- Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi izin produksi dan operasi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) pada 12 Januari lalu.
- Putusan majelis hakim MA ini menguatkan amar putusan sebelumnya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang dimenangkan warga Sangihe. PTTUN Jakarta mengabulkan permohonan warga Sangihe dan menyatakan keputusan Menteri ESDM tentang persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya PT TMS batal dan wajib dicabut.
- Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Pulau Sangihe hanya 763,98 km2, sementara pemerintah memberi izin konsesi seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah pulau. Pertambangan emas ini juga mendapat keistimewaan mengeruk sumber daya alam di Sangihe selama 33 tahun atau lebih dari tiga dekade.
- Koalisi Save Sangihe Island (SSI) menyebut, PT TMS di Pulau Sangihe sudah tidak lagi memiliki legitimasi, mengingat perizinan usaha berupa kontrak karya yang tidak sesuai UU Minerba No.4/2009 maupun hasil revisi UU Minerba No.3/2020.
Elbi Pieter, tak bisa menyembunyikan rasa haru saat mendengar kabar Mahkamah Agung memenangkan warga Sangihe melawan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Dia tampak bahagia membaca “amar putusan: tolak” dari situs Kepaniteraan Mahkamah Agung yang terbit 12 Januari lalu. Dokumen itu dia dapat dari rekan-rekan seperjuangannya. Mahkamah Agung memutuskan menolak kasasi yang diajukan Menteri ESDM dan TMS.
“Saya sangat bahagia, senang. Akhirnya, kemenangan berpihak pada masyarakat Sangihe,” kata perempuan asal Bowone, Pulau Sangihe, yang menjadi penggugat izin operasi produksi perusahaan tambang emas itu.
Putusan para majelis hakim Mahkamah Agung ini menguatkan amar putusan sebelumnya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang dimenangkan warga Sangihe. PTTUN Jakarta mengabulkan permohonan warga Sangihe dan menyatakan keputusan Menteri ESDM No.163.K/MB.04/DJB/2021 tentang persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya TMS batal dan wajib cabut aturan itu.
Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas
Koalisi Save Sangihe Island (SSI) menyebut, TMS di Pulau Sangihe sudah tidak lagi memiliki legitimasi secara hukum, mengingat perizinan usaha berupa kontrak karya (KK) yang tidak sesuai UU Minerba No.4/2009 maupun hasil revisi UU Minerba No.3/2020.
“Pemerintah harus segera mencabut izin tambang TMS, berikut segala aktivitas perusahaan dihentikan, serta penindakan hukum tegas atas segala kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan,” kata Koalisi SSI seperti keterangan tertulis yang diterima Mongabay.
Elbi bilang, putusan ini menguatkan dia dan warga di Pulau Sangihe untuk teguh menolak tambang emas asal Kanada ini. Dia tidak lagi risau dengan putusan sebelumnya yang ditolak juga oleh Mahkamah Agung terkait kasasi izin lingkungan yang warga ajukan.
Jull Takaliuang, dari SSI mengatakan, izin lingkungan yang warga ajukan itu bukan menggugat TMS tetapi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sulawesi Utara yang terbitkan izin itu.
Setelah kalah, Dinas PTSP tidak lagi banding dan menerima keputusan PTUN Manado yang memenangkan warga. Namun, TMS pasang badan menjadi tergugat intervensi dan banding di PTUN Makassar.
“Mereka hanya tergugat intervensi, jadi kekuatan untuk proses banding itu sebenarnya perlu dipertanyakan karena pemerintah provinsi tidak melawan putusan dari PTTUN Manado ketika di awal rakyat menang, SSI menang pada tahap pertama,” kata Jull.
Baca juga: Kala Warga Sangihe Tuntut Cabut Izin Tambang Emas dan Desak Bebaskan Robison
Warga kemudian melawan putusan banding PTTUN Makassar dengan kasasi di MA. Di pengadilan akhir itu, Jull sudah curiga karena proses berlangsung sangat cepat sementara belum ada penetapan majelis hakim, masih minutasi dan pemberkasan.
“Jadi kami tidak menuduh, tapi kami menduga ada hal-hal yang tidak beres disitu.”
Dia dan Koalisi SSI berupaya menunggu putusan MA terkait kasasi izin produksi. Setelah sebulan 12 hari atau 42 hari pasca diajukan, kasasi izin produksi dari Menteri ESDM dan TMS pun ditolak.
“Kalau kemudian mereka masih berpikir tentang izin lingkungan, mereka menang. Ya izin lingkungan buat apa kalau sudah izin paling pamungkas (izin produksi) mereka itu sudah tidak punya? Jadi secara otomatis, izin lingkungan mereka juga batal.”
Kalau perusahaan hanya memegang izin lingkungan berarti tidak punya kekuatan hukum. “Kalau mereka hanya pegang izin lingkungan, ya sudah dipegang-pegang saja dulu, tidak bisa ngapa-ngapain.”
Meski masih menunggu salinan amar putusan, Jull bersyukur berkat perjuangan seluruh warga dan solidaritas yang andil mengawal kasus yang mereka hadapi.
Cabut izin, perusahaan angkat kaki
Warga dan para perempuan yang gigih berjuang selamatkan pulau kecil Sangihe mendesak agar putusan MA ini segera ditindaklanjuti. Pemerintah (KESDM) didesak segera mencabut resmi izin produksi.
“Ini mencegah jangan terjadi hal-hal chaos yang bisa berakibat pada kondisi yang tidak kondusif di kampung, karena masyarakat sudah berjuang berdarah-darah melalui jalur hukum dan ini bukan sesuatu yang mudah,” kata Jull.
Saat ini Elbi dan warga di Pulau Sangihe masih khawatir, karena setelah putusan MA, fasilitas dan alat berat perusahaan masih ada di sana. Beberapa alat berat masih terparkir di antara Kampung Bowone dan Salurang.
“Ketika ini sudah diputuskan, artinya mereka sudah kalah. Jadi, TMS itu harus angkat kaki dari Pulau Sangihe,” katanya.
Dia desak, perusahaan secepatnya angkat kaki dari Pulau Sangihe. Seluruh kamp, alat berat dan fasilitas pertambangan yang dimobilisasi masuk minta dibersihkan.
Ebi tak mau ada ‘kenangan’ atau sisa-sisa sekecil pun milik perusahaan yang tertinggal di Pulau Sangihe.
“Kami tahu kami sulit, kami tahu kami susah, bahkan kami sudah mencari dana untuk biaya makan, biaya kendaraan (untuk bersidang). Kami berharap sekarang sudah diputuskan.”
Jadi, katanya, pemerintah sudah tak punya alasan lagi membiarkan TMS tinggal di Sangihe ini. “Tidak ada alasan sudah.”
***
Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Pulau Sangihe hanya 763,98 km2, sementara pemerintah memberi izin konsesi seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah pulau.
Pertambangan emas ini juga mendapat keistimewaan mengeruk sumber daya alam di Sangihe selama 33 tahun atau lebih dari tiga dekade.
Kalau dipaksakan beroperasi, kata Jull, ada lebih 50.000 jiwa di tujuh kecamatan akan menanggung beban dan risiko kerusakan lingkungan karena operasi pertambangan.
Sangihe, katanya, harus dilihat sebagai ruang hidup warga, bukan tempat eksploitasi masif dan merusak hidup orang banyak di pulau itu.
Koalisi SSI bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, putusan MA dalam kasus warga Pulau Sangihe lawan TMS ini mesti menjadi tonggak dan yurisprudensi membebaskan pulau-pulau kecil di Indonesia dari aktivitas pertambangan.
Muhammad Jamil, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) nasional mengatakan, putusan ini serupa kasus di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara melawan PT Mikgro Metal Perdana (MMP). Saat itu, gugatan warga Pulau Bangka di PTUN, PTTUN hingga MA menang.
Izin MMP dicabut Ignasius Jonan, Menteri ESDM kala itu. Salah satu pertimbangan penting dari putusan para majelis hakim atas dua perkara itu, katanya, ihwal pemanfaatan pulau kecil dan perairan yang tidak untuk pertambangan.
“Untuk itu, kami menuntut pemerintah, terutama Menteri ESDM selain harus segera mencabut izin tambang TMS, juga segera evaluasi dan mencabut seluruh izin tambang di atas pulau-pulau kecil di Indonesia.”
*******