Mongabay.co.id

Resahnya Petani Jagung di Sikka dengan Ulat Grayak

 

 

Perubahan iklim berdampak pada tanaman jagung di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Musim hujan yang biasanya terjadi di Oktober hingga Februari, kini sulit diprediksi. Kadang hujan rutin turun, namun kadang panas hingga dua minggu.

“Saya sudah tiga kali tanam, tapi tidak berhasil,” ucap Cecilia Soge, petani jagung di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Kamis [12/01/2023].

Di kebunnya seluas seperempat hektar, terlihat tanaman jagung tumbuh tidak merata, juga ruang yang kosong. Bukan hanya karena cuaca, pohon jagungnya juga diserang ulat grayak. Pucuk-pucuk daun terlihat rusak dan berlubang.

“Saat cuaca panas, banyak pohon jagung diserang. Biasanya, ulat bergerak malam hari sementara siang bersembunyi di tanah,” ucapnya.

Menurut perempuan paruh baya ini, sejak tiga tahun terakhir, hama ulat menyerang jagung. Namun, kondisi terparah pada 2020 lalu.

“Saat itu, saya panen 12 bese [jumlah jagung yang diikat]. Satu bese berisi 100 tongkol,” ujarnya.

Kabupaten Sikka sebagaimana kabupaten lain di NTT, memiliki hari hujan sedikit. Berdasarkan BPS Kabupaten Sikka 2021, dalam setahun jumlah hari hujan sebanyak 115 hari.

Curah hujan terbanyak selama 24 hari terjadi pada Februari sebesar 409,8 mm³. Rata-rata curah hujan selama tahun 2021 sebesar 118,73 mm³.

Baca: Rahasia Jagung Manis, Rasa Manisnya Berkurang Jika Terlalu Lama Disimpan

 

Cecilia Soge, petani jagung di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang membersihkan larva ulat grayak. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pemantaun hama

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Yohanes Emil Satriawan menyebutkan, ulat menyerang tanaman jagung di 21 kecamatan. Paling banyak terjadi di Kecamatan Kewapante, dari total tanaman 143,25 hektar serangan ulat mencapai 138,25 hektar.

Di Kecamatan Magepanda, sebanyak 45 hektar habis dimakan ulat. Sementara di Kecamatan Waigete, dengan luas lahan 845 hektar yang diserang hanya 6 hektar.

“Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) sedang melakukan pengendalian dengan menyemprot insektisisa,” ungkapnya, Rabu [04/01/2023].

Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, pada musim tanam 2020/2021 sebanyak  2.066 ha dari total luas 14.694 ha tanaman jagung di 133 desa diserang ulat.

Keseluruhan, lahan di Provinsi NTT yang diserang ulat grayak sebesar 10.653 ha dari total luas 680.696 ha.

Baca: Inilah Momala, Jagung Lokal Berwarna Ungu dari Gorontalo

 

Larva ulat grayak yang menempel pada daun jagung di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pencegahan dan pengendalian

Rais Sulistyo Widiyatmoko, Fungsional POPT Ahli Muda D.I.Yogyakarta, dalam tulisannya di dpkpdiy.go.id menjelaskan, Spodoptera frugiperda merupakan hama jenis baru di Indonesia.

Rais menyebutkan, hama ulat grayak [Spodoptera frugiperda] merupakan serangga ngengat asli daerah tropis yang sebelumnya hanya ditemukan pada tanaman jagung di Amerika Serikat, Argentina, dan Afrika.

Tahun 2018 hama ini memasuki Asia di kawasan India, Myanmar, dan Thailand. Maret 2019 merusak tanaman jagung dengan tingkat serangan berat di Kabupaten Pasaman Barat [Sumatera Barat], lalu menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.

“Fase paling merusak saat larva atau ulat. Hama ini merusak tanaman jagung dengan cara menggerek daun tanaman,” tulisnya.

Bahkan pada kerusakan berat, kata Rais, kumpulan larva hama seringkali menyebabkan daun tanaman hanya tersisa tulang serta batang tanaman. Apabila kumpulan larva mencapai kepadatan rata-rata populasi 0,2 -0,8 larva per tanaman, akan berdampak pada pengurangan hasil produksi sebanyak 5 -20%.

Baca juga: Kekeringan dan Terserang Hama Ulat Grayak Ancam Produksi Jagung di Sikka. Apa Solusinya?

 

Ulat grayak yang begitu hebat menyerang tanaman jagung. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kepala Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Nusa Nipa [Unipa] Maumere, Yoseph Yacob Da Rato menyebutkan, ulat grayak yang mewabah di Indonesia yakni Spodiptera exigua atau larva berwarna cokelat kehijauan dan Spodoptera litura atau larva berwarna cokelat.

Ada beberapa teknik pengendalian. Dari kultur teknis, berupa penggiliran tanaman dan tumpang sari. Petani harus memiliki benih yang baik dan kultivar unggul yang toleran terhadap hama.

Dari kultur mekanik atau fisiologis, telur dan larva dikumpulkan lalu dimusnahkan. Bisa juga dengan cara murah yaitu air dimasukkan ke baskon lalu diberi cahaya lampu agar larva masuk ke air.

 

Ulat grayak yang berlindung di tanah siang hari dan menyerang tanaman jagung malam hari di Kabupaten Sikka, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Untuk kultur biologis, pengendalian bisa menggunakan predator dan parasitoit. Predator berupa musuh alami sementara parasitoit adalah hama atau serangga baik yang menempelkan telurnya pada hama dan masuk ke dalam, menghancurkan hama penganggu.

Sedangkan dari kultur kimia, dilakukan dengan penyemprotan pestisida, setelah dilakukan pemantauan dahulu dan serangan hama diatas 20 persen.

“Tetapi ada standar, agar aman secara ekologis dan menguntungan secara ekonomis,” jelasnya.

 

Exit mobile version