Mongabay.co.id

Vonis Bebas Warga Tungko Ni Solu setelah Terjerat Hukum karena Pertahankan Lahan Adat

 

 

 

 

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di nusantara masih jauh dari harapan. Masih banyak warga adat harus menghadapi jerat hukum hanya karena berusaha mempertahankan wilayah adat yang merupakan ruang hidup mereka. Salah satu dialami Dirman Rajagukguk, Masyarakat Adat Tungko Ni Solu. Pada Oktober 2022,  dia kena vonis tiga tahun, denda Rp1 miliar, subsider tiga bulan penjara di PN Balige atas tuduhan menguasai lahan negara secara tak sah.  Upaya banding buahkan hasil, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara,  Medan, memutus bebas Dirman Rajagukguk pada 13 Desember lalu.

“Mengadili, memutuskan terdakwa atas nama Dirman Rajagukguk tidak terbukti bersalah seperti dakwaan jaksa penuntut umum. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan memerintahkan segera dilepaskan dari tahanan,” kata Samsul Bahri,  Ketua Majelis Hakim memegang 13 Desember lalu.

Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Tana Batak mengapresiasi dan menghormati putusan majelis hakim atas vonis bebas ini.

Dia bilang, upaya-upaya kriminalisasi masyarakat adat sering digunakan perusahaan untuk membungkam perjuangan warga. Warga adat di Desa Parsoburan,  Kecamatan Habinsaran,  Kebupaten Toba,  Sumatera Utara ini berkonflik dengan perusahaan perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari.

 

Dirman Rajagukguk, dari Masyarakat Adat Tungko Ni Solu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Isak tangis pecah di gedung Pengadilan Negeri Balige, pada 6 Oktober lalu. Hari itu ratusan Masyarakat Adat Tungko Ni solu, berkumpul mendengarkan pembacaan vonis majelis hakim menangani perkara Dirman Rajaguguk seorang,  warga Tungko Ni Solu yang dituduh menguasai lahan secara tidak sah atau menggarap lahan negara di desa mereka. Dirman kena vonis hukum tiga tahun, denda Rp1 miliar, subsider tiga bulan kurungan.

Dirman tegar. Dia tengahdahkan wajah sambil memperhatikan majelis hakim dan jaksa penuntut umum di ruang sidang itu. Dengan lantang pria ini menyatakan,  akan terus mencari keadilan melalui proses hukum selanjutnya yaitu banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

Dari TPL melaporkan dan menuding Dirman menggarap lahan di konsesi mereka yang sudah ada izin pemerintah. Namun, masyarakat adat sudah menguasai lahan peninggalan leluhur mereka ini sebelum Indonesia ada.

Dirman kelola lahan seluas 2.000 meter persegi untuk tanam kopi dan jagung. Begitu juga dengan masyarakat adat yang lain.  Di kampung itu ada 157 orang melakukan hal sama.

Dia memang dikenal cukup vokal menolak kehadiran TPL di desa mereka yang menguasai lahan-lahan pertanian yang jadi penopang hidup selain dari peternakan.


Sebelumnya, Dirman memaparkan,  struktur keturunan dan asal muasal kampung mereka. Marga Rajaguguk,  pertama sekali membuka lahan perkampungan dan pertanian di Tungko Ni Solu, era Pemerintahan Belanda seluas 770 hektar.  Itu dimulai oleh Guru Hasian Rajaguguk, generasi ketujuh dari keturunan Tuan Gukguk yang menurunkan Marga Rajagukguk.

Dirman sendiri generasi kesembilan terhitung dari Guru Hasian Rajagukguk. Urutannya, Guru Hasian Rajagukguk, Ompu Toga,  Hasian,  Raja Parmaksi,  Guru Marihot , Ompu Lontung,  Ompu Sorta,  Ompu Maringat ke Dirman Rajagukguk.

“Kami sudah ada dan menguasai tanah leluhur Tungko Ni Solu sebelum republik ini ada termasuk sebelum perusahaan Toba Pulp memporak-porandakan wilayah adat dan merampas tanah adat kami, ” kata Dirman belum lama ini.

Roganda bilang, kalau mencermati tempat dan tanggal lahir Dirman Rajagukguk, di Tungko Ni Solu, 23 September 1963, maka saat terbit Keputusan Menteri Kehutanan 1 Juni 1992 tentang izin HTI PT Inti Indorayon Utama—sekarang TPL–, Dirman sudah berumur 29 tahun.

Jadi, katanya, Dirman 29 tahun lebih dulu di Kampung Tungko Ni Solu.

Setelah pemerintah beri izin kepada perusahaan, pepohonan di kampung warga pun mulai ditebangi.   “Begitu pepohonan termasuk pinus di Kampung Tungko Ni Solu habis ditebang dan diangkut ke pabrik di Sosor Ladang, Desa Pangombusan, Parmaksian, lahan bekas penebangan langsung ditanami bibit eucalyptus oleh Indorayon Inti Indorayon Utama,” kata Roganda.

Berdasarkan dokumen yang mereka peroleh pada 19 Maret 1999, pemerintah pusat menghentikan operasional Indorayon. Setelah 15 November 2000, perusahaan ini berganti nama menjadi Toba Pulp Lestari (TPL).

Pada 11 Mei 2001, pemerintah pusat izinkan lagi perusahaan beroperasi dengan produk pulp tanpa rayon. Tanaman di lahan warga ditebangi. Penanaman pohon eukaliptus sekitar 2002.  Sekitar 2003, sebagian lahan kosong ditanami kopi, jagung dan lain-lain oleh sekitar 135 warga Kampung Tungko Ni Solu.

Protes Dirman dan warga sejak lama. Warga juga alami teror. Pada 2008, tanaman mereka dirusak. Kemudian rumah dan tanaman padi Dirman terbakar.

“Pada suatu sore Juni 2016, rumah tinggal dan tanaman padi darat milik Dirman dibakar oleh orang tidak dikenal,” kata Roganda.

Keberapa minggu setelah kebakaran itu, Dirman dilaporkan TPL ke Polres Toba atas tudingan menebang pohon dan membakar hutan negara.

 

Protes Masyarakat Adat Tanah Batak karena lahan mereka masuk dalam konsesi perusahaan PT TPL. Pemerintah beri izin tanpa melihat, kalau di area itu merupakan ruang hidup masyarakat adat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Di pengadilan Dirman dinyatakan bersalah dan dapat vonis hukum 10 bulan tuduhan curi dan tebang kayu, lalu empat bulan untuk tudingan bakar hutan. Padahal, Dirman tidak pernah curi atau membakar hutan negara. Dia hanya membersihkan semak-semak atau ilalang di lahan pertanian, yang kemudian dikumpulkan di satu titik seluas 3×3 meter persegi. Setelah kering lalu dia bakar.

Roganda bilang, proses hukum sampai vonis Pengadilan Balige terhadap Dirman merupakan kriminalisasi. “Upaya membungkam Dirman dan Masyarakat Adat Tungko Ni Solu, dalam mempertahankan tanah adat  Marga Rajagukguk. Dia dipenjarakan atas perbuatan yang tidak dilakukan sama sekali.”

Untuk memperjuangkan keadilan bagi Dirman, bersama hampir 100 organisasi masyarakat sipil dan individu di Indonesia menyurati majelis hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

Mereka meminta memberikan putusan yang seadil-adilnya terhadap masyarakat adat di Tano Batak ini. Dalam suratnya mereka juga meminta majelis hakim membebaskan Dirman dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Mereka mendesak juga agar Dirman segera lepas dari tahanan.

Pada pertengahan Desember lalu, majelis hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara putus bebas Dirman.

“Komnas HAM mengapresiasi putusan hakim Pengadilan Tinggi Sumut yang telah membebaskan Dirman Rajagukguk dari segala tuntutan hukum …” tulis Komnas HAM dalam rilis mereka.

Komnas HAM pun mengingatkan, TPL agar tak mengkriminalisasi, kekerasan atau tindakan tidak sesuai nilai dan prinsip HAM kepada masyarakat.

 

Aksi masyarakat adat mendesak pembebasan Dirman Rajagukguk dari jerat hukum. Dirman, Ketua Adat Tungko Nisolu, Desa Parsoburan Barat, Toba,didakwa melakukan perusakan hutan sebenarnya merupakan hutan adat mereka sendiri dikuasai PT. TPL. Foto: Ayat S Karokro/Mongabay Indonesia

*******

 

 

Exit mobile version