Mongabay.co.id

Mangrove Sungai Sayang Hilang, Ketika Sawit Datang

 

 

Ambo Angke melihat langsung kondisi pemakaman di ujung kampung yang dilumat banjir rob. Dia sadar betul alam telah berubah, apa yang dikhawatirkannya sekarang benar-benar terjadi.

Gerimis turun ketika saya menguntit langkah Ambo Angke yang mulai berat. Kami berjalan di tanggul setinggi satu meter menuju pantai.

Lelaki 48 tahun itu ingin menunjukkan, bagaimana hutan mangrove yang dulunya membentengi permukiman warga dari gempuran ombak, dihancurkan untuk perkebunan sawit. Hanya tersisa beberapa batang pohon api-api (Avicennia germinans) yang mulai meranggas. Sebagian telah tumbang dihantam gelombang.

Lima bulan, suara mesin ekskavator menderu. Sekitar 100 hektar hutan mangrove di tepi pantai Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, hancur. Laut dan tempat tinggal warga kini nyaris tanpa sekat.

“Sekarang, mangrove dibabat habis,” katanya, awal November 2022.

Semua berawal ketika Rusdianto bertemu dengan Hariyanto alias Akiang, pemilik PT. Erasakti Wira Forestama (PT. EWF) yang memiliki perkebunan sawit seluas 6.314 hektar, di Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, pada 2015. Pengusaha CPO itu sepakat untuk investasi di Sungai Sayang. Rusdianto yang saat itu menjabat Anggota DPRD Tanjung Jabung Timur, diminta mencari lahan.

“Ada yang mau investasi, ya kita fasilitasi,” ujarnya, ditemui di The Hok, Kota Jambi, 12 November 2022.

Rusdianto mengaku lama mengenal Akiang, sejak dia mulai bisnis kelapa kopra dan pinang. Dia juga pernah menjual tanah 20 hektar di Desa Sungai Jambat -sebelah Desa Sungai Sayang- pada bos PT. EWF itu.

Kata Rusdianto, Kecamatan Sadu butuh investor agar bisa mentas dari label daerah tertinggal. Selain harga tanah murah, satu-satunya yang membuat Sadu dikenal dan menarik bagi investor adalah proyek pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung, yang dimulai akhir November 2014. Tetapi 2019 proyek itu mandek akibat pandemi COVID-19.

“Sudah 23 tahun, tiga kali ganti Bupati -Abdullah Hich, Zumi Zola, dan Romi Hariyanto- Sadu itu masih gitu-gitu saja,” katanya. “Tengok jalan di sana itu kayak apa? hancur!”

 

Nelayan mencari kepiting di sekitar pohon mangrove yang tersisa di tepi pantai Desa Sayang. Foto diambil 30 Oktober 2022. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Tetapi, niat Rusdianto membantu Akiang bukan gratisan.

Lama tinggal di Sungai Jambat, Rusdianto paham lokasi seperti apa yang diinginkan Akiang. Dia kemudian menghubungi Noferiadin yang waktu itu menjabat Kepala Desa Sungai Sayang. Keduanya pun berbagi peran.

Noferiadin diminta mengumpulkan pemilik lahan di Parit Tanjung dan Parit Lapis, termasuk mengurus semua surat kepemilikan lahan. Ambo ingat, waktu itu warga diminta menyerahkan KTP.

Noferiadin berhasil mengumpulkan sekitar 30 pemilik lahan, berdasarkan surat Peda [pajak], surat jual beli lahan, dan keterangan saksi. Total luas tanah mereka 130 hektar.

“Saya tawari mau dijual nggak mumpung ada yang mau beli. Masyarakat senang. Ketimbang lahan tidak bisa digarap mending dijual, jadi duit. Kalau perusahaan kan punya duit banyak,” katanya saat dihubungi via telepon.

Noferiadin menawarkan harga Rp4 juta per hektar. Tetapi Rusdianto minta harganya dinaikkan jadi Rp5 juta. Noferiadin setuju, pemilik lahan juga sepakat.

Saat itu tidak semua pemilik lahan yang menjual tanahnya tinggal di Sungai Sayang. “Ada yang di Riau, Batam, juga Sulawesi, tetapi kerabatnya sebagian masih di Sungai Sayang.”

Pada Mei 2015, Rusdianto dan Noferiadin mengajak pemilik lahan ke kantor PT. EWF di Jalan Wr. Supratman No. 75, RT 03, Kelurahan Orang Kayo Hitam, Kecamatan Pasar Jambi, Kota Jambi untuk menyelesaikan pembayaran. Tetapi, uang yang diterima pemilik lahan tidak sesuai kesepakatan.

Noferiadin memotongnya Rp1 juta per hektar, alasannya untuk biaya akomodasi -transportasi, makan dan penginapan selama di Kota Jambi- termasuk urusan surat tanah.

“Awalnya masyarakat itu minta Rp2 juta per hektar sudah mau. Karena lahan itu tidak bisa digarap. Mereka malah senang masih ada yang mau beli. Masyarakat itu terima kasih pado sayo.”

Noferiadin cerita, lahan yang dijual itu awalnya sawah dan kebun kelapa. Tapi tahun 1980-an, mulai ditinggalkan karena air laut masuk ke persawahan. Warga yang sebelumnya bermukim di Parit Tanjung, pindah ke perkampungan lebih tinggi. Sebagian balik ke kampung halaman di Sulawesi. Sejak itu sawah dan kebun tak terurus, perlahan mangrove tumbuh lebat menjadi hutan.

Memanfaatkan jabatannya sebagai kepala desa, Noferiadin kemudian mengeluarkan surat seporadik untuk melegalkan status lahan yang dibeli Akiang. Dia juga yang mengurus untuk jadi sertifikat, tetapi belum selesai.

“Kemarin ada kesalahan posisi lahan, jadi namanya kebalik-balik. Waktu pengukuran antara 2015-2016, lahan masih hutan, semak.”

Data yang didapat Mongabay Indonesia menunjukkan, nilai jual beli lahan mencapai Rp5,28 miliar. Sejak 22 April 2015 hingga 19 Februari 2016, Rusdianto tercatat menerima Rp2,185 miliar dari Akiang, tetapi hanya Rp551 juta yang dibagikan untuk pemilik lahan. Ada 9 kali pembayaran dan semua dilakukan di kantor PT. EWF. Sementara Rp3,095 miliar sisanya masih belum dibayar.

“Kemarin kabarnya ada masalah, ada yang tidak sesuai komitmen awal. Ada orang lain yang mengaku sebagai pemilik lahan yang dijual itu. Mungkin karena itu, pembayarannya belum selesai,” kata Pramudia, Kepala Bidang Tata Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Tanjung Jabung Timur.

Rusdianto tidak mau berkomentar soal uang yang dia terima dari penjualan lahan. “Saya tidak bisa ngomong, karena itu tidak ada hitam di atas putih.”

 

Kepiting bakau mati di patai Sungai Sayang, seiring rusaknya habitat bakau di tepi pantai timur Jambi. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Lahan disegel

Arie Suryanto tampil necis dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kacamata hitam disematkan di atas topi. Dia terlihat bersemangat ikut rombongan DLH Tanjung Jabung Timur menyegel lahan yang digarap Akiang.

Hampir satu dekade, Arie getol kampanye penyelamatan mangrove di pantai timur Jambi. Dia juga banyak bicara di media lokal soal kerusakan mangrove di Sungai Sayang.

Pria paruh baya itu minta difoto. Dia bergaya dengan tangan terkepal di samping papan pengumuman bertulisan “Area ini ditutup karena tidak memiliki izin dari Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dilarang melakukan aktivitas apapun di area ini.”

Ada empat aturan yang digunakan DLH untuk menjerat aktivitas ilegal tersebut. Ada UU No.32 Tahun 2008, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP No.22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Perpres No 51 Tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai; dan Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur No 3 Tahun 2020, Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur No.11 tahun 2012.

Sehari setelah penyegelan, persisnya 9 September 2020, Arie Suryanto membuat laporan ke Polres Tanjung Jabung Timur. Dia menuntut kasus pembabatan hutan mangrove diusut tuntas, dan semua aktor yang terlibat ditetapkan sebagai tersangka.

Pendiri Komunitas Cinta Hijau Pesisir Indonesia itu juga minta mangrove direhabilitasi. “Kalau tidak, tiga tahun lagi itu (mangrove tersisa) habis semua,” ujarnya.

Arie mengaku bakal menggugat Pemerintah Daerah Tanjung Jabung Timur. Menurutnya, pembabatan hutan mangrove di Sungai Sayang adalah bukti pemerintah daerah tidak konsisten menjaga lingkungan.

“Itu yang menjual lahan kepala desa, dia kan perpanjangan tangan bupati, seharusnya dia melarang (sempadan pantai) diekspoitasi, karena akan menjadi ancaman ke depan.”

Noferiadin mengaku tidak tahu-menahu soal mangrove di sempadan pantai dibabat habis untuk kebun sawit. “Dulu saya sudah pesan, 150 meter dari bibir pantai jangan digarap. Kalau sekarang dibuka sampai pinggir pantai, saya tidak tahu.”

Rusdianto juga tak mau disalahkan. “Saya asli Sadu, nggak mungkin mau merusaknya. Kalau ada aktivitas perusahaan yang melanggar, itu diluar kontrol saya,” katanya.

Bambang, staf Seksi Konservasi dan Sumberdaya Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi, menduga pihak Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebetulnya sudah lama tahu ada masalah di Sungai Sayang. Sebab, lahan itu dibuka dan ditanami sawit rentang waktu 2020 hingga awal 2021.

Dia kemudian menunjukkan percakapannya di WhatsApp dengan pegawai kabupaten.

“Jadi orang Kabupaten itu bilang ke saya gini, ‘miris memang bang’. Tapi percuma bang. Ibarat kito itu numbur tembok tinggi besar, mungkin bisa kito robohkan, tapi kito sendiri yang bakal hancur’,” ujar Bambang. Dia tidak ingin menyebut spesifik siapa yang berbicara dengannya.

Dugaan Arie ‘tembok tinggi’ yang dimaksud Bambang adalah Akiang. “Akiang lah itu, siapa lagi. Pengusaha, punya uang banyak, punya bekingan. Siapa yang mau melawan?”

Menurut Bambang, niat Akiang membuka lahan di Sungai Sayang sebetulnya bukan untuk kebun sawit, tetapi penguasaan lahan, efek pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung yang tahun ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional. Pantai Sungai Sayang yang berpasir, sangat strategis untuk dibangun gudang atau pelabuhan. Sangat cocok untuk Akiang yang dikenal punya banyak usaha selain sawit.

“Pantai pasir itu cocok. Kalau di tempat lain kan berlumpur.”

 

Kondisi hutan mangrove di pantai Desa Sungai Sayang setelah dibuka untuk perkebunan sawit. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Habitat rusak

Gerimis masih turun, ketika saya dan Ambo Angke sampai di tepi pantai Sungai Sayang. Sejauh mata memandang, terlihat ribuan batang mangrove terserak, sebagian hilang ditelan lumpur hitam. Bibit sawit tampak ditanam dengan jarak teratur, beberapa mati. Jarak antara lahan sawit dengan tepi pantai begitu dekat, hanya 20-30 meter.

Ambo mengatakan, hutan mangrove yang hancur itu merupakan habitat kepiting. “Dulu di sini banyak kepiting, mulai Oktober panen. Saya pernah dapat sekarung.”

Saat ombak besar, ikan sulit ditangkap. Banyak nelayan di Sungai Sayang, termasuk Ambo, memilih mencari kepiting bakau. Harganya lumayan, ukuran besar laku Rp100-120 ribu per kilo. Sementara ukuran sedang sekitar Rp80 ribu satu kilogram.

“Sekarang tidak ada lagi, habis,” ujarnya.

Dr. Dadan Mulyana, peneliti senior ekosistem mangrove dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB mengatakan, hutan mangrove memiliki manfaat bagi lingkungan.

“Sebagai benteng hijau yang akan menjaga wilayah pesisir dari terjangan gelombang laut.”

Hutan mangrove menjadi ekosistem penting untuk ikan, udang, dan kepiting. Akar dan batangnya mampu menyaring polutan, sehingga kualitas air di hutan mangrove lebih baik. Fungsi lainnya, pencegah intrusi air laut, pengatur air bawah tanah, penyerap logam berat, penjaga stabilitas iklim mikro, hingga sumber pangan.

Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, mangrove dapat menyerap karbon 5-7 kali lebih besar dibandingkan hutan darat atau terrestrial. Jika Mangrove dibudidayakan di seluruh pesisir Indonesia, maka potensi untuk memperbaiki iklim bisa meningkat.

Di tengah acara KTT G20, Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia memiliki hutan mangrove 3,3 juta hektar, terluas di dunia. Luasnya, setara 45 kali luas Singapura.

Presiden memamerkan Tahura Ngurah Rai sebagai sukses story, bagaimana 1.300 hektar hutan mangrove itu ditanam, diperbaiki, dipelihara, yang sebelumnya adalah tambak ikan, area yang terabrasi. Ada 33 spesies pohon bakau di Tahura Ngurah Rai yang kini menjadi rumah lebih dari 300 fauna, seperti ikan, udang, burung, monyet, dan ular.

“Ini wujud konkrit Indonesia menghadapi perubahan iklim,” katanya, seperti dikutip dari video Youtube Sekretariat Presiden.

Hingga akhir 2024, pemerintah menargetkan penanaman mangrove 600 ribu hektar, sebagai langkah memulihkan ekosistem di wilayah pesisir.

Dadan mengatakan, hilangnya hutan mangrove praktis menghilangkan keanekaragaman hayati yanga ada. Lingkungan rusak, penyangga kehidupan akan terganggu.

“Ini harus dicegah.”

Revegatasi mangrove butuh waktu lama untuk pulih seperti semula, setidaknya 15 tahun. “Jika dibiarkan alami tanpa penanaman, butuh 150 tahun,” ujarnya.

 

Lahan sawit milik Akiang di Desa Sungai Sayang, Sadu, Tanjung Jabung Timur. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman abrasi

Data Organisasi Pangan Dunia PBB menyebut, Indonesia kehilangan 40 persen mangrove dalam tiga dekade terakhir. Kecepatan kerusakan mangrove di Indonesia menjadi yang terbesar di dunia.

Kerusakan mangrove di Sadu, sudah berlangsung sebelum Tanjung Jabung Timur ditetapkan sebagai kabupaten pada 1999. Wilayah paling timur Jambi itu memiliki panjang garis pantai 230,90 km, hampir 90 persen dari total panjang garis pantai di Provinsi Jambi. Kerusakan mangrove di pesisir memicu abrasi.

Pada 2020, sepuluh rumah di Desa Air Hitam Laut hancur dihantam gelombang pasang. Abrasi juga terjadi di wilayah Sungai Sayang, Labuhan Pring, Remau Baku Tuo, Sungai Jambat hingga Sungai Itik. Penyebab utamanya adalah pembukaan lahan perkebunan.

“Di Kuala Lagan, Mendaha Ilir, Pangkal Duri, dan Sungai Benuh itu sawit perusahaan semua,” kata Arie.

Pramudia tak menampik banyak kebun sawit di pinggiran pantai. Tetapi dia tidak bisa memastikan itu milik perusahaan, sebab selama ini tidak ada yang pernah mengurus izin.

“Di Mendahara, ada 300 hektar kebun sawit, tetapi suratnya atas nama perorangan, namanya orang-orang yang kerja di situ,” katanya.

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di wilayah cagar alam.

Faried, Kepala Seksi Konservasi Wilayah 3 BKSDA Jambi mengakui, beberapa wilayah perisir telah dibuka untuk kebun kelapa.

“Warga buka lahan itu tahun 80-an. Untuk kasus keterlanjuran, kita upayakan jalur mediasi.”

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi mencatat, luas mangrove di Jambi pada 2019 mencapai 9.787,57 hektar. Hanya 4.348 dalam kondisi baik dan 2.697 hektar rusak. Kerusakan terbesar terjadi di wilayah Sadu dan Nipah Panjang, masing-masing 627 hektar dan 762 hektar.

Jambi memiliki sekitar 20 jenis pohon bakau mulai jenis Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa Fruticans, Sonneratia, Ceriops, Aegiceras, Xylocarpus, Thespesia populnea, Hibiscus tiliaceus, Excoecaria agallocha, Derris trifoliata, Acrosticum aureum, Acanthus ilicifolius, Glochidion littorale, Scaevola taccada, dan jenis Kandelia candel.

 

Pohon mangrove jenis api-api yang tersisa di pantai timur Jambi, di Desa Sungai Sayang, Sadu, Tanjung Jabung Timur. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Terima penghargaan

Ditengah kerusakan pantai timur, Bupati Tanjung Jabung Timur Romi Hariyanto justru mendapat penghargaan Wetland City Acreditatiton, dari Konverensi Ramsar di Jenewa, Swiss, yang berlangsung 5-13 November 2022. Romi menjadi bupati pertama di Indonesia yang mendapatkan penghargaan bergengsi itu.

Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dianggap berhasil mengintegrasikan manajemen konservasi dan keberlanjutan lahan basah dengan pembangunan berkelanjutan.

Dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia dari Pemda Tanjung Jabung Timur disebutkan, Pemerintahan Bupati Romi berkomitmen menjaga lahan basah yang menjadi ekosistem sejumlah satwa, dengan menerbitkan regulasi mulai peraturan bupati hingga peraturan daerah.

Dalam dokumen tata ruang wilayah (RTRW) termuat jaminan pada kelestarian Pantai Cemara seluas 450 hektar yang menjadi tempat persinggahan burung migran dari Siberia menuju Australia pada rentang September hingga Desember. Lalu reservasi hutan bakau pantai timur 4.126,6 hektar dan hutan lindung gambut Sungaibuluh 23.748 hektar.

“Tidak hanya mangrove yang kita perhatikan, tapi juga Hutan Lindung Gambut dan TNBS [Taman Nasional Berbak Sembilang],” kata Suhaili, Kabid Infokom, Dinas Kominfo Tanjung Jabung Timur.

Tetapi dia tidak menampik kenyataan banyak lahan di pesisir dikuasai pengusaha dan memicu kerusakan mangrove.  Suhaili beralasan, pemerintah tidak bisa mencegah, lantaran pengusaha membeli langsung pada pemilik tanah.

“Kami tidak bisa melarang warga menjual lahannya,” katanya.

“Alasannya lahan tidak produktif kemudian dijual agar dapat uang dan mereka punya surat-surat legal. Pemerintah juga belum punya solusi untuk itu.”

Dia juga mengatakan, tingginya abrasi di Air Hitam dan lainnya, karena pantai timur Jambi berbatasan langsung dengan Luat Cina Selatan yang dikenal memiliki ombak besar. Abrasi membuat kondisi alam berubah, termasuk garis pantai di Sungai Sayang.

“Bisa jadi hutan mangrove milik negara itu -di sempadan pantai- sudah habis dimakan ombak, jadi lahan warga Sungai Sayang sekarang, berbatasan langsung dengan pantai.”

Namun demikian, dia tetap berharap pengusaha sadar pentignya fungsi mangrove dan ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan.

“Harusnya jangan dibabat habis. Ini untuk anak cucu kita nanti.”

Sesuai Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur No 3 Tahun 2020, Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur No.11 tahun 2012, sempadan pantai di Kecamatan Sadu merupakan daerah lindung.

Suhaili mengaku, Pemda Tanjung Jabung Timur tidak akan melakukan intervensi hukum atas kasus kerusakan lingkugan di Sungai Sayang.

“Kita akan menghormati proses hukum.”

 

Bupati Tanjung Jabung Timur, Romi Hariyanto menerima penghargaan Wetland City Accreditation di Jenewa, Swiss. Dia mendapatkan penghargaan bersama 24 kepala daerah lainnya di dunia. Foto: Dok. Kominfo Tanjung Jabung Timur

 

Berpeluang Bebas

Kasat Reskrim Polres Tanjung Jabung Timur, AKP Ridho Prasetnya mengaku belum bisa memastikan langkah selanjutnya untuk kasus perusakan mangrove di Sungai Sayang. Saat ini pihaknya masih menunggu keputusan dari Pemda Tanjung Jabung Timur.

“Kalau Pemda sudah mengeluarkan sanksi administrasi berarti kita kesampingkan sanksi pidananya. Kita belum tahu, mereka [Akiang] nanam [mangrove] ini nanti sudah mencakup sanksi administrasi atau tidak,” katanya.

Pramudia, Kepala Bidang Tata Lingkungan DLH Tanjung Jabung Timur mengaku bingung jika harus memberikan sanksi administrasi. Sebab, pihak Akiang tidak pernah mengurus izin apa pun.

“Saya ingin tahu sanksinya dimana? Coba sebutkan satu pasal, lha kita posisinya itu belum mengeluarkan izin apa pun,” katanya. “Ini tidak ada amdal, izin tidak punya, jadi bingung mau beri sanksi seperti apa.”

Kata Pramudia, sekarang pihaknya masih menunggu rancanngan teknis penanaman mangrove yang dibuat pihak pengusaha selesai.

“Mereka sudah ada itikad baik mau menanam mangrove kembali, kita tunggu.”

Saya bertanya, bila Akiang sudah menanam mangrove dan memberdayakan masyarakat setempat, apakah masalah dianggap selesai?

“Bisa kita anggap seperti itu,” jawab Pramudia.

Abdullah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menduga, pihak pengusaha sengaja membiarkan surat kepemilikan lahan masih atas nama masyarakat, sehingga mereka tidak perlu mengurus izin.

“Kalau mereka mengurus izin untuk perkebunan, justru akan ditolak pemerintah. Karena ini [mangrove] kawasan penting, tidak boleh diubah. Mereka juga tidak perlu membayar pajak, karena tidak punya izin.”

Menurut Ramos Hutabarat, Ketua Perkumpulan Bantuan Hukum Wirasena, pemilik lahan harus bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas kerusakan lingkungan di Sungai Sayang.

“Pembukaan lahan yang dilakukan tanpa izin itu jelas-jelas tindak pidana. Sanksi administratif tidak menghilangkan sanksi pidana. Polres harusnya tetap lanjut tanpa harus menunggu keputusan pemda,” katanya.

Sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusakan lingkungan yang dilakukan tanpa izin lingkungan bisa dijerat Pasal 98 dan Pasal 109 jo. Pasal 116 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

“Kalau Polres tidak sanggup, lapor ke Polda dan bila Polda nggak sanggup lapor ke Mabes,” tegas pengacara yang juga ketua tim advokasi Walhi Jambi itu.

Dia juga mengatakan, penyusunan rancangan teknis untuk pemulihan mangrove, tidak bisa sembarangan. “Itu harus dilaporkan ke KLHK, nanti dicek apakah sudah sesuai atau belum, tidak bisa langsung tanam, masalah selesai.”

Santoso, orang yang dipercaya Akiang untuk mengurus lahan di Sungai Sayang, tidak merespon pesan permintaan wawancara yang saya kirim via WhatsApp. Dua kali saya datang ke kantor PT. EWF, tetapi Santoso tak ada di tempat. Saya kemudian menghungi via telepon, tetapi Santoso menutupnya setelah saya mengaku sebagai jurnalis.

 

Pohon mangrove jenis api-api tumbang dihantam gelombang di pantai timur Jambi, di Desa Sungai Sayang, Sadu, Tanjung Jabung Timur. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Masalah baru

Gerimis belum reda, saat hari mulai gelap. Hampir satu jam saya berbicara dengan Ambo. Berulang kali dia mengaku khawatir akan gelombang pasang. Rasanya itu menjadi beban di usianya yang mulai senja.

Kerusakan di patai timur Jambi akan semakin parah karena dampak perubahan iklim. Sungai Sayang tidak hanya akan disapu banjir rob yang terus meningkat setiap tahun, tetapi juga bisa tenggelam.

Mengutip riset Climate Central, air laut diperkirakan bakal meninggi sekitar 20 sampai 30 sentimeter pada 2050 mendatang. Sementara data IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) kisarannya masih 0,8-1 meter sampai tahun 2100.

Dampaknya, banyak permukiman yang dihuni penduduk di kawasan pesisir Indonesia terancam tenggelam, termasuk Desa Sungai Sayang.

Ambo memang tak tahu apa itu perubahan iklim, tetapi dia tahu persis bagimana dampak pembabatan hutan mangrove. Permukiman di Sungai Sayang akan bernasib sama dengan pemakaman di ujung kampung yang tenggelam ditelan banjir rob.

Level kekhawatiran Ambo meningkat, setelah dia mendapat kabar bahwa hutan manggrove tersisa itu, persis di sebelah lahan Akiang sudah dijual ke pengusaha sawit.

“Kalau itu lebih luas lagi, lebih 300 hektar.”

Arie Suryanto menuturkan, lahan itu kabarnya dibeli Akak, pengusaha top di Jambi, sekaligus pemilik ratusan hekter perkebunan sawit. Arie tahu setelah dihubungi broker yang jual tanah.

“Ada yang telpon saya, dia bilang sudah jual lahan ke Akak.”

Arie minta DLH Tanjung Jabung Timur segera memasang papan larangan pembukaan hutan mangrove. Jika mangrove tersisa itu ikut dibabat, praktis permukiman warga di Sungai Sayang berhadapan langsung dengan laut.

“Kalau musim banjir, bisa-bisa kami tenggelam semua,” kata Ambo.

Pria paruh baya itu terdiam sejenak, merenungkan hal buruk yang sudah di depan mata. Tetapi, nelayan kecil sepeti Ambo bisa apa?

“Kalau itu mangrove dihabisi juga, matilah kami,” ujarnya.

 

Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.

 

Exit mobile version