencana hidrometeorologi,” katanya.

Agar tutupan hutan terjaga, katanya, perlu ada komitmen kuat menanggulangi tindakan ilegal. Juga komitmen pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan pemulihan hutan dan menahan laju deforestasi, juga hal penting yang perlu dilakukan.

Berdasarkan data BPS 2020 terdapat 950 nagari dalam kawasan hutan, dengan rincian 365 nagari di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung dan 280 nagari di hutan produksi. Berarti,  masyarakat Sumbar tak lepas dan menggantungkan hidup dari hutan.

Peningkatan kapasitas masyarakat penjaga hutan penting, kata Rudy, salah satunya melalui skema perhutanan sosial. Selain itu, juga perlu pengendalian terhadap kegiatan sosial yang memicu deforestasi.

Yozarwardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar mengatakan, hilangnya tutupan hutan Sumbar 1,5% tahun ini relatif kecil. Sebagian perubahan itu legal, katanya,  seperti pembukaan Jalan Pasar Baru-Alahan Panjang, transmigrasi, maupun program tanah obyek reforma agraria (Tora).

Namun, Yozarwardi tak menampik ada tindakan ilegal, seperti kebakaran hutan dan lahan atau perambahan hutan untuk kebun ataupun pembalakan liar.

Salah satu upaya menahan laju deforestasi, katanya, dengan perhutanan sosial. Di Sumbar,  sudah ada 245.000 hektar perhutanan sosial dari kelompok. Masyarakat lokal melindungi hutan mereka hingga di lokasi itu cenderung tak terjadi pengurangan tutupan hutan.

Isril Berd, ahli lingkungan mengatakan, pengurangan tutupan hutan dapat menyebabkan bencana. Ketika hutan tertutup bagusan saat hujan air lebih banyak masuk ke tanah. Kalau hutan sudah terbuka, maka air banyak di permukaan (run off).

“Kalau run-off lebih banyak maka terjadi luapan air meningkat dan tidak tertampung badan sungai hingga banjir. Pada musim kemarau,  kawasan ini akan sangat kering karena tak ada cadangan air,” katanya.

 

Lokasi rawan longsor di Sitinjau Laut karena hutan sebagian gundul. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Kalau dihubungkan dengan penurunan tutupan hutan karena pembalakan liar, tambang atau alih fungsi lahan lain, katanya,  tentu akan mempengaruhi sumber daya air di kawasan itu.

Kondisi ini, katanya, akan mempengaruhi ekologi, baik di hutan maupun perairan. Kalau air sungai pada musim kemarau kering, endapan sedimen pun makin meningkat.

“Ekologi di badan sungai akan terpengaruh, biota-biota sekitar sungai tidak bisa hidup dengan baik. Di hutan juga begitu, jika tutupan hutan itu makin berkurang, makanan di daerah hunian hewan menjadi berkurang. Misal, jadi banyak harimau masuk perkampungan warga.”

Wilson Novarino, peneliti satwa mengatakan, tutupan hutan berkurang, memperluas daerah tepi, yang memungkinkan interaksi antara spesies interior (bagian dalam hutan), dengan spesies edge (pinggiran hutan) serta spesies exterior (luar hutan).

Interaksi ini, katanya,  sering memicu permasalahan seperti, meluasnya sebaran jenis invasif, transfer penyakit pada satwa seperti canine dustemper virus, Afrika swine flu, dan rawan konflik satwa dan manusia.

Berkurangnya tutupan hutan, juga meningkatkan isolasi area hingga bisa memutus jalur perlintasan satwa dan mengancam mereka.

 

Hutan lindung yang menjadi tambang emas ilegal di Solok Selatan. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Konflik sumber daya alam

Sementara, Walhi Sumbar pun melakukan pertemuan terpisah antara masyarakat dampingan yang memanfaatkan hasil alam untuk ekonomi berkelanjutan dan pejuang HAM dengan warga berkonflik sumber daya alam.

Tommy Adam,  Kepala Divisi Advokasi Walhi Sumbar mengatakan, pertemuan ini untuk menyuarakan berbagai persoalan masyarakat dan lingkungan hidup di Sumatera Barat.

“Seperti pertambangan, sawit dan proyek strategis nasional berdampak pada kerusakan lingkungan di Sumbar. Contoh,  di Sikalang,  Kota Sawahlunto, sejak 2016 masyarakat merasakan hidup sengsara dekat tambang batubara,” katanya.

Ada juga konflik negara dan masyarakat, seperti lahan mereka  berada di kawasan hutan—yang ada belakangan—sedang masyarakat sudah hidup di sana turun menurun.

“Kita ingin menyampaikan pada pemerintah, masalah-masalah ini harus segera diatasi. Penghormatan dan pemenuhan HAM masyarakat Sumbar harus dipenuhi baik pemerintah daerah maupun pusat.”

Dalam pertemuan itu diwakili pejuang HAM dampingan Walhi di Solok, Pasaman Barat, Sawahlunto, SIunjung, Kabupaten 50 Kota, Kota Padang, Solok Selatan dan Padang Pariaman ini ada lima poin pernyataan sikap.

Pertama,  persoalan HAM dan lingkungan hidup yang disebabkan industri ekstraktif, perizinan perkebunan, pertambangan dan proyek strategis nasional menyebabkan ragam persoalan dan konflik di tempat tinggal mereka.

Kedua, terjadi degradasi lingkungan yang menyebabkan wilayah kelola masyarakat terancam.

Ketiga, menuntut Pemerintah Sumbar memenuhi, menghormati dan memulihkan hak lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Keempat, menuntut penghormatan terhadap adat istiadat di Sumbar dan menjamin ekosistem sehat terjaga.

Kelima, memastikan seluruh industri ekstraktif, perizinan perkebunan, pertambangan maupun PSN tak melanggar HAM dan merusak lingkungan hidup.

Ardinis Arbain,  pakar lingkungan dan akademisi dari Universitas Andalas mengatakan,  antar pihak harus berkolaborasi menjaga lingkungan hidup Sumbar.  Sayangnya, investasi maupun proyek yang masuk ke Sumbar, seperti energi, jalan, waduk dan lain-lain, tak satu pun bicara penyelamatan hutan.

Untuk itu, katanya, perlu ada kolaborasi dari media, lembaga hukum, pegiat lingkungan dan akademisi untuk mengatasi ini.

“Persoalan lingkungan hidup harus segera teratasi termasuk juga konflik lahan maupun sumber daya alam,” kata Tommy.

 

Kayu-kayu gelondongan hasil ilegal logging di hutan Sako, Tapan. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

********

 

Exit mobile version