Mongabay.co.id

Cuaca Tidak Menentu, Literasi Kebencanaan Perlu Ditingkatkan di NTT

 

 

Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] harus siaga terhadap bencana.

Forum Pengurangan Resiko Bencana [FPRB] Provinsi NTT memaparkan, sejak 1982 hingga Juni 2021, terdapat 680 bencana alam [84%] dan 131 bencana non-alam [16%] di Nusa Tenggara Timur.

Ketua Forum FPRB NTT, Norman Riwu Kaho kepada Mongabay Indonesia mengatakan, cuaca ekstrem merupakan bencana sebagaimana halnya kekeringan.

Cuaca ektrem bisa diprediksi terjadi. Apalagi pada periode La Nina, curah hujan lebih banyak dan intens. Contoh, cuaca ekstrem akhir 2022 hingga awal 2023 terjadi akibat adanya dua bibit siklon yang berada di sekitar NTT. Meskipun jauh, namun NTT terdampak secara tidak langsung yakni sisa-sisa siklon tropis Ellie.

“Dilihat dari aspek prabencana, justru kita masih sangat gagap dan belum memiliki respon sangat baik,” ujarnya Rabu [04/01/2023]

Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang ini menjelaskan, cuaca ekstrem yang biasa melanda NTT adalah angin kencang dengan kecepatan diatas 25 knots atau 45 km/jam, atau 12,8 m/detik.

Selain itu ada hujan lebat, dengan intensitas paling rendah 50 mm/hari atau 20 mm/jam. Juga, hujan es yang mempunyai garis tengah paling rendah 5 mm, berasal dari awan Cumulonimbus.

“Siklon tropis merupakan sistem tekanan rendah dengan angin berputar siklonik yang terbentuk di lautan wilayah tropis dengan kecepatan minimal 34,8 knots atau 64,4/jam di sekitar pusat pusaran,” paparnya.

Baca: Cuaca Ekstrem Kembali Melanda NTT, Apa Langkah yang Harus Dilakukan?

 

Angin kencang menyebabkan atap rumah warga rusak di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perlu literasi kebencanaan

Norman sebutkan, NTT sudah memetakan 14 bencana dan di level provinsi telah disusun rencana konvegensi [renkon]. Bila terjadi kondisi kedaruratan, renkon bisa dipakai sebagai rencana operasional.

“Masih ada 8 atau 9 kabupaten yang belum terbentuk forum PRB. Selain itu, dari 3.353 desa dan kelurahan, baru sekitar 8 persen desa atau kelurahan kategori tangguh bencana.”

Norman minta, semua pihak berperan agar jumlah desa atau kelurahan tangguh bencana bertambah.

“Kita perlu dorong literasi kebencanaan di masyarakat. Bencana bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan menimpa siapa saja,” pesannya.

Baca juga: Ancaman dan Tantangan Wilayah Kelola Rakyat di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di NTT

 

Abrasi melanda pesisir pantai selatan Pulau Flores di Desa Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, yang berhadapan dengan Laut Sawu. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menabung ikan

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menegaskan, NTT belum memiliki sistem peringatan dini bencana berbasis perubahan iklim untuk keselamatan masyarakat.

Padahal, bicara pesisir bukan hanya yang berprofesi sebagai nelayan, yang akan menghadapi bencana, tetapi semua penduduk di sana.

Pemerintah harus melihat kembali UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Perpres No.51 Tahun 2016 tentang Sempadan Pantai.

“Pemerintah harus memperkuat kembali sabuk hijau wilayah pesisir. Konservasi sempadan pantai harus dilakukan agar kehidupan masyarakat pesisir aman,” jelasnya.

Menurutnya, kita sangat lemah dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Saat musim hujan, NTT rawan cuaca ekstrem. Baiknya, ketika cuaca baik harus dipikirkan bagaimana “menabung ikan” atau membuat lumbung pangan laut.

Dengan begitu, kita mempunyai stok ikan yang cukup dan harganya terjangkau.

“Sejauh ini yang dibebankan tentang dampak perubahan iklim, kan masyarakat,” pungkasnya.

 

Exit mobile version