Mongabay.co.id

Ada Peran Unik Buaya Muara, dalam Budaya Masyarakat Gorontalo

Buaya muara merupakan jenis paling buas jika dibandingkan tiga jenis lainnya yang ada di Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Buaya sering diasosiasikan sebagai satwa menakutkan. Belum banyak yang mengetahui bahwa reptil ini sangat penting bagi ekosistem, sebagai predator yang menjaga kestabilan ekosistem di alam.

Di Gorontalo, buaya memiliki peranan penting dalam budaya; baik di acara perkawinan, penyambutan tamu, pemakaman, hingga pemberian gelar adat kepada tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap penting.

Buaya dalam Bahasa Gorontalo disebut huwayo. Dalam prosesi adat, satwa ini disimbolkan sebagai ngango lo huwayo atau mulut buaya.

Baca: Dilindungi dan Dihormati, Buaya Endemik Papua Ini Masih Diburu

 

Buaya muara merupakan jenis paling buas jika dibandingkan jenis lain yang ada di Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, mengatakan sebenarnya masyarakat Gorontalo sejak dulu sudah akrab dengan keberadaan buaya muara di perairan sekitar mereka. Masyarakat Gorontalo juga tidak memburu buaya untuk dimakan daging atau telurnya.

Buaya diyakini sebagai binatang buas yang tidak boleh diganggu dan tidak akan mengganggu manusia selama habitatnya tidak dirusak.

“Mulut buaya yang terbuat dari bambu kuning dihiasi janur, dipakai masyarakat Gorontalo dalam setiap acara adat. Mulut buaya ini dipasang di kanan dan kiri gerbang adat atau disebut tolitihu,” ungkap Hari kepada Mongabay.

Gerbang adat juga memiliki tangga dari anyaman bilah bambu kuning, pada sisi kiri dan kanan dilengkapi dua buah pohon pinang. Selain itu, dipasangi batang bambu yang pada ujungnya dibelah dan diberi gigi agar membentuk mulut buaya.

Mulut buaya ini menunjukkan status sosial seseorang atau menjadi tanda identik dalam acara apa si mulut buaya ini dipasang.

Hari mencontohkan, jika ngango lo huwayo dipasang dalam pesta perkawinan, maka jumlah gigi bagian atasnya tujuh. Sementara gigi bagian bawahnya berjumlah lima.

Jika perhelatan berkabung yang diselenggarakan, seperti upacara kedukaan lantaran ada anggota keluarga yang meninggal dunia, maka posisi ngango lo huwayo akan dibalik. Gigi bagian atas berjumlah lima, sementara bagian bawahnya tujuh.

Ngango lo huwayo bermakna segala bencana akan ditelan buaya sehingga semua orang yang hadir dalam acara tersebut akan bahagia dan sejahtera,” ujar Hari.

Baca: Kebiasaan Unik Buaya Muara, Mempelajari Pola dan Gerakan Mangsanya

 

Ngango lo huwayo bermakna segala bencana akan ditelan buaya sehingga seluruh pengunjung akan sejahtera. Foto: Dok. Info Publik Prov. Gorontalo/Haris

 

Kearifan lokal

Penelitian Hasnidar Pasue, Yus Iryanto Abas, Hasdiana berjudul “Kajian Bentuk Ngango Lo Huwayo Pada Upacara Adat Gorontalo”, menjelaskan bahwa ngango lo huwayo memiliki perbedaan bentuk berdasarkan upacara adat apa yang akan dilakukan.

Misalkan pada penobatan, penyambutan tamu, dan perkawinan bentuknya pesta riang. Sementara pada pemakaman menandakan suasana duka.

“Perbedaan bentuk tersebut secara otomatis mempengaruhi makna yang terkandung. Sehingga, jika terjadi kesalahan penggunaan akan berdampak juga pada kesalahpahaman maknanya,” ungkap peneliti.

Menurut Hari, saat ini perlu ditumbuhkan kembali nilai-nilai kearifan lokal Gorontalo berkaitan hubungan harmonis antara manusia dengan buaya.

“Ini dikarenakan, dalam adat Gorontalo, buaya digambarkan sebagai sosok penolak bala, pelindung manusia, yang menelan semua bencana.

Habitat buaya muara di Provinsi Gorontalo dapat dijumpai di perairan Kabupaten Gorontalo Utara meliputi Desa Ilangata Barat, Kecamatan Anggrek; Desa Mootinelo, Kecamatan Kwandang. Perairan Kecamatan Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato meliputi Sungai Mootilango, Randangan, dan Cagar Alam Tanjung Panjang.

Selain itu habitat buaya muara juga dapat ditemukan di muara Sungai Pohu yang berbatasan langsung dengan Danau Limboto, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo.

Di Kabupaten Bone Bolango habitat buaya bisa ditemukam di Sungai Bone. Bahkan di Desa Kramat, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo terdapat pantai yang diberi nama Pantai Batu Buaya.

 

Seorang warga (kiri), mengangkat bambu yang sudah dibelah untuk dibentuk menjadi ornamen ngango lo huwayo atau mulut buaya. Foto: Dok. Info Publik/MC Prov. Gorontalo/Haris

 

Di Indonesia terdapat empat jenis buaya yang dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Pertama,  Crocodylus porosus [buaya muara] yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia. Kedua, Tomistoma sclegelli [buaya sinyulong] dengan wilayah penyebaran Sumatera dan Kalimantan.

Ketiga, Crocodylus siamensis [buaya siam] dengan sebaran di Kalimantan, serta keempat, Crocodylus novaeguineae [buaya irian] dengan wilayah sebaran Papua.

 

Exit mobile version