Mongabay.co.id

Kala Sungai di Lombok Tercemar Mikroplastik, Limbah Medis pun Ditemukan di Perairan Ambon [1]

 

 

 

 

 

Empat orang duduk melingkar di tumpukan sampah plastik di tepi sungai di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 4 Januari 2023. Satu persatu mereka memilah sampah, menggabungkan berdasarkan nama perusahaan. Arun, membacakan merek dan perusahaan. Neldania, relawan dari Walhi NTB  membantu mencatat setiap lembar sampah plastik itu. Prigi Arisandi dan Amiruddin Muttaqin,  dua peneliti dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mendokumentasikan proses itu. Satu persatu merek sebutkan perusahaan yang memproduksi, lalu dicatat.

“Ini dia barang istimewa,’’ kata Arun mengangkat popok. Jumlah bukan satu, tetapi banyak. Bertebaran di beberapa titik. Relawan dari Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) itu tak merasa jijik. Dia membongkar lagi tumpukan sampah dan menemukan cukup banyak popok.

Belum selesai menghitung tiap bungkusan plastik, seorang perempuan paruh baya melintas di belakang mereka. Berdiri dengan jarak 10 meter, perempuan itu kemudian membuang bungkusan plastik persis di tengah aliran sungai mengalir. Tim yang sedang mengumpulkan sampah melongo.

Saat tim ESN sedang melakukan brand audit sampah plastik, di saat sama warga datang membuang sampah ke sungai, bukan hanya satu orang. Prigi menggelengkan kepala.

Hari itu tim memeriksa sampel air di bagian tengah Sungai Meninting, satu sungai besar di Lombok Barat. Sungai ini masuk sungai strategis nasional. Di bagian hulu Meninting, saat ini dibangun Bendungan Meninting. Proses pembangunan sudah berjalan sejak tahun lalu.

Atas laporan warga juga tim datang ke Desa Gegerung, sejak pembangunan bendungan, air sungai selalu keruh. Musim hujan maupun musim kemarau. Masyarakat mengeluh karena sebagian besar untuk air bersih mengandalkan sungai itu. Hanya untuk masak dan minum pakai sumur.

Rahmawati Noviana, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Mataram bertugas memeriksa kondisi fisik sungai. Memeriksa suhu, PH, oksigen terlarut, fosfat, mangan, dan kromium. Dari hasil pemeriksaan itu, kadar kromium sudah diambang batas.

Di saat sama, tim dari Walhi NTB mengambil sampel air. Mereka mengambil 50 liter sampel air yang disaring menggunakan plankton net. Air diambil pakai ember besi, dituang ke dalam wadah berbentuk gelas besi yang sudah dipasang saringan plankton net. Karena sangat tipis, bahan padat mengendap di plankton net itu. Endapan itulah yang selanjutnya diamati di bawah microscope.

Dengan alat itu, terlihat zat organik maupun mikroplastik. Tim ESN sudah hampir setahun keliling Indonesia, memeriksa kesehatan sungai-sungai besar, mikroplastik adalah salah satu indikator yang mereka periksa.

“Di Lombok,  kami ambil sampel sungai di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Kota Mataram,’’ kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.

 

Pengambilan sampel air Sungai Meninting untuk pemeriksaan kandungan mikroplastik . Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

 

Tercemar mikroplastik

Tim ESN memeriksa kesehatan sungai di Lombok sejak 30 Desember 2022. Kegiatan mulai dari Sungai Belimbing, yang bermuara di Pantai Labuhan Haji. Tim memeriksa di tiga lokasi, di bagian yang mendekati hulu, bagian tengah, dan bagian hilir dekat muara.

Tim bekerjasama dengan Gema Alam, LSM yang bergerak pada advokasi lingkungan dan Oasistala, organisasi pecinta alam di Lombok Timur. Saat mengambil sampel air di bagian muara, tim ESN kaget melihat tumpukan sampah. Muara sungai lebih mirip tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sampah yang dibuang sengaja maupun tidak sepanjang jalur sungai terkumpul di muara di Labuhan Haji.

Dari hasil analisa, kandungan mikroplastik di Sungai Blimbing mencapai 260/100 liter. Rinciannya,  190 berbentuk fiber, 55 filamen, 15 fragmen, dan tidak ditemukan berbentuk granula. Melihat angka ini, Prigi bilang, sumber pencemaran banyak dari rumah tangga. Fiber, misal, berupa serat yang banyak terdapat di pakaian.

Aktivitas mencuci pakaian, katanya, tanpa pengolahan limbah yang bagus, serat-serat rontok dari pakaian akan masuk ke sungai. Tim juga melakukan brand audit di muara sungai Belimbing.

Ada lima produsen penyumbang sampah terbanyak di Sungai Belimbing, yaitu Wings, Marimas Putra, Ajinomoto, Indofood, dan Unilever.

“Seharusnya perempuan menjadi ujung tombak pengelolaan sampah di Lombok Timur, perlu upaya edukasi. Libatkan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sampah, perempuan memiliki peran penting dalam pengendalian sampah plastik karena banyak berjibaku dengan sampah domestik,” kata Haiziah Gazali, Direktur Gema Alam.

Perjalanan tim selanjutnya ke Sungai Tabelo Kuta, bermuara di Kuta yang merupaka desa utama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Dari hasil pemeriksaan kandungan mikroplastik, tim menemukan kandungan 150/100 liter. Dengan rincian 90 fiber, 34 filamen, 26 fragmen, dan tidak ada berbentuk granula.

Di Kota Mataram, tim memeriksa kesehatan Sungai Jangkuk, sungai terbesar di Kota Mataram. Sungai ini melintasi Lombok Barat dan Kota Mataram.

Pemeriksaan di bagian tengah dan hilir. Dari hasil pemeriksaan di bagian tengah, di Udayana, tak jauh dari gedung DPRD NTB, kandungan mikroplastiknya 235/100 liter. Di bagian hilir di Ampenan 276/100 liter.

“Makin ke hilir makin tinggi kandungan karena akumulasi dari seluruh sampah dari hulu,’’ kata Prigi.

Tim ESN juga memeriksa kandungan mikroplastik di sungai kecil yang melintas di permukiman padat. Tim memeriksa sampel air di Sungai Ning. Dari hasil pemeriksaan, kandungan mikroplastik mencapai 411/100 liter. Tim ESN tidak kaget dengan tingginya angka itu. Sepanjang menelusuri sungai itu, tim melihat tumpukan sampah plastik dan petugas yang sibuk mengurai tumpukan itu agar hanyut.

“Tidak bisa setiap hari seperti ini terus, harus ada upaya untuk mencegah,’’ kata Prigi mengomentari petugas dari Dinas PUPR Kota Mataram yang setiap hari mengangkut sampah dari Sungai Ning.

Pemeriksaan terakhir di Sungai Meninting, Lombok Barat, kandungan mikroplastik 272/100 liter. Dengan rincian fiber 70, filament 130, fragmen 61, granula 0.

Dari hasil pemeriksaan seluruh sungai di Lombok selama ekspedisi, rata-rata kandungan mikroplastik 262/100 liter. Prigi mewanti-wanti, jika dibandingkan dengan penduduk di Jawa dengan Lombok, angka 252/100 liter itu terbilang cukup tinggi. Pulau Lombok sangat kecil, penduduk cukup padat, tetapi tidak bagus dalam pengelolaan sampah.

 

Warga menjadikan Sungai Meninting sebagai Tempat Pembuangan Sampah (TPS) karena tidak ada sistem pengelolaan sampah di Desa Gegerung, Lombok Barat. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

 

Untuk brand audit penyumbang sampah plastik di sungai-sungai di Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Tengah, tim menemukan Wings, Unilever, Nabati, Mayora, P&G, Santos Jaya, Unicharm dan Forisa. Tim juga menemukan satu merek lokal “Narmada” produksi PT Narmada Awet Muda, perusahaan air kemasan ini berproduksi di Lombok Barat.

“Ya banyak merek (Narmada) ini kami temukan,’’ kata Prigi.

Tim ESN juga mewawancarai masyarakat di sepanjang aliran sungai. Dari beberapa lokasi tempat tim menemukan sungai sebagai TPS, di lokasi itu tidak ada sistem pengelolaan sampah. Tidak ada kendaraan yang mengangkut sampah dari rumah warga ke TPS maupun TPA, tidak ada petugas kebersihan, dan tak ada fasilitas pengolahan sampah. Warga membuang sampah di lahan kosong dan paling sering ke sungai.

“Pemerintah harus memperluas jangkauan pelayanan pengelolaan sampah,’’ kata Prigi.

Amri Nuryadin, Direktur Eksekutif Walhi NTB  bilang, kampanye zero waste cukup masif dilakukan pemerintahtetapi sebatas kampanye di media dan beberapa lokasi. Sepanjang penelusuran tim ESN, sungai masih jadi tempat pembuangan sampah.

“Tidak cukup sekadar kampanye, atau tidak cukup hanya menyalahkan masyarakat belum sadar. Harus ada upaya dari pemerintah untuk mengatasi ini,’’ katanya.

 

hasil penelusuran Ekspedisi Sungai Nusantara di Ambon, Maluku. Foto: Tim ESN

 

Limbah medis masuk ke perairan di Ambon

Tahun lalu, Tim ESN juga penelitian di perairan di Ambon, Maluku. Dari penelusuran tim ekspedisi ESN selama di Ambon hampir semua sungai penuh sampah. Tim ESN menemukan sampah infus di pantai wilayah Tawiri saat brand audit.

Amiruddin Muttaqin, peneliti senior ESN, mengatakan, sampah infus merupakan kategori limbah medis yang harusnya ketat dan tidak boleh buang sembarangan.

“Ini menunjukkan sistem pengelolaan dan pengawasan sampah medis di kota Ambon sangat buruk. Limbah medis yang di buang sembarangan berpotensi mencemari dan berisiko penularan penyakit ” katanya.

Dia berharap,  pemerintah Ambon lebih serius dalam pengelolaan sampah supaya sampah hingga tidak mencemari sungai dan Teluk Ambon.

Ario Tri Yudha, relawan ekspedisi Sungai Ambon mengatakan,  hampir semua pesisir Teluk Ambon penuh sampah sachet dan botol plastik.  Mereka menemukan nama-nama perusahaan besar seperti Unilever, Wings, Indofood, Danone dan Kao.

“Dari hasil brand audit Unilever di peringkat pertama, disusul produk Wings, Indofood dan Danone yang memproduksi Aqua,” katanya.

Selain di sungai dan laut, tim ekspedisi juga menemukan sampah-sampah yang berserakan di tepi jalan umum yang ada di Kota Ambon.

 

Tak serius

Amiruddin bilang, temuan di sepanjang penyusuran sungai-sungai di Indonesia menunjukkan tumpukan sampah tak terkontrol dari sungai menuju ke laut, di Metro Lampung, Pantai Bengkulu, Muara Batang Arau di Padang, Muara Barito, Muara Mahakam, perairan di Ternate, sampai pesisir Sorong dan di Ambon. “Tak ada strategi dan aksi riil pemerintah dalam kendalikan sampah plastik,” katanya.

Hasil penelitian Cory Manulang, peneliti pencemaran laut, Pusat Laut Dalam, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ambon, memperlihatkan sampah plastic masih mendominasi hutan mangrove di Teluk Ambon. Sampah didominasi seperti plastik seperti bekas minuman gelas, dan jenis sampah baru yakni sampah medis berupa masker.

Pada 2021,  Manulang penelitian di enam titik lokasi,  yakni, Tawiri, PLN Poka, Waiheru, Nania, Passo, dan Suli Maluku Tengah. Dari hasil penelitian, PLN Desa Poka cukup memperihatinkan karena sampah plastic memenuhi lokasi hutan mangrove.

 

Sampah di pesisir pantai di Ambon, Maluku. Foto: Tim ESN

 

Ganggu biota laut

Menurut Augy Syahailatua,  Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Biota Laut Teluk Ambon dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pencemaran mematikan pertumbuhan berbagai biota laut dan yang tersisa makin terancam.

Banyak terumbu karang tak bisa berkembang dan akhirnya rusak, karena terhambat tumpukan plastik di dasar laut. Ikan teri, yang menjadi umpan bagi nelayan pemancing cakalang, yang dulu mudah didapat di teluk itu kini makin sulit dan hampir tidak ada.

Teluk Ambon terkenal kaya ikan, terumbu karang indah, dan mangrove. Secara perlahan area seluas 28.292,89 hektare dengan kedalaman 40-200meter itu terancam kehilangan daya tarik akibat tercemar sampah. Kini,  masyarakat tak berani lagi berenang di sekitar pesisir karena takut terserang penyakit. Dahulu sekitar pesisir ini airnya masih bersih.

Tumpukan sampah akan menimbulkan sedimentasi di pesisir. Akibatnya, beberapa permukiman warga di sepanjang garis pantai sejauh 102,7kilometer itu berpotensi terendam air laut saat terjadi pasang.

Daniel Pelasulla, perekayasa (innovator) ahli madya P2LD-LIPI/BRIN Ambon mengatakan,  masalah lain adalah penanganan sampah di sekitar pesisir pantai. Sampah menjadi masalah serius bagi ekosistem di pesisir dan laut Teluk Ambon. Untuk itu, perlu kolaborasi semua pihak, baik pemerintah, swasta, aktivis lingkungan hingga masyarakat untuk bersama-sama terlibat memerangi sampah ini. (Bersambung)

 

 

 

Exit mobile version