Mongabay.co.id

Derita Petani Sawit Transmigran di Jambi yang Lahannya Berkonflik

 

 

Sulaiman [40] bergegas menuju kebun sawitnya, sekitar dua kilometer dari rumahnya di Desa Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.

Temannya mengabarkan, ada alat berat yang menggali kebunnya.

“Kebun sawit saya mau dibongkar,” ucapnya, Senin [31/10/2022].

Galian itu membentuk parit yang tersambung ke kanal besar. Sejumlah pohon sawit yang buahnya baru dipanen sebanyak 200 kilogram itu roboh. Begitu juga beberapa pohon kecil yang baru ditanam, sebagai sisipan, rusak juga.

“Padahal, hasil kebun ini yang membiayai sekolah anak-anak saya,” terangnya.

Sulaiman meminta sang operator menghentikan kegiatan itu. Namun, seorang pengawas mendatanginya dan mengatakan bahwa lahan tersebut milik Junaidi.

Sulaiman menjelaskan, kebunnya merupakan lahan usaha [LU 1] dari pemerintah yang diberikan untuk warga transmigran. Lahannya sudah bersertifikat.

Namun, perobohan tetap dilakukan.

“Saya hanya diam. Katanya, akan diberikan ganti rugi, tapi sampai sekarang tidak ada,” jelasnya.

Hal yang sama dialami petani sawit Mekar Sari lain, Abdullah [70] dan Juhairiah [65], istrinya. Kebun mereka diserobot Junaidi, saat sawit mulai berbuah pasir.

“Kebun ini harapan keluarga, bapak sekarang terbaring lumpuh,” terang Juhairiah, saat mendatangi pos pengaduan korban mafia tanah, yang dibangun warga bersama Walhi Jambi di RT 5 Desa Mekar Sari.

Lahan LU 1 Juhairiah ditanami dengan sawit. Pada tahun 2010 lahan itu sudah diterbitkan sertifikat.

“Sejak 2010, LU 1 kami sudah bersertifikat. Sekitar 150 batang sawit kami dirobohkan, diserobot cukung tanah,” terangnya.

Di Mekar Sari, berdasarkan laporan posko pengaduan, Junaidi menguasai sekitar 308 hektar lahan milik 200 kk transmigran. Terdiri dari lahan usaha 1 seluas 108 hektar dan lahan usaha 2 seluas 200 hektar.

Sementara di Desa Tebing Tinggi, dari 150 KK warga transmigran sebanyak 42 KK menjadi korban, dengan luas lahan yang dikuasai Junaidi seluas 78 hektar. Semua lahan sudah ditanami sawit, sebagian telah berbuah.

Penyerobotan lahan juga terjadi di beberapa desa seperti di Rawamekar [150 KK], di Desa Padang Kelapo, dan Kembang Sri.

 

Lahan sawit masyarakat Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, yang hingga saat ini bersengketa dengan mafia tanah. Foto: Dok. Masyarakat Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Jambi

 

Kehilangan penghasilan

Hilangnya lahan, membuat sejumlah warga kehilangan mata pencaharian. Siswanto, warga Tebing Tinggi terpaksa bekerja sebagai buruh tebas di perusahaan sawit. Sehari kerja upahnya  Rp107.000. Tapi, tidak setiap hari dia kerja, karena usinya tidak muda lagi.

“Ini terpaksa dilakukan. Bila mengandalakan sawit di rumah hanya ada 335 batang, paling hanya 200 kilogram. Tidak cukup untuk kebutuhan,”katanya.

Sudah 12 tahun, konflik lahan berlangsung. Warga transmigran sudah mengadukan ke Pemerintah Provinsi Jambi, mendatangi Dinas Transmigrasi Provinsi Jambi, Kanwil ATR/BPN Provinsi Jambi, menghadap Gubernur, juga mengadu pada tim pansus penyelesian konflik lahan di DPRD Jambi. Hingga kini belum ada kepastian.

Agustus 2022 lalu, perwakilan warga yang didampingi Walhi Jambi, mengadu ke Kementerian PDTT, ATR/BPN, hingga Kantor Staf Presiden.

“Kami produk transmigrasi gagal. Kami hanya menuntut lahan negara yang diberikan kepada kami dikembalikan,” kata Sardi, warga Mekar Sari.

 

Lahan sawit masyarakat Mekar Sari yang sudah bersertifikat diserobot mafia tanah. Foto: Dok. Warga Desa Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Batanghari, Jambi

 

Warga dipenjara

Rahman [65], warga Kembang Sri menjadi korban akibat konflik ini. Tanahnya, seluas 2,5 hektar yang merupakan warisan orangtua, diserobot Junaidi untuk ditanam sawit. Berang melihat kejadian itu, dia merusak sawit tersebut.

Akibat perbutannya, Rahman dilaporkan ke polisi dan harus “menginap” dua bulan sebagai tahanan. Putusan pengadilan menyatakan dia bersalah, harus menjalani hukuman pidana.

Sebelum itu, Rahman melalui penasehat hukumnya Ramos Hutabarat yang juga mendampingi para korban penyerobotan lahan, mengatakan ada upaya damai yang ditawarkan Junaidi.

“Syarat damai, Rahman harus menyerahkan tanahnya ke Junaidi. Klien kami jelas menolak, tanah itu jelas miliknya,” terang Ramos, Kamis [17/11/2021].

Rahman melakukan perlawanan. Dia mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Batanghari. Upayanya membuahkan hasil. Pengadilan memenangkan gugatannya, menyatakan Rahman sebagai pemilik sah.

Junaidi mengajukan banding, namun kalah. Hingga tingkat kasasi, Mahkama Agung memenangkan Rahman. Tak puas, Junaidi mengajukan Peninjauan Kembali [PK].

“Kami melihat ada upaya kriminalisasi terhadap petani kecil seperti Pak Rahman  yang menolak menyerahkan lahannya. Bahkan, Pak Rahman dituntut ganti rugi. Kami sangat menyayangkan kejadian ini,” ujar Ramos.

 

Juhairiah menunjukkan sertifikat tanahnya, namun tetap saja diserobot mafia tanah. Foto: Dedy Nurdin/kilasjambi

 

Alex Sudirman, anggota tim penasehat hukum Junaidi, mengatakan ada kesalahan objek dalam perkata tersebut sehingga pihaknya melayangkan PK. Bahkan, pengajuan gugatan ganti rugi materil dua juta Rupiah dan in materil satu miliar Rupiah.

“Pengrusakan tanaman sudah terbukti tindak pidananya di Pengadilan Negeri Muara Bulian. Kami menggugat ganti rugi,” kata Alex, mewakili kliennya.

Disinggung kasus penyerobotan lahan milik petani di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi, Alex mengatakan harus ada bukti kepemilikan sah melalui pengadikan.

“Silakan buktikan di pengadilan jika merasa sebagai pemilik sah,” jelasnya singkat, dikonfirmasi  Kamis siang [03/11/2022].

Konfirmasi kepada Junaidi melalui telepon pribadinya, kami lakukan. Namun, tidak tersambung, hingga tulisan ini diterbitkan.

 

Posko pengaduan warga Desa Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, yang tanahnya bersengketa dengan mafia. Foto: Dedy Nurdin/kilasjambi

 

Sikap tegas negara

Direktur Eksekutif Walhi Jambi Abdullah, menilai perlu adanya sikap tegas negara terhadap aksi para mafia tanah di Jambi.

“Hari ini, tanah para transmigran yang diberikan negara diserobot mafia tanah. Kami sudah sampaikan ke Kementerian ATR/BPN hingga Kantor Staf Presiden. Jawabannya, pemerintah masih mendalami,” ujarnya, Jumat [23/09/2022]

Abdullah mengatakan, sengketa agraria petani kecil dengan mafia tanah maupun korporasi, tidak hanya terjadi di Kabupaten Batanghari. Di beberapa kabupaten juga belum ada titik terang.

Menurut analisa Walhi Jambi, tidak ada masalah dengan dasar kepemilikan lahan para korban. Semua jelas, sesuai SK Penempatan disertai SK Pencadangan Tanah, peta LU 1 dan LU 2. Tidak ada tumpang tindih.

Anehnya, kata Abdullah, tawaran dari pemerintah kabupaten adalah ganti rugi lahan dengan seekor sapi. Ini mengindikasikan, ada hal yang disembunyikan.

“Sejarahnya jelas, ada tuan tanah yang mengambil kayu lebih dulu kemudian ingin memiliki lahan. Faktanya, itu lahan warga yang harus dikembalikan. Bila masalah ini tidak diselesaikan, akan kami arahkan ke ranah rukum dengan konsekuensi membongkar semua pihak yang terlibat,” tegasnya.

Mengutip Antara tahun 2012, dengan judul “Ratusan Transmigran Tidak Dapat Lahan Garapan”,  Nakir, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Batanghari, saat itu  mengatakan tidak ada lagi lahan di UPT Tebing Jaya. Semua lahan telah dikuasi warga dan perusahaan.

Sesuai SK Pencadangan, alokasi lahan untuk transmigrasi di UPT Tebing Jaya seluas 5.500 hektar. “Tidak ada alokasi untuk 639 kepala keluarga transmigran dan tempatan.”

Pemerintah Kabupaten Batanghari pernah memberikan tawaran ganti rugi lahan dengan satu ekor sapi. Namun, hal ini dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

“Sebagian warga menolak,” ujar Sardi.

 

Rumah warga Mekar Sari yang ditinggalkan pemiliknya karena harus mencari pekerjaan di tempat lain karena kebun sawitnya diserobot mafia tanah. Foto: Dedy Nurdin/kilasjambi

 

Perusahaan dibalik layar?

Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS], mengatakan kasus konflik lahan antara petani dengan pemilik modal atau perusahaan masih tinggi. Tidak hanya di Jambi, tapi hampir seluruh wilayah Indonesia, meski kasus paling banyak di Sumatera.

Selalu ada peran cukong dengan pemodal besar, dalam proses ini, walaupun lahan itu masuk tanah negara atau milik masyarakat.

“Kemudian ditanami, dijadikan perkebunan agar tanah itu memiliki nilai ekonomi besar ketika mereka jual. Harganya tentu naik tiga sampai empat kali lipat,” jelasnya, Rabu [16/11/2022].

Menurut Darto, ada pola penguasaan lahan dengan memanfaatkan cukong lokal. Tapi, dibalik itu semua ada perusahaan yang bermain.

“Namun, untuk kasus petani di Mekar Sari perlu analisa,” lanjutnya.

Dikatakan Darto, perdagangan minyak sawit ke pasar Eropa sudah diperketat. Tidak diizinkan menjual CPO yang diperoleh dari areal deforestasi, wilayah di taman nasional, atau lahan konflik. Aturan ini sudah disepakati perusahaan besar.

Faktanya, masih ada perusahaan menolak pendekatan melacak sumber produk sawit yang di jual. “Ini menandakan, masih ada yang menampung minyak sawit dari lahan konflik.”

Jika pemerintah ingin mewujudkan kemandirian petani sawit maka harus ada rencana besar. Jangan lagi ada perusahaan bekerja seperti petani, membangun lahan perkebunan, juga mengelola dan memanen sawit sendiri.

Perusahaan fokus saja pada pengelolaan pabrik skala besar.

“Kalau mau mandiri, setop saja HGU. Izin yang habis jangan diperpanjang. Kembalikan kepada masyarakat,” ujar Darto.

Pemerintah juga harus lebih cepat merespon persoalan konflik pada petani.

“Perlu ada tekanan dari pemerintah pusat ke daerah, untuk segera menyelesaikan sengketa lahan,” tegasnya.

 

* Dedy Nurdin, jurnalis kilasjambi.com.

Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.

 

Exit mobile version