Mongabay.co.id

KLHK Kepincut Penanganan Sampah Banyumas, dari TPST hingga TPA BLE

 

Dengan berjalan kaki, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti nurbaya berkeliling di kompleks Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Berbasis Lingkungan dan Edukasi (BLE). TPA BLE bukanlah bermetode landfill atau TPA terbuka yang baunya tidak sedap. TPA BLE merupakan tempat pengolahan akhir residu yang dikirimkan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) sebagai pengelola tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST).

Nurbaya berkeliling mulai dari tempat residu masuk. Kemudian dipilah antara sampah organik dan anorganik. Di TPA BLE juga ada lokasi budi daya magot yang menjadi solusi pengolahan sampah organik. Lalu, ada juga pabrik plastik. Di lokasi setempat plastik-plastik ada yang masuk proses pirolisis, namun ada pula diproses menjadi refused derived fuel (RDF).

Tampak Nurbaya begitu memperhatikan lokasi dan mendengarkan paparan Bupati Banyumas Achmad Husein saat berkeliling di TPA BLE. Bahkan, dia mencatat apa-apa yang penting lewat tulisan tangan. “Kedatangan saya ke sini untuk melihat di lapangan. Ternyata, Banyumas sudah mampu mengelola sampah dengan baik. Mulai dari manajemen dan fasilitas yang ada,” jelas Nurbaya usai meninjau TPA BLE di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor dan TPST Gunung Tugel, Desa Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah pada Minggu (8/1/2023).

baca : Upaya Penanganan Sampah di Banyumas, Dari TPST, Mesin Pirolisis Hingga TPA BLE

 

Menteri LHK Siti Nurbaya didampingi Bupati Banyumas Achmad Husein saat melihat budi daya maggot di lokasi TPA BLE. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menteri LHK mengatakan Banyumas merupakan contoh yang sangat baik dalam menangani persoalan sampah. “Yang paling penting, di sini juga ada keterlibatan masyarakat. Ada 29 KSM yang melakukan pengelolaan TPST. Kita akan membahas ini lebih mendalam prinsip-prinsipnya dan akan kita terapkan secara nasional,”ujarnya.

Kementerian LHK bakal memembuat standar operasional penanganan sampah, seperti yang telah dipraktikkan di Banyumas. Sebab, Banyumas telah memberikan bukti bahwa sampah bisa ditangani. “Saya bisa mengatakan kalau Banyumas memang keren dalam menangani sampah. Apalagi, dari laporan Pak Bupati, tidak ada sampah yang tersisa, semuanya terserap. Bahkan, ada peningkatan nilai tambah sampah,”papar Nurbaya.

Pihaknya bakal mencoba untuk mereplikasi ke seluruh Indonesia terkait dengan pengelolaan sampah. “Kita akan coba untuk mereplikasi penanganan sampah Banyumas ini,”katanya.

Dalam penyampaiannya kepada Menteri LHK, Bupati Banyumas Achmad Husein menjelaskan di TPA BLE sebetulnya merupakan lokasi penampungan residu yang dihasilkan oleh TPST. “Meski ada TPST, namun sebagian masih ada residu. Sehingga residu masuk ke TPA BLE. Residu inilah yang kemudian diproses di TPA BLE, karena di TPST tidak mampu,” ujarnya.

Bupati menjelaskan bahwa sampah anorganik bisa diproses menjadi RDF. Sebagian sampah plastik yang tidak masuk proses RDF, masuk mesin pirolisis. Ada juga sampah plastik yang kemudian dapat diproses menjadi batako. “Kalau sampah organik, menjadi pakan magot. Karena di sini juga ada budi daya maggot untuk mendekomposisi sampah. Sampah yang telah didekomposisi maggot, menjadi pupuk, namanya kasgot atau bekas magot,” kata Bupati.

Menurutnya, sampah di Banyumas tidak ada yang tersisa, karena semuanya dapat diolah. Sehingga, saat sekarang Banyumas sudah tidak lagi mempunyai landfill atau TPA secara terbuka.

baca juga : Berawal dari Krisis Sampah yang Mampu Diselesaikan, Bupati Banyumas Berbagi Kisah di COP27 Mesir

 

Mesin pemilah dan pencacah sampah di TPA BLE Banyumas. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Nilai Tambah Sampah

TPA BLE dikelola oleh unit pelaksana teknis (UPT) yang merupakan bagian langsung Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Dengan dibangunnya TPA BLE maka tujuannya adalah memproses seluruh sampah atau residu, mengolah hasil sampah atau residu menjadi barang yang memiliki nilai tambah serta menghabiskan sampah dengan proses pirolisis. TPA BLE dibangun sejak tahun 2020 dengan alokasi pendanaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Di TPA BLE, ada sejumlah peralatan yang telah terpasang. Di antaranya adalah bag opener yakni mesin pemilah awal sampah utuh. Mesin ini menghasilkan sampah plastik kotor dan organik kotor secara terpisah. Kemudian ada preshredder atau mesin pencacah sampah dengan kapasitas terpasang 30 ton per jam. Hasilnya berupa cacahan sampah dengan ukuran kurang dari 20 cm. Kemudian ada tromol screen atau mesin ayakan sampah dengan kapasitas terpasang 20 ton per jam.

Peralatan lainnya adalah chopper dan separator. Mesin ini merupakan pencacah dan pemilah dengan kapasitas terpasang 5 ton per jam. Hasilnya berupa pemilahan sampah organik dan anorganik. Alat lainnya adalah pyrolisis atau mesin pemusnah sampah yang merupakan peralatan pembakar dengan menggunakan prinsip 3T yakni temperature, turbulence, time. Mesin tersebut telah mendapatkan rekomendasi dari KLHK dan telah lolos uji emisi furan dan dioxin. Pembakaran dilakukan pada suhu tinggi berkisar antara 700-850 derajat Celcius dan sebagai starternya menggunakan bahan bakar solar.

Kepala UPT TPST/TPA BLE Banyumas Edi Nugroho menjelaskan berbagai macam peralatan tersebut belum terlalu lengkap. Meski demikian jumlah residu sampah yang masuk ke TPA BLE sudah cukup banyak.

“Jadi, keberadaan TPA BLE berfungsi mengolah residu sampah yang tidak bisa diolah di tingkat KSM sebagai pengelola TPST. Jadi, sampah-sampah dari masyarakat ditampung di TPST. Kemudian oleh KSM dipilah dan diolah. Ternyata dari pemilahan dan pengolahan masih ada sisa sampah atau residu. Nah, residu itu bakal diselesaikan di TPA BLE,”paparnya.

baca juga : Garap Hulu Hingga Hilir Sampah, Banyumas Ingin Raih “Zero Waste” Akhir 2022, Bisakah?

 

Pemrosesan bubur sampah organik yang digunakan untuk media budi daya maggot. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, setiap hari KSM pengelola TPST-TPST yang ada di Banyumas mengirimkan sebanyak 12-16 dump truk residu sampah. Karena residu, sampah yang masuk ke TPA BLE juga masih bercampur antara organik dengan anorganik. “Setelah sampah masuk ke TPA BLE, maka akan ditampung untuk kemudian masuk ke peralatan pemilahan sampah. Sampah-sampah kembali dipilah, kemudian diproses,”kata Edi.

Setelah masuk ke mesin pemilah lalu proses lanjutan, maka ada beberapa produk yang dihasilkan. Yakni ada bubur sampah (bursam) organik, kemudian bursam anorganik serta RDF. “Untuk bursam organik akan langsung masuk menjadi media budi daya magot. Jumlahnya sekitar 1-2 ton per hari. Hasilnya nanti adalah kasgot atau bekas magot,”ujarnya.

Sedangkan untuk bursam anorganik masuk dalam pabrik plastik, untuk diproses menjadi paving. Sementara RDF dibawa oleh koperasi yang telah menjalin kerja sama dengan PT SBI dan PT Unilever.

“RDF tersebut harganya Rp300 per kg. Jadi kalau 1 ton harganya mencapai Rp300 ribu. Padahal, setiap harinya TPA BLE menghasilkan sekitar 6 ton RDF. Kalau dinominalkan mencapai Rp1,8 juta per hari. Tetapi, karena TPA BLE belum menjadi Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD) maka belum dapat menjual. Sementara ini diambil oleh koperasi-koperasi yang bekerja sama dengan PT SBI dan Unilever. Selain di TPA BLE, ada lokasi penampungan lainnya yakni di Wangon,”jelasnya.

Banyumas memang pantas menjadi contoh penanganan sampah. Sebab, sekitar 5 tahun silam, tepatnya pada 2018 pernah dilanda krisis sampah. Waktu itu terjadi karena banyak penolakan terhadap landfill atau TPA. Kini setelah 5 tahun, Banyumas menjadi panutan bagaimana mengelola sampah dengan baik. (***)

 

 

Exit mobile version