Mongabay.co.id

Bangun Gerakan Peduli Lingkungan Lewat Agama, Seperti Apa?

 

 

 

Sefnat Sailana, pendeta Protestan dari Kabupaten Alor, Nusa Tengara Timur (NTT) melakukan gerakan-gerakan penyelamatan lingkungan dari balik gereja.

Saat dia menjadi Ketua Klasis GMIT, wadah buat persekutuan gereja-gereja, membuat program hutan gereja. Setiap gereja dalam klasisnya yang berjumlah 30 gereja punya lahan milik yang difungsikan sebagai tempat pembibitan pohon sekaligus ditanami pohon-pohon yang punya nilai ekonomis. Ukurannya bervariasi, mulai dari 200 meter sampai satu hektar.

Dia dengan jamaatnya menanam pohon di bahu-bahu jalan, di lahan-lahan kritis, atau di daerah sumber mata air untuk menjaga sumber mata air itu terus terjaga.

Sefnat juga mengidentifikasi berbagai sumber mata air di Alor. Mereka jaga dan mereka rawat mata air itu untuk kepentingan bersama.

Menurut dia, tanggung jawab menjaga lingkungan adalah tanggung jawab Bersama termasuk umat Kristen. Dari mimbar ke mimbar dia selalu menyerukan hal itu sembari beraksi.

“Ketika ibadah, kita melakukan aksi nyata … misal, saat Hari Air, setelah kami ibadah, itu nanti dilakukan penanaman (pohon) sekitar mata air,” katanya ketika hadir dalam lokakarya tentang Faith Inspired Changemaking Initiative Indonesia (FICI) tahun lalu yang diadakan Eco Bhinneka Muhammadiyah bekerja sama dengan Ashoka.

Bila ada hari perayaan, hajatan, ulang tahun, dan hari-hari penting lain, diberi hadiah pohon oleh gereja. “Misal, orang menikah, kita kasih anakan (bibit) untuk dia menanam,” kata Sefnat.

Bumi, katanya, adalah rumah bersama bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Bila tidak menjaga bumi apalagi merusak, katanya, maka tidak melakukan tanggung jawab kepada bumi yang Tuhan berikan.

Menurut pendeta peraih penghargaan Kalpataru pada 2009  itu, lebih baik tabung air daripada buang air. “Jangan sampai wariskan air mata tetapi wariskan mata air kepada anak cucu.”

 

Sefnat Sailana (tengah), pendeta Protestan dari Kabupaten Alor, Nusa Tengara Timur (NTT) bersama Nani Zulminarni, Direktur Regional Ashoka Asia Tenggara,. Foto: Dokumentasi FICI

 

Perlu gerakan bersama

Apa yang dilakukan Sefnat, satu contoh bahwa melalui agama maupun keyakinan bisa menjadi sarana untuk cinta dan aksi penyelamatan lingkungan hidup.

Hening Purwati Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, bilang, sekitar 90% penduduk Indonesia mengaku beragama dan hampir 70% penduduk dunia juga mengaku beragama.

“Tapi selama ini mereka tidak menggunakan religious actor ini benar-benar untuk mengatasi perubahan iklim. Padahal mereka itu power full,” katanya.

Bagi Hening, nilai-nilai dalam agama harus bisa membawa daya juang masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi.

Berbagai agama, katanya, menyebutkam, mereka mencintai bumi.

Dalam Islam, kata Hening,  disebutkan manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi.  Manusia adalah kepanjangan tangan Tuhan untuk melakukan gerakan menjaga bumi. Hanya, menjadi kontras ketika mau mengeksploitasi bumi mulai dengan bismillah.

“Bagaimana mungkin seseorang akan melakukan eksplotasi bumi dengan mengeruk, kemudian mulai dengan kata kasih sayang kepada Tuhan!”

Nani Zulminarni, Direktur Regional Ashoka Asia Tenggara, mengatakan, pertemuan para penganut kepercayaan, tokoh-tokoh agama, untuk membincangkan sesuatu yang bisa menyatukan semua orang tanpa harus melihat agama orang lain terkait hal-hal yang sama-sama dirasakan.

Pemanasan global, kerusakan alam, jadi masalah serius. Yang paling bertanggung jawab atas semua kerusakan ini, katanya,  adalah korporasi dan pemerintah. Namun, semua orang dapat dampaknya, hingga umat beragama juga perlu mengambil peran.

“Kalau misal orang-orang yang mengaku beragama ini cepat aktif berpartisipasi dalam melindungi lingkungan dengan landasan keyakinan bahwa keberadaan mereka di dunia ini untuk memastikan keberlangsungan kehidupan, maka kita bisa membangun satu gerakan melindungi alam ini secara lebih masif, lebih berkelanjutan dan bermakna,” kata Nani.

Wahyu Dani Munggoro, seorang ideas creator dari Jakarta juga Direktur Inspirasi Tanpa Batas (Inspirit) menceritakan,  tentang magic eyes di Thailand. Di Thailand,  terdapat kepercayaan kalau seluruh gerak-gerik manusia dilihat dan diawasi oleh magic eyes ini.

Di satu sisi, Kota Bangkok kotor. Pemerintah melakukan kampanye besar-besaran bahwa apabila seseorang tak bersih, tidak peduli lingkungan, buang sampah sembarang, orang diawasi si magic eyes ini. Alhasil, dalam waktu dua tahun, Kota Bangkok jadi bersih.

 

Sejumlah lanskap adat yang dilindungi masyarakat dengan kearifan lokal menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya tumbuhan obat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kampanye itu dinilai sebagai sebuah kampanye yang sukses dalam mengubah perilaku. Menurut Dani, isu gerakan lingkungan hidup adalah perihal perubahan perilaku.

“Gerakan lingkungan itu adalah tentang perubahan perilaku, kayak buang sampah. Itu seolah-olah sederhana. Itu kompleks sebenarnya,” katanya.

Kebanyakan orang punya kepercayaan lebih terhadap narasi-narasi agama daripada narasi-narasi yang “tidak mengandung” unsur agama.

Bila perubahan perilaku lebih peduli terhadap lingkungan ini berdasarkan keyakinan, maka perilaku lebih permanen.

“Isu lingkungan ini soal bagaimana kita punya keyakinan baru bahwa sekecil apapun kita lakukan ke bumi ini, itu punya pengaruh signifikan pada masa depan kehidupan kita.”

Dia nilai, kegiatan penyelamatan lingkungan dalam agama masih “sekadar proyek” bukan mengaitkan dengan keyakinan mereka.

Sebaliknya, kalau menilik kepercayaan-kepercayaan lokal mengandung nilai ramah lingkungan, terutama kepercayaan yang berkembang di daerah agraris. Mereka dekat dan hidup bergantung alam. Bila terjadi sesuatu terhadap alam, mereka akan merasakan dampak langsung.

“Hanya, situasi ini semua dirusak sama mesin pembangunan, kapitalisme, dan macam-macam, ya. Mengganggu semua, karena hubungan-hubungan itu (alam) menjadi rusak.”

Dani kasih contoh era kolonial ada belandong di Jawa. Keluarga belandong adalah keluarga yang boleh menebang pohon. Selain keluarga belandong tak boleh termasuk kolonial juga tak boleh menebang pohon atau mereka akan diburu massa.

“Itu tindakan tidak boleh karena si hutan itu suci, yang boleh hanya belandong.”

Kolonial Belanda melakukan siasat, mereka sering menukar belandong di suatu desa dengan desa lain, hingga akhirnya orang-orang berpikiran bahwa siapapun boleh menebang pohon karena orang yang menabang pohon selalu berubah.

Dia bilang, dalam mencari nilai-nilai, atau spirit dalam agama atau kepercayaan, harus punya pesan kuat dan alat bantu yang menunjang.

“Apa yang tabu dalam kepercayaan atau agama dibicarakan dengan terbuka hingga bisa menjadi keyakinan umum. Keyakinan harus ditafsirkan kepada pekerjaan nyata”.

 

Hutan di Sui Utik, yang dijaga dengan kearifan lokal. Foto: Rhett Butler

*******

 

Exit mobile version