Mongabay.co.id

Terpedaya Beli Kaveling Lahan di Kota Batam Ternyata Masuk Hutan Lindung

 

 

 

 

Cuaca cukup panas, siang itu. Matahari menyengat. Tak tampak pepohonan besar di sekitar padahal itu masuk kawasan hutan lindung. Gersang. Beberapa orang lalu lalang di pintu masuk Kaveling Sambau, Nongsa Batam.

Plang peringatan terpampang di hutan lindung Sei Hulu Lanjai ini. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.’ Ada logo beberapa Lembaga Pemerintah Kepulauan Riau (Kepri), Polda Kepri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Kota Batam, sampai (Badan Pengusahaan) BP Batam.

Di dalam plang juga tertulis peraturan Undang-undang tentang hutan lindung. Ada menyebut soal larangan perluasan lahan pemukiman, dan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan kerusakan keutuhan kawasan dan ekosistemnya.

Tertulis juga ancaman pidana Pasal 69 ayat (I) dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 /2020 tentang Cipta Kerja.

“Setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang dipidana dengan penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. “

 

Seorang warga melihat plang peringatan larangan melakukan aktivitas di hutan lindung di Kawasan Sambau Nongsa Batam. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Dalam plang ada juga peringatan soal peta rencana pola ruang di Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai. Terpampang gambar peta hutan lindung sudah terbabat. Antara lain buat bangun KSB  yang dijual kepada masyarakat. Setidaknya,  ATR/BPN memasang tiga plang yang sama di hutan lindung ini.

Lokasi kaveling tepat di dekat bundaran Kelurahan Sambau, atau dekat Jalan Siliwangi, Nongsa Batam. Dari bundaran tampak jelas plang ATR/BPN. Nongsa,  sedang jadi pusat pembangunan perumahan.

Dari plang peringatan hutan sudah menjadi perumahan. Sebagian sedang proses bangun. Masih ada orang yang masih bangun rumah mereka, meskipun plang peringatan terpasang.

Aslan, tukang kebun di kawasan ini bercerita, dulu Sei Hulu Lajai adalah hutan lebat dengan pohon-pohon besar. Sekitar empat tahun lalu,  alat berat mulai masuk mengkaveling tanah.

Dia sudah beberapa kali memperingatkan warga yang mau membeli kaveling di kawasan ini tetapi sebagian tak perduli. Mereka mau membeli dengan berbagai alasan. “Salah satu karena perusahaan akan bertanggung jawab. Saya mau bilang apa lagi,” kata Aslan.

Di sana, sudah ada sekitar 200 kaveling tanah.  Sebagian besar terjual, dan mulai pembangunan. “Kasihan mereka (warga) tertipu.”

 

Baca juga: Pesan Presiden: Rawan Mangrove buat Jaga Pesisir, Ekonomi Masyarakat sampai Serap Emisi Karbon

 

Jual beli kaveling bodong

Pardi,  bukan nama sebenarnya, merantau di Batam hampir 10 tahun. Dia sudah berkeluarga dengan dua anak namun masih menyewa sepetak rumah di Botania.

Pardi berpikir, sudah saatnya membangun rumah sembari menabung untuk keperluan dua anaknya bersekolah.

Gayung bersambut. Pardi dapat tawaran beli kaveling di daerah Sambau. Dia tak berpikir panjang, langsung membeli apalagi informasi itu dari saudara istrinya. “Itu membuat saya yakin, tidak mungkin saya ditipu saudara sendiri,” kata Pardi.

Akhirnya, dia membeli kaveling Rp25 juta, ukuran 10×6 meter. Pada 2020,  harga itu termasuk murah. Tak tanggung-tanggung, Pardi borong dua kaveling sekaligus.

Kaveling di Sambau ketika itu dijual dengan harga bervariasi tergantung posisi. Bagian atas bukit harga mulai Rp8-Rp10 juta. Paling dekat jalan harga Rp25 juta satu kaveling.

Pardi bayar kas kepada pengelola. Dia dapat dua pucuk surat kaveling siap bangun (KSB). Pardi tidak langsung membangun, karena COVID-19 datang. Beberapa bulan ini dia baru mulai bangun.

Akhirnya, rumah Pardi selesai bangun permanen seukuran kaveling. Bagian depan tersisa halaman untuk bermain anak.

Akhir 2022, hati Pardi cemas. Sekelompok orang (tim gabungan) mendatangi Kaveling Sambau. “Tidak hanya saya yang cemas, anak-anak cemas juga, kenapa ramai-ramai,” kata Pardi.

Petugas yang datang memberi tahu rumahnya berada di kawasan hutan lindung. Masyarakat diminta tidak melakukan pembangunan lagi. “Mereka datang bulan 11 (November 2022), ketika itu juga dipasang plang peringatan,” katanya.

Pardi cemas, sudah bangun rumah dengan jerih payah ternyata masuk dalam hutan lindung. Pardi sudah nyaman dengan suasana kawasan. “Saya berharap ada solusi dari pemerintah,” kata Pardi.

 

Batam ditebang untuk kepentingan pembangunan pelebaran jalan. Foto Yogi Eka Sahputra

 

Warga lain juga beli kaveling, sebut saja Yusuf, malahan sejak lama mengetahui lahan masuk hutan lindung tetapi setelah rumah selesai bangun.

Padahal, dia sempat akan membeli kaveling di daerah lain. Kemudian pemilik kaveling ditangkap karena kawasan mereka juga berada di Kawasan hutan. “Eh rupanya saya kena (tipu) disini,” katanya.

Sebelumnya, Yusuf masih ngontrak rumah. “Saya nekad saja beli, karena link dapat dari teman, tetapi akhirnya seperti ini.”

Yusuf dan Pardi kecewa mengapa setelah rumah dibangun baru diberitahu kawasan ini hutan lindung. Padahal, sejak awal tidak ada pemberitahuan hutan lindung. Warga seolah dibiarkan jadi korban. “Saya kalau ada plang itu sejak awal, ya tidak mungkinlah mau bangun rumah di sini.”

Suparman, nama samaran, malah beli tiga kaveling. Dia bilang, pemilik tanah sedang proses sertifikat tanah.

Bagi Suparman, janji itu cukup menenangkan, bahkan sampai saat ini dia terus bangun meskipun sudah dilarang.

Suparman beli satu kaveling Rp12 juta ukuran 10×6 meter pada 2019. Pemilik kaveling berjanji mengurus sertifikat tanah. “Nanti kalau sertifikat jadi, saya bisa jual ini Rp150 juta,” katanya.

Aslan sempat ditawarkan marketing kaveling siap bangun ini tetapi dia sudah tahu kawasan ini hutan lindung. “Saya dari dulu sudah tau, otak-otak mafia ini, makanya, kalau beli kaveling harus hati-hati,” katanya.

Lamhot M Sinaga, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam membenarkan kawasan itu hutan lindung. “Kita hanya pendukung dalam tim gabungan itu, lebih baik konfirmasi ke ATR/BPN, mereka leading sector kasus ini,” katanya, 3 Januari 2022.

 

emandangan hutan lindung yang terdapat di Kelurahan Sambau Batam. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Ariodilah Virgantara,  Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang  Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional mengatakan, kasus pembangunan kaveling perumahan di hutan lindung di Kelurahan Sambau diawali dengan temuan audit tata ruang kawasan strategis nasional Batam, Bintan dan Karimun oleh KATR/BPN pada 2019. Setelah itu, katanya,  pada 2020 ada pemasangan plang peringatan dan pengenaan sanksi administratif terhadap pelaku pembangunan dan warga.

Peta hutan lindung merujuk pada SK Kehutanan no.272/2018 yang berlaku. “Luas hutan lindung yang dirusak pada kasus ini sekitar 6,5 hektar,” katanya, awal Januari 2023.

Untuk plang peringatan dipasang pada 1 Desember 2020, katanya, dicabut orang tak dikenal.

“Plang kita pasang lagi 13 Oktober 2022,” katanya.

Saat ini,  kasus masih proses penyidikan, detail kasus belum bisa dia sampaikan, termasuk nama perusahaan dan kaveling yang sudah dibangun.

Ariodilah bilang, kasus ini tak hanya ditangani KATR/BPN juga intansi lain. KATR juga bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus ini. “Kaveling ini dijual tanpa memiliki PL (penetapan lokasi) dari BP Batam, dan KKPR (kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang) dari Pemerintah Kota Batam.”

 

Baca juga: Alih-alih Menanam, Hutan Mangrove di Batam Malah jadi Perumahan

 

Pengawasan lemah

Data KPHL Batam menemukan,  setidaknya 50% dari luasan hutan dikuasai pihak-pihak yang tidak memiliki izin prosedural perorangan maupun perusahaan atau organisasi.

Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia mengatakan, penghancuran hutan Batam harus segera setop. Deforestasi tidak hanya di hutan darat juga hutan mangrove.

“Berkurangnya kawasan hutan berdampak pada daya dukung dan daya tahan Pulau Batam, keanekaragaman hayati dan serta merugikan bagi masa depan generasi,” katanya.

Menurut Hendrik, pengawasan harus ditingkatkan di Kota Batam, terutama terkait hutan ini. Modus kejahatan lingkungan di kota ini meskipun sempat setop sudah jalan lagi. “Kita seperti kucing-kucingan dengan para penjahat lingkungan.”

Sejalan dengan yang disampaikan Kepala Ombudsman Perwakilan Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari. Selama ini, kata Lagat,  pengawasan sangat lemah. Kalau tidak diperkuat lama-kelamaan hutan di Batam habis jadi perumahan.

Daerah Nongsa, kata Lagat,  sudah banyak terjadi perubahan hutan menjadi rumah. Dia berharap, instansi terkait harus saling koordinasi untuk melakukan pengawasan. “Jika memang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kurang sumber daya manusia, ya BP Batam harus bantu pengawasan.”

Selama ini,  kata Lagat, terjadi pembiaran di kawasan hutan lindung digarap untuk perkebunan. Lama kelamaan lahan jadi kaveling perumahan.

Penanganan kasus perusakan hutan ini, katanya, harus berjalan cepat.

“Harus tegas, jangan lambat, kalau terbukti dua alat bukti tersangkakan saja.”

 

Alat berat usai membabat hutan mangrove di Kota Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Catatan redaksi: Ada revisi tulisan pada 26 Januari 2023, dengan menambahkan keterangan dari Kementerian ATR/BPN

Exit mobile version