Mongabay.co.id

Kebijakan Iklim Indonesia Dinilai Masih Rendah, Apa Masukan Mereka?

 

 

 

Kebijakan dan komitmen iklim Indonesia belum sejalan atau tak konsisten dengan Perjanjian Paris, yang ingin menjaga batas suhu 1,5°C,  bahkan rawan  menyebabkan peningkatan, bukan penurunan emisi. Hal ini terlihat dari laporan penilaian Climate Action Tracker (CAT) pada 2022, menyebutkan, target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient).

Pada September tahun lalu, Indonesia sudah meningkatkan komitmen nationally determined contributions  (NDC) tetapi tetap dinilai belum ambisius. Target NDC baru Indonesia dari 29% naik ke 31,89%, dengan dukungan internasional dari 41% ke 43,20%.

Anindita Hapsari, dari Climate Action Tracker mengatakan, Indonesia perlu menaikkan target NDC bersyarat jadi 75% dan tanpa syarat jadi 62% di bawah skenario BAU.

Selain itu, CAT juga menilai kebijakan dan tindakan Indonesia juga tak cukup dibandingkan dengan kontribusi mereka yang adil. Peringkat “tidak cukup” menunjukkan kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada 2030 memerlukan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C.

 

Kalau semua negara mengikuti pendekatan Indonesia, pemanasan global akan lebih 2°C hingga 3°C. Kekhawatiran besar, katanya, ketergantungan bahan bakar fosil, terutama batubara.  Untuk itu, Indonesia, perlu menetapkan target dan kebijakan NDC lebih ambisius.

Serupa dikatakan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Seharusnya,  Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius, terutama setelah rilis Peraturan Presiden (Perpres) No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Indonesia, katanya, masih ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan hanya bermain di zona aman.

Dia bilang, target penurunan emisi dalam enhanced NDC, mudah dicapai karena referensi proyeksi peningkatan emisi dari bisnis yang berjalan seperti biasa (business as usua/BAU)  pada 2030. Seharusnya, target penurunan emisi berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu.

“Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan emisi dari sektor energi 2010,” katanya dalam peluncuran penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia Desember lalu.

Untuk mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia harus mencapai penurunan emisi land use, land-use change and forestry (LULUCF) yang substansial untuk sektor hutan dan lahan. Target bersyarat dan tidak bersyarat Indonesia sangat bergantung pada sektor kehutanan, sebagai penyumbang sekitar 60% dari emisi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan rencana operasional untuk mencapai emisi negatif bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada 2030. Dengan fokus, katanya,  pencegahan deforestasi, konservasi hutan alam, pengelolaan hutan lestari, dan meningkatkan penyerapan karbon dari lahan gambut dan bakau. Dia yakin, Indonesia bisa melakukan mitigasi lebih ambisius.

Untuk sektor energi, katanya, Indonesia punya potensi energi terbarukan melimpah, bahkan lebih 7 TW yang dapat memanfaatkan jadi sumber energi minim emisi.

 

 

Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021–2030, energi terbarukan 52% dari kapasitas yang direncanakan antara 2021-2030.

Kalau dibandingkan RUPTL sebelumnya, perkiraan pembangkit dari energi terbarukan berkurang 22 TWh, sejalan dengan penurunan keseluruhan permintaan listrik pada 2030. Dalam rencana itu, tenaga air dan panas bumi juga dikurangi masing-masing 17 TWh dan 14 TWh, sementara energi terbarukan lain terutama matahari dan angin naik hampir 9 TWh pada 2030.

Padahal, berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), Indonesia memiliki potensi besar untuk tenaga air (94 GW), tenaga angin (61 GW), bioenergi (33 GW), panas bumi (29 GW), dan tenaga ombak (18 GW). ESDM memperkirakan potensi surya Indonesia sebesar 208 GW, sementara IESR memperkirakan potensi teknis surya hampir tiga kali lebih besar.

Sayangnya, kata Fabby, kebijakan iklim Indonesia gagal menempatkan negara ini pada jalur pembangunan yang memanfaatkan potensi energi terbarukan besar. Sampai 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih rendah atau sekitar 11,5% dari dari bauran energi primer Indonesia dan 13,5% dari bauran listrik.

 

PPLH Puntondo memiliki fasilitas energi terbarukan berupa solar panel dan energi bayu (kincir angin) dengan total kapasitas 1.680 watt. Fasilitas ini juga tujuannya untuk edukasi dan digunakan sebagai energi cadangan untuk restoran. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia,  perlu membuat kemajuan substansial di sektor ini untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025Dengan beberapa perkembangan, seperti dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan. Dengan harapan, bisa capai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan 40% pada 2030.

Senada dengan Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, dari IESR. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), mereka menyimpulkan pada 2050, pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia layak secara teknis dan ekonomis.

Data Global Energy Monitor Juli 2022, Indonesia memiliki 40 GW pembangkit listrik tenaga batubara beroperasi, 26 GW dalam rencana, 15 GW sedang dibangun, dua GW diumumkan, dua GW dapat izin, dan tujuh GW pra-izin.

 

Hutan nan rapat di Pulau Bangka yang terkotak-kotak oleh perkebunan sawit skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik RUPTL 2021-2030, batubara mencapai 64% dari campuran pembangkit listrik pada 2030 dari 61% pada tahun 2021.

Rencana ini, katanya,  tidak sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris. Dominasi PLTU batubara, perlu dikurangi signifikan hanya tinggal 10% pada 2030. PLTU batubara, katanya, juga harus  tidak gunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plant) pada 2030 dan operasi berakhir bertahap hingga berhenti pada 2040.

Sebenarnya, dalam proses paralel, Indonesia saat ini menjajaki percepatan penghapusan batubara melalui mekanisme transisi energi (ETM) Bank Pembangunan Asia, dan perjanjian kerja sama bilateral.

Indonesia juga sudah menyepakati skema energy transition mechanism, dan just energy transition partnerships (JETP) untuk kemitraan transisi energi yang adil.

Selain itu, Indonesia sudah menandatangani deklarasi global coal to clean power transition di COP26 dan mengindikasikan, negara ini terbuka menghapus batubara bertahap pada 2040-an. Kemudian, meningkatkan ambisi nol bersih, tergantung pada dukungan internasional.

Delima bilang, penghapusan batubara sebelum 2045 akan membawa manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi signifikan. CAT memperkirakan, dengan menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara usia lebih 20 tahun dan mengevaluasi kembali pipa saluran mereka, Indonesia dapat menghindari lebih 45.000 kematian dini dalam dekade berikutnya.

 

Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Fabby bilang, dekarbonisasi sektor energi setidaknya membutuhkan investasi US$135 miliar pada 2030. Jadi, komitmen pendanaan US$20 miliar belum cukup untuk mencapai itu. Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar hingga bisa mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan proyek.

“Langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi secara transparan dan mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak.”

 

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.

******

 

Exit mobile version