Mongabay.co.id

Bagaimana Perkembangan Kasus Korupsi Perpanjangan HGU Kebun Sawit di Kuantan Singingi?

 

 

 

 

Satu persatu aktor yang terlibat korupsi perpanjangan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit PT Adimulia Agrolestari (Adimulia) di Kuantan Singingi, Riau, kena cokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terbaru, KPK menahan tiga orang tersangka lagi. Yakni, mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Riau M Syahrir, Komisaris Adimulia Agrolestari Frank Wijaya bersama General Manager Sudarso.

Sudarso terlebih dahulu kena vonis dua tahun penjara dan sudah menghuni Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 28 Maret 2022. Empat bulan kemudian, giliran Bupati Kuantan Singingi nonaktif, Andi Putra, dihukum 5,7 tahun penjara. Keduanya diciduk saat operasi tangkap tangan KPK 18 Oktober 2021.

Sudarso menyuap Andi Rp1,5 miliar untuk dapatkan rekomendasi persetujuan penempatan kebun plasma di Kabupaten Kampar. Ia sebagai syarat perpanjangan HGU yang diminta Syahrir. Serah terima uang baru terlaksana Rp500 juta. Sudarso menerima hukuman.

Andi terus mengajukan upaya hukum sampai kasasi, setelah Pengadilan Tinggi Riau, Agustus lalu, menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Andi beralasan, uang itu adalah pinjaman.

 

Baca juga: Kala Bupati Kuansing Terjerat Kasus Korupsi Perizinan Sawit

 

Babak baru?

Adapun babak baru kasus ini, kaitan pemberian dan penerimaan hadiah atau janji dalam pengurusan perpanjangan HGU Adimulia di Kanwil BPN Riau.

“Berdasarkan bukti-bukti dan perkembangan persidangan terdakwa AP, kemudian KPK kembangkan perkara ini ke tingkat penyidikan. Jadi patut kita duga, beberapa tersangka dalam perkara ini. Antara lain saudara MS, FW dan Sdr,” kata Firli Bahuri, Ketua KPK dikutip dari tayangan Youtube komisi ini, Oktober 2022.

Inisial AP adalah Andi Putra, mantan Bupati Kuantan Singingi, lalu, FW merupakan Frank Wijaya, pemegang saham Adimulia Agrolestari. Sdr itu  Sudarso, selaku General manajer Adimulia dan MS merujuk pada M Syahrir, mantan Kakanwil BPN Riau.

Penyidik mulai menahan Frank, sejak 27 Oktober 2022, di Rutan Polres Jakarta Selatan. Sementara Syahrir, sempat mangkir dan akan ada upaya paksa bila tidak datang pada panggilan kedua. Akhirnya,  dia menyerahkan diri dan ditahan mulai 1 Desember 2022.

Ceritanya, Adimulia mulai mengurus perpanjangan sertifikat HGU sejak 2019. Frank menugaskan Sudarso dan meminta aktif melaporkan perkembangan. Sudarso mulai siapkan dokumen administrasi, menghubungi Syahrir hingga beberapa kali bertemu.

Syahrir minta Rp3,5 miliar dalam bentuk mata uang asing dengan uang muka 40-60%. Syahrir janji segera percepat prosesnya.

Sudarso lalu memberitahu Frank. Dia minta sediakan US120.000 Singapura setara Rp1,2 miliar untuk pemberian tahap awal. Frank setuju. September 2021, Syahrir memerintahkan Sudarso mengantar uang di rumah dinas. Syahrir melarang Sudarso bawa alat komunikasi.

Beberapa hari kemudian, Syahrir langsung pimpin rapat ekspos permohonan perpanjangan HGU Adimulia di Prime Park Hotel, Pekanbaru. Kesimpulannya, Syahrir menyatakan usulan itu bisa ditindaklanjuti bila ada rekomendasi dari Andi. Isinya, tidak keberatan kebun masyarakat (plasma) di Kampar dan tak perlu membangun lagi di Kuantan Singingi.

HGU Adimulia terletak di dua lokasi. Pertama, Kecamatan Kampar Kiri, Kampar, seluas 5.300 hektar. Kedua, Kecamatan Singingi Hilir, Kuantan Singingi, seluas 6.485 hektar. Di lokasi kedua belum ada kebun plasma padahal satu syarat HGU dapat diperpanjang bila perusahaan bersedia memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari luas HGU. Aturan ini tertuang dalam Permen ATR/Kepala BPN 7/2017 yang diubah dengan Permen ATR/Kepala BPN 18/2021 tentang tata cara penetapan hak pengelolaan dan hak atas tanah.

Karena merasa kebun plasma di Kampar sudah cukup, Frank kembali menugaskan Sudarso mengajukan permohonan ke Andi supaya mendapat rekomendasi yang diminta Syahrir.

Sudarso bertemu Andi beberapa kali di rumahnya maupun di rumah dinas bupati. Andi juga minta Rp2 miliar.

Frank setuju tetapi bertahap. Tahap awal, Sudarso menyerahkan Rp500 juta. Pada 18 Oktober 2021, Sudarso mau menambah Rp200 juta lagi tetapi keburu tertangkap KPK.

Malamnya, Andi menyerahkan diri ke Mapolda Riau. Dari persidangan Sudarso dan Andi, keterlibatan Syahrir pun terungkap.

“Atas perbuatan para tersangka, maka saudara FW dan saudara Sdr sebagai pemberi melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP,” kata Firli Bahuri.

 

Baca juga: Kasus Suap Izin HGU:  Petinggi Perusahaan Sawit di Riau Vonis Dua Tahun

M Syahrir. mantan Kepala Kanwil BPN Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Syahrir, sebagai penerima, melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU yang sama.

Syahrir sulit mengelak tak meminta uang dalam proses perpanjangan HGU Adimulia. Anak buahnya saja terang-terangan mengaku terima jatah dari perusahaan dan mengembalikan uang ke KPK. Rapat panitia pemeriksaan tanah yang diselenggarakan Kanwil BPN Riau di Prime Park Hotel, ditanggung perusahaan. Termasuk biaya operasional ke areal HGU yang akan diperpanjang.

HGU Adimulia akan berakhir Desember 2024.

Umar Fathoni, Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran, Kanwil BPN Riau, mengatakan,  proses perpanjangan HGU perusahaan ini terhenti sejak KPK membongkar praktik suap di lingkungan instansi pertanahan. Semua dokumen terkait disita komisi antirasuah.

“Karena sedang proses hukum, kami tidak bisa memberikan statement. Ikuti saja proses hukumnya.”

Umar dua kali jadi saksi dalam kasus korupsi perpanjangan HGU Adimulia. Masing-masing di persidangan perkara Sudarso dan Andi.

Kasus Syahrir, penyidik KPK juga meminta keterangannya. Umar mengaku terima Rp15 juta usai rapat ekspos Panitia B di Prime Park Hotel, yang dipimpin Syahrir.

Meski perpanjangan HGU Adimulia belum dapat proses, Umar menyebut perusahaan perkebunan yang hendak mendapat pembaruan hak atas tanah, tetap wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari luas HGU. Hanya, mengenai proses penentuan lokasi dan jumlah petani penerima, ditetapkan bupati dan Dinas Perkebunan setempat.

“Yang pasti ketika perpanjangan kami minta persyaratan itu,” kata Umar.

Fahmi Zulfadli, legal Adimulia Agrolestari, irit bicara ketika Mongabay menghubunginya, 9 Desember siang.  Dia bilang, pemberitaan mengenai penetapan tersangka bosnya sudah banyak tersiar di media dan cukup mengikuti proses hukum saja.

Fahmi juga bersaksi dalam perkara Sudarso dan Andi. Perannya, mengurus segala macam administrasi permohonan perpanjangan HGU, komunikasi ke sejumlah pejabat di instansi pertanahan kabupaten dan provinsi, termasuk bagi-bagi amplop berisi uang pada pejabat usai rapat ekspos Panitia B bahas kelengkapan dokumen mereka.

 

Sumber: Senarai

 

Tertutup

Ahmad Surambo, Direktur Sawit Watch, tak heran kasus korupsi menjerat petinggi Adimulia, pejabat instansi pertanahan hingga kepala daerah. Menurut dia, pendaftaran maupun perpanjangan HGU diduga rawan dan krusial jadi pintu korupsi karena proses tak transparan.

Tahapan-tahapannya,  jadi jalan negoisasi antara perusahaan dengan BPN karena pemerintah menganggap HGU wilayah privat dan rahasia. Hanya kedua pihak (BPN dan perusahaan) yang tahu.

Lain hal bila ada pelibatan publik. Selama ini, katanya, masyarakat hanya tahu setelah HGU terbit atau pada waktu masa berlaku konsesi itu akan berakhir. Itu pun, kata Surambo,  hanya informasi mengenai nomor surat keputusan dan sertifikat, tak termasuk batas-batas maupun peta HGU.

Seharusnya, risalah Pantia B diumumkan. Dari catatan itu teridentifikasi hak-hak masyarakat yang bersinggungan atau tumpang tindih. Hal ini, katanya, menyangkut pembebasan lahan atau ganti rugi yang jadi tanggungjawab perusahaan pemegang izin.

“Kalau mau perbaikan (tata kelola BPN bebas korupsi) harus dibuat publik domain. Publik bisa mengawasi. Konflik lahan pun bisa dihindari sedini mungkin. Peluang korupsi juga makin kecil.”

Jangan sampai, kata Surambo,  masyarakat tahu di ujung seperti sekarang. “Tiba-tiba terbit sertifikat. Penerbitan HGU kewenangaan negara. Karena itu rakyat mesti tahu karena bagian dari negara.”

Tahapan pelibatan publik, katanya,  dapat mulai dari pengumuman akan ada perkebunan. Sejak izin lokasi keluar, izin usaha perkebunan sampai penerbitan HGU. Bahkan, katanya,  lebih jauh lagi, harusnya pada saat penyusunan tata ruang.

Dari sinilah masyarakat akan mengetahui fungsi atau peruntukan tiap-tiap ruang yang ditetapkan pemerintah.

Surambo tak sepenuhnya yakin dengan pelibatan kepala desa dalam rapat ekspos Panitia B yang diselenggarakan Kanwil BPN, saat pembahasan permohonan pendaftaran maupun perpanjangan HGU. Proses itu belum cukup. Kepala desa, katanya,  terkadang tidak meneruskan informasi atau kesimpulan rapat ke masyarakat. Pada banyak kasus, terjadi konflik ketika terbit HGU.

Soal kewajiban perusahaan bangun kebun plasma, Marselinus Andri,  Kepala Departemen Advokasi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) bilang, hal itu seharusnya ada sejak perusahaan mengajukan permohonan. Ia dibuktikan dengan peta lokasi lahan yang hendak dibangun.

Kemudian, panitia pemeriksaan tanah mengecek berkas dan verifikasi lapangan. Jadi, sebelum menambah jangka waktu kepemilikan HGU, BPN benar-benar memastikan perusahaan sudah memiliki plasma.

Menurut Andri, ketiadaan kebun plasma di sekitar HGU perusahaan bisa menimbulkan berbagai dampak. Antara lain, masyarakat kehilangan lahan, mata pencarian dan kerugian ekonomi selama perusahaan beroperasi. Bila perusahaan kesulitan karena tak ada alokasi lahan yang hendak dibangun kebun masyarakat, mestinya pada masa perpanjangan HGU ini dengan sukarela mengurangi sebagian kebun inti mereka.

“BPN pun mestinya mempertimbangkan kondisi itu atau tidak melanjutkan sama sekali pemberian HGU. Ketimbang melahirkan konflik. Di sini pula peran kepala daerah memastikan hak-hak masyarakat dari kewajiban perusahaan.”

 

Sumber: Senarai

 

Salahi aturan

Menyoal rekomendasi Andi, perusahaan tak perlu memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari luas HGU, Surambo bilang, keputusan itu tergolong perbuatan melawan hukum. Kewajiban itu, katanya,  sudah tertuang dalam Permen ATR/Kepala BPN 18/2021.

Jauh sebelumnya, juga diatur dalam UU 39/2014 tentang perkebunan dan Permentan 98/2013 mengenai perizinan usaha perkebunan.

Andai perusahaan kesulitan mencari lahan—alasan ini dipakai Sudarso ketika Adimulia Agrolestari enggan membangun kebun plasma buat masyarakat sekitar areal HGU–, kata Surambo, perusahaan bisa membangun bisnis dengan melibatkan masyarakat senilai biaya bangun kebun plasma paling sedikit 20%.

“Yang saya khawatirkan, membangun lahan masyarakat nilainya lebih kecil dibandingkan nyetor ke bupati. Dia pilih bayar saja. Enggak panjang prosesnya. Negoisasi cukup dengan bupati saja.”

Senada dikatakan Marselinus Andri, Kepala Departemen Advokasi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Kewajiban perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat, katanya, sudah harus ada sejak perusahaan mengajukan permohonan.

Hal itu,  dibuktikan dengan peta lokasi lahan yang hendak dibangun. Kemudian, panitia pemeriksaan tanah mengecek berkas itu dan verifikasi lapangan. Jadi, sebelum menambah jangka waktu kepemilikan HGU, BPN benar-benar memastikan perusahaan sudah memiliki plasma.

Andri juga mengkritik Syahrir yang buat rekomendasi Bupati Kuantan Singingi agar setuju tak ada kebun plasma. Seharusnya, kata Andri, bupati menetapkan calon petani calon lahan (CPCPL) yang akan menerima kemitraan perkebunan dari perusahaan. Bukan turut menyalahi aturan BPN mengenai pemberian maupun perpanjangan HGU, kaitan kebun plasma karena tak ada pengecualian.

“Saya kira itu pelanggaran yang jelas oleh BPN.”

Masyarakat bisa mengadukan keberatan perihal perpanjangan HGU, katanya, karena secara faktual perusahaan belum membangun minimal 20% kebun plasma. “Keberatan inilah yang jadi pertimbangan bagi BPN untuk tidak memberikan perpanjangan hak. Bukan meminta rekomendasi untuk membenarkan pelanggaran itu,” kata Andri.

Dia bilang, ketiadaan kebun plasma di sekitar HGU perusahaan bisa menimbulkan berbagai dampak, seperti masyarakat kehilangan lahan, mata pencarian dan kerugian ekonomi selama perusahaan beroperasi. Bila perusahaan kesulitan karena tak ada alokasi lahan yang hendak dibangun kebun masyarakat, kata Andri, mestinya pada masa perpanjangan HGU ini dengan sukarela mengurangi sebagian kebun inti mereka.

“BPN pun mestinya mempertimbangkan kondisi itu atau tidak melanjutkan sama sekali pemberian HGU. Ketimbang melahirkan konflik. Di sini pula peran kepala daerah memastikan hak-hak masyarakat dari kewajiban perusahaan.”

 

Perkebunan sawit ciptakan berbagai persoalan dari merusak hutan, sampai karut marut pengalokasian kebun sawit plasma oleh perusahaan dan lainp-lain. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version