Mongabay.co.id

Menyoal Perppu Cipta Kerja [1]

 

 

 

 

“Jadi,  memang kenapa perppu, kita ini keliatannya normal, tetapi diintip ancaman ketidakpastian global….” Begitu alasan Presiden Joko Widodo,  menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2/2022 tentang Cipta Kerja,  akhir Desember lalu.

Berbagai kalangan masyarakat sipil pun menilai,  dan organisasi lingkungan, perppu sebagai “pembangkang terhadap konstitusi” karena melawan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan dan menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil atau inkonstitusional bersyarat.

Mahkamah Konstitusi tegas menyatakan, UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Pemerintah harusnya perbaikan produk hukum omnibus law itu dengan waktu selama dua tahun sejak putusan.

Berdalih mendesak, kekosongan hukum dan upaya memberi kepastian hukum, perppu ini keluar.

Puspa Dewi, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif Walhi Nasional, mengatakan,  tidak ada situasi darurat yang jadi argumen untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja.  Tepatnya, peraturan pengganti ini tak memenuhi syarat “ihwal kegentingan yang memaksa” atau dalam “keadaan bahaya.”

“Tidak terpenuhinya syarat ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, kekosongan hukum serta tidak dapat diatasi dengan membuat Undang-undang secara prosedur biasa berdasarkan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009,” kata Puspa, dalam keterangan tertulis kepada Mongabay.

Perppu ini, katanya,  seakan jadi jalan pintas pemerintah mengakali putusan Mahkamah Konstitusi dan menghindari penolakan masif terhadap omnibus law ini.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, perppu ini menunjukkan watak kekuasaan rezim yang dikendalikan pebisnis dan masa bodoh dengan gelombang penolakan rakyat.

“Rezim cukup lihai memanfaatkan kekuasaan politik untuk kepentingan bisnis. Sisi lain, secara sistematis mempersempit ruang gerak warga mempertahankan hak atas ruang hidupnya,” katanya.

Dari cermatan dan analisis Jatam, perppu sekadar slogan populis untuk mengatasi ancaman krisis, cipta lapangan kerja, dan seolah-olah pemerintah melakukan perbaikan padahal sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Dalam perppu ini,  sama dengan UU Cipta Kerja seperti, sentralisasi perizinan ke pemerintah pusat serta mempertahankan siasat-siasat licik menaklukan ruang melalui proyek strategis nasional (PSN), kawasan industri, kawasan strategis nasional, dan kawasan ekonomi khusus.

 

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, sekiyat 3,4 juta hektar. Ada Perppu UU Cipta Kerja ini guna ‘menyelesaikan’ urusan para pebisnis yang ada di dalamnya? Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kepentingan siapa?

Asep Komaruddin, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, menduga ada kepentingan politik di sektor bisnis perusak lingkungan dan investasi berbasis industri ekstraktif rakus lahan di balik penerbitan perppu ini.

Dilihat dari beberapa pasal dalam Perppu Cipta Kerja merupakan duplikasi dari UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, katanya,  tidak ada perubahan signifikan dalam peraturan pengganti itu.

Dia sebutkan, dalam Pasal 128A Perppu Cipta Kerja, pemerintah juga memberikan royalti 0% kepada pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) batubara yang melakukan hilirisasi.

“Aturan ini bukan hanya akan memangkas pendapatan negara dalam jumlah cukup besar, juga berpotensi menghambat upaya transisi ke energi bersih dan terbarukan,” kata Asep.

Pemberian royalti 0% juga bisa mendorong perusahaan tambang ramai-ramai melakukan hilirisasi, hingga berisiko memperpanjang usia konsumsi energi kotor itu.

Jamil bilang, pada sektor pertambangan batubara pengenaan royalti sebesar 0% UU Cipta Kerja justru makin kuat di perppu dengan menambahkan kata IUP dan IUPK.

“Dari 11 perusahaan tambang yang berkomitmen untuk hilirisasi batubara, tujuh untuk proyek gasifikasi batubara dengan produk akhir dimethyl ether dan metanol.”

Tujuh perusahaan yang disebut antara lain PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Kaltim Nusantara Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Berau Coal.

“Proyek gasifikasi dari tujuh perusahaan itu ditaksir membutuhkan pasokan batubara mencapai 19,17 juta ton setiap tahun.”

Sisi lain, perppu juga memberi ruang bagi korporasi untuk menambang di laut dalam dan boleh dumping. Klausul  ini, katanya, memberi kemudahan bagi korporasi tambang yang tengah mengajukan proyek pembuangan limbah di laut dalam (deep sea tailing placement/DSTP) di perairan Morowali, Sulawesi Tengah dan Pulau Obi, Maluku Utara.

Ada pula bagian dalam perppu itu soal seluruh perizinan terkait tenaga nuklir diambil alih pemerintah pusat. Jatam bilang, perppu ini memuluskan jalan bagi pemerintah yang ngotot mengembangkan pembangkit energi dari nuklir.

Kemudian Pasal 41 Perppu mengubah Pasal 5 UU Panas Bumi, justru melanggengkan perambahan kawasan hutan lindung, hutan konservasi, kawasan konservasi di perairan dan wilayah laut lebih dari 12 mil.

 

Koalisi Masyarakat Bengkulu menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa, 8 September 2020. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Ada juga pasal-pasal yang membuka kriminalisasi bagi rakyat, seperti, di sektor minerba, bagi rakyat yang mempertahankan ruang hidup diancam pidana satu tahun denda Rp100 juta.

Hal sama juga di sektor panas bumi yang memberi ancaman sanksi bagi warga dari satu tahun jadi tujuh tahun denda Rp100 juta jadi Rp700 juta.

Asep mengatakan,  ada pasal “pemutihan” seperti Pasal 110A dalam UU Cipta Kerja maupun perppu yang tidak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tak memiliki perizinan dan telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku.

Puspa menyebut, pasal-pasal lingkungan hidup di perppu inilah yang berisiko memperburuk kualitas lingkungan hidup, mempercepat perampasan ruang, dan perampasan wilayah kelola rakyat.

“Serta mempersempit ruang partisipasi rakyat dalam menentukan kondisi lingkungan yang baik dan sehat.”

 

Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Perppu UU Cipta Kerja juga untuk melancarkan bisnis ini dan hilirisasinya? Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Final karena putusan itu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat putusan itu, katanya, tak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Secara formal, UU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan dalam lembaran negara, kata Maria, masih eksis karena tidak dicabut, tetapi sudah tidak berlaku lagi, termasuk peraturan pelaksananya.

Asep berpendapat, putusan MK itu mengharuskan ada perbaikan dalam muatan materi UU Cipta Kerja dan harus melibatkan partisipasi publik. Dengan perppu,  presiden mencabut UU Cipta Kerja dengan alasan kegentingan itu dipaksakan.

Jamil pun bilang, alas an ancaman global sebagai omong kosong.

Dia curiga perppu ini sebagai aksi memberi jaminan hukum bagi keamanan dan keberlanjutan investasi para pebisnis sebelum mengakhiri kekuasaan politik awal 2024. (Bersambung)

 

*******

 

 

 

Exit mobile version