Mongabay.co.id

Revisi Aturan PLTS Atap Rawan Lemahkan Minat Pasar

 

 

 

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 tentang PLTS Atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin untuk kepentingan umum. Perubahan ini untuk menjawab kendala-kendala pemasangan PLTS atap yang terjadi dalam setahun terakhir sejak peraturan menteri resmi keluar.

Dalam public hearing awal Januari lalu, Hendra Iswahyudi, Plh. Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan KESDM  menyampaikan substansi usulan perubahan substansi antara lain, tak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem.

Ekspor listrik yang sebelumnya sebagai pengurangan tagihan rencana ditiadakan, biaya kapasitas untuk pelanggan industri, semula lima jam akan dihapuskan, dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting berlaku setelah payback period tercapai paling lama 10 tahun.

Sejak diundangkan Agustus 2021, aturan ini praktis tidak berjalan karena PLN menolak pelaksanaannya. Akibatnya, target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS di 2022 tak tercapai.

“Revisi ini sepertinya titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity,” kata Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) di Jakarta.

AESI menyayangkan, akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh.

Sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan. Mulai dari pelanggan residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt.

Pembatasan kapasitas ini, katanya,  tidak sesuai ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100%) dan menurunkan minat calon pelanggan gunakan PLTS atap.

Dalam usulan perubahan substansi permen itu, pembatasan kapasitas hingga 100% tak akan berlaku kembali melainkan berdasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve.

Perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan, namun, teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitan dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah.

Periode waktu penetapan kuota per lima tahun juga dinilai terlalu lama karena dinamika penyediaan listrik. Sisi lain,  peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar rumah tangga.

“Tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari. Tidak ada ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal pembelian sistem PLTS atap.”

 

Surya atap di Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, survei pasar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di tujuh provinsi di Indonesia pada 2019 – 2021 menunjukkan,  keekonomian jadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk pakai PLTS atap.

“Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan yang jelas serta cepat,” kata Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.

Citra mengatakan, proyek strategis nasional (PSN) PLTS atap dengan target 3,6 GW pada 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23% justru mensyaratkan ada partisipasi masyarakat.

Dengan pangsa pasar 20%, untuk pelanggan golongan R2 dan R3 (3.500 VA ke atas), ada potensi 400.000 rumah tangga di seluruh Indonesia-setara 1,2 GWp PLTS atap– jika masing-masing memasang minimal 3 kWp.

Dengan potensi penggunaan tersebar di berbagai kota di Indonesia, katanya, pasar PLTS atap residensial juga berkontribusi pada terbukanya lapangan kerja hijau, seperti teknisi dan pemasang, dan UMKM pemasang PLTS atap tumbuh.

“Jika revisi permen terbaru disahkan dengan klausul usulan saat ini, pertumbuhan dan peluang usaha hijau ini akan terhambat,” kata Citra.

AESI dan IESR merekomendasikan net-metering tetap berlaku untuk pelanggan residensial dengan perhitungan ekspor-impor yang dapat didiskusikan kemudian.

 

 

Mematikan startup PLTS

Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih (KSTEB) juga khawatir kalau usulan perubahan kebijakan akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, terutama untuk pasar pelanggan residensial.

Peniadaan skema ekspor listrik akan menurunkan nilai keekonomian PLTS atap dengan jumlah penghematan tagihan listrik menjadi lebih kecil dan masa pengembalian modal (payback period) menjadi lebih panjang.

Amarangga Lubis, anggota KSTEB dan pendiri dari SolarKita menyatakan, peniadaan skema ekspor impor akan mengurangi minat calon pelanggan PLTS atap.

Concern utama dari usulan perubahan ini adalah hilangnya kWh meter ekspor-impor akan mengubah minat customer dan berdampak pada total market yang tersedia,” katanya.

Senada dengan SolarKita, Erlangga Bayu Rahmanda, anggota KSTEB sekaligus pendiri BTI Energy, merasa, usulan perubahan Permen ESDM akan mematikan bisnis perusahaan rintisan (startup) PLTS atap secara langsung.

“Ada perubahan pada Permen ESDM tentang PLTS atap akan membunuh startup PLTS atap, terutama seperti BTI Energy yang mayoritas pelanggan adalah residensial.”

Dalam jangka waktu lebih panjang, kondisi ini juga akan berimplikasi negatif pada ekosistem startup PLTS atap di Indonesia. Kebijakan energi tak suportif akan menurunkan minat calon pengusaha untuk merintis usaha di sektor ini.

KSTEB juga menyayangkan usulan perubahan kebijakan ini karena akan menyebabkan pemerintah makin sulit mencapai target kapasitas PLTS atap di Indonesia sebesar 3.610 MW pada 2025.

 

Revisi aturan surya atap khawatir malah menurunkan minat pasar. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Per November 2022,  kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia hanya 77,6 MW atau jauh dari target pemerintah. Terkait tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, KSTEB juga mempertanyakaan transparansi data kuota per sistem yang hanya dapat diakses PLN.

“Keterbukaan data sangat penting untuk menghindari upaya penghambatan instalasi PLTS atap yang mengatasnamakan kuota sistem yang sudah penuh,” kata Amar.

Dia khawatir terjadi penyelewengan sistem apabila data kuota sistem tak terbuka ke publik. Dia juga berpendapat, definisi teknis kuota sistem perlu diperjelas.

“Saya khawatir kuota sistem akan disesuaikan dengan kebutuhan PLN sebagai utility company.”

Kekhawatiran sama diungkapkan Erlangga. “Kapasitasnya sekarang dibatasi per kuota, itu juga berbahaya, karena yang menentukan kuota adalah pemegang IUPTLU [izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum]. Bisa saja mereka menyatakan kuota full dan baru diperbaharui setiap lima tahun. Jadi,  selama lima tahun itu tidak akan ada penambahan PLTS atap.”

KSETB adalah komunitas pertama di Indonesia yang menjadi platform jejaring perusahaan rintisan (startup) teknologi energi bersih. Komunitas ini diprakarsai New Energy NexusIndonesia dan berdiri pada 2022. Melalui KSTEB ini, para penggiat startup teknologi energi bersih dapat saling bertukar ide, informasi, dan jejaring untuk mendukung pertumbuhan ekosistem startup teknologi energi bersih di Indonesia.

Saat ini, KSTEB beranggotakan 50 startup teknologi energi bersih yang bergerak di sektor ketenagalistrikan, transportasi, industri, dan bangunan. Startup yang tergabung dalam KSTEB yang memiliki peran penting dalam usaha Indonesia untuk transisi energi dan memitigasi perubahan iklim.

 

 

 

********

Exit mobile version