Mongabay.co.id

Melongok Budidaya Kima dan Kehidupan Nelayan di Pesisir Desa Tembok

 

Hamparan pasir hitam bercampur batu-batuan vulkanik di pesisir perbatasan Bali timur dan utara memberi kehangatan. Berbeda dengan pesisir selatan yang dipenuhi akomodasi dan beach club, pesisir di timur laut ini masih leluasa untuk nelayan tradisional.

Inilah kehidupan pesisir Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Bisa diakses sekitar 3 jam berkendara dari Kota Denpasar. Jika menelusuri pesisir timur Bali, untuk menuju desa ini akan melewati Desa Tulamben yang populer sebagai site penyelaman.

Perahu nelayan parkir di bibir ombak karena bebatuan vulkanik dari letupan Gunung Agung membuat proses mendorong perahu tak mudah. Pesisir utara dan timur tak selandai sisi selatan seperti Kuta dan Sanur yang sudah diisi ulang dengan pasir karena mudah abrasi.

Dewa Putu Artawan, seorang nelayan muda tengah bersiap melaut. Ia mengecek mesin dan perbekalan menuju cakrawala. Kenaikan harga bahan bakar minyak masih meresahkan karena menambah biaya sementara hasil melaut tak menentu. Bahkan beberapa bulan setelah kenaikan BBM, nelayan sulit membelinya. Walau sudah mengurus administrasi surat rekomendasi memperoleh harga subsidi dengan kuota 30 liter per hari.

Jika mesin tempel perlu sekitar 60 liter per hari, maka biaya BBM saja sekitar Rp600 ribu. Nelayan harus bersiasat, mencoba berbagai alat pancing dan jenis tangkapan untuk mampu menambal biaya BBM saja. Belum lagi perbaikan alat tangkap dan mesin jika rusak. “Nelayan kecil menangis,” serunya antara sedih dan kelakar.

baca : Melihat Cara Warga Lindungi Hutan Sakral Desa Les

 

warga menikmati pesisir desa tembok. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu cara lain adalah membuat rumpon di tengah laut secara kolektif. Rumpon dinilai mampu menarik ikan-ikan berkumpul di sekitarnya. Terlihat sejumlah titik rumpon tersebar dengan jarak berdekatan.

Para nelayan juga memohon berkah di Pura Segara, tempat sembahyang untuk menghormati penguasa laut dan isinya. Memohon keselamatan dan berkah segara. Pura Segara di pesisir Desa Tembok nampak indah dengan patung ikan di halaman depan.

Di sekitarnya, warga menikmati senja dengan berenang atau main di pantai. Air laut nampak jernih dengan ombak yang menghantam pelan. Seorang pedagang keliling yang menjajakan menu lokal seperti sayur urab dan cemilan dikerubuti pembeli.

Jejak abrasi juga nampak dari gerusan air laut di kebun-kebun kelapa dan jalan setapak. Inilah salah satu alasan nelayan makin sulit memarkir perahunya. Ruangnya menyempit.

Tak jauh dari titik keramaian warga menikmati pantai, ada sebuah pusat budidaya kima dikelola PT Dinar, perusahaan budidaya ikan hias dan kima. Setelah mendapat izin pengelolanya, baru dipersilakan masuk ke dalam melihat kolam-kolam kima.

Dikutip dari laman kkp.go.id, kima adalah biota moluska bertubuh lunak dan bercangkang yang masuk dalam kelas bivalvia, pada umumnya disebut kelompok kerang-kerangan. Kerang ini umumnya hidup di habitat terumbu karang, berukuran besar serta berumur panjang.

baca : Kima dan Potensi Laut Bangka yang Harus Dijaga

 

Budidaya kima yang berperan dalam ekosistem laut. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Secara global, 12 jenis kima telah diidentifikasi, 8 jenis di antaranya ditemukan di perairan Indonesia. Spesies baru yang ditemukan di Indonesia adalah Tridacna kimaboe yang dinamai sesuai dengan penamaan lokalnya yaitu kimaboe, ditemukan di perairan Toli-Toli, Sulawesi Tenggara pada  2011. Pada 2013 ditetapkan sebagai spesies baru oleh John Lucas, peneliti kima raksasa dari   Centre for Marine Science School of Biological Sciences University of Queensland, Australia (Mae, 2013).

Dilihat dari cara hidupnya kima dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah kima yang membenamkan dirinya pada substrat karang, contohnya adalah Tridacna crocea dan Tridacna maxima. Sedangkan golongan kedua adalah kima yang hidupnya menempel bebas di dasar yang berpasir di daerah terumbu karang, contohnya adalah Tridacna derasa dan Tridacna squamosa (Kastoro, 1979). Tridacna hidup menempel membenamkan diri pada substrat keras (batu karang) dengan menggunakan bysus, sedangkan Hippopus hidup pada substrat berpasir dan dapat ditemukan sampai kedalaman 6 meter (Knopp, 1995).

Kima cenderung hidup menetap (tidak berpindah tempat) pada substrat dan ditemukan pada perairan dangkal sampai pada kedalaman 20 meter, terutama pada ekosistem terumbu karang dengan kondisi air yang jernih, serta perairan yang cerah. Perairan yang cerah dan jernih merupakan faktor utama dari habitat yang sesuai untuk kima. Jika sedikit saja terdapat sedimentasi yang menyebabkan kekeruhan, maka dapat memengaruhi pertumbuhan kima.

Sampai batas tertentu yang melewati batas toleransi maka kima akan mati, hanya cangkangnya yang tertinggal. Selain itu, kecerahan juga berpengaruh terhadap zooxanthella yang bersimbiosis dengan kima. Kima berfungsi sebagai filter feeder yang mampu menyaring berton-ton air dalam sehari. Selain itu, mantel kima menjadi substrat yang baik bagi zooxanthellae, keduanya simbiosis mutualisme. Menciptakan ekosistem kecil dengan daur makanan seimbang.

Hal unik lain, kima disebut bersifat protandrous hermaphrodite, artinya setiap individu kima dilengkapi oleh sel-sel telur dan sperma namun pemijahannya selalu didahului oleh pengeluaran sperma, kemudian baru diikuti oleh pelepasan telur-telur. Telur-telur kemudian menyebar terbawa arus dan dapat merangsang induk-induk kima yang lain untuk memijah secara serempak atau simultan (Lucas, 1988).

baca juga : Taman Kima dan Konservasi Berkelanjutan di Gorontalo

 

Warna mantel kima yang indah. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Putu Bangkit, salah seorang perawat kima menjelaskan semua di kolam tidak diberi makan karena sudah bersimbiosis mutualisme dengan zooxanthellae. Setelah tiga tahun, barulah terlihat warna pada mantelnya. Tempat hidup zooxanthellae ini mudah sekali menguncup jika didekati atau dipegang.

Di salah satu kolam dengan air dangkal, terlihatlah kima dengan warna-warna mantel cantik hijau dan biru. Mirip dengan kima besar (Tridacna maxima). Pembudidaya harus ekstra sabar karena pertumbuhannya lambat. Misalnya di kolam lain, benih-benih kima tak nampak dalam kolam saking kecilnya padahal sudah berusia beberapa minggu. Ada juga kima di kolam yang ditandai dengan umur lebih tua sekitar 5 bulan dan 1,5 tahun. Barulah terlihat cangkang-cangkang kima berwarna putih abu-abu di dasar kolam.

Bangkit mengatakan aktivitas paling sibuk saat membersihkan kolam setiap hari agar lumut tak subur. Kima hidup di air bersih tanpa sedimentasi.

Pemerintah melarang pengambilan kima di alam karena kehadirannya dibutuhkan dalam ekosistem dan pertumbuhannya lambat. Karena itu kerap ada restocking atau pengembalian bibit kima dan abalon ke sejumlah laut di Bali. Perannya unik sebagai filter air, indikator kualitas lingkungan, dan lainnya. Namun di pulau-pulau kecil, tak sedikit warga mengambil kima. Cangkangnya kerap terlihat jadi material bangunan atau wadah-wadah pembuatan garam tradisional. Terutama jenis kima raksasa.

Kehidupan pesisir di desa-desa pelosok ini jarang dieksplorasi untuk pengembangan perikanan tangkap dan budidaya, terutama di Bali karena fokus menjadikan pesisir sekadar obyek lokasi akomodasi pariwisata. Padahal potensinya cukup besar dan beragam.

Selama tiga tahun terakhir, produksi ikan meningkat. Dikutip dari data BPS Bali, pada 2019 jumlahnya 112 ribu ton lebih, meningkat jadi lebih dari 127 ribu ton (2020), lalu 141 ribu ton (2021). Produksi ikan mencakup semua hasil penangkapan/budidaya ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang ditangkap/dipanen dari sumber perikanan alami atau dari tempat pemeliharaan, baik yang diusahakan oleh perusahaan perikanan maupun rumah tangga perikanan. Produksi yang dicatat tidak hanya yang dijual saja tetapi termasuk juga yang dikonsumsi oleh rumah tangga atau yang diberikan kepada nelayan/pekerja sebagai upah.

 

Exit mobile version