Mongabay.co.id

Rawat Bambu Papring, Upaya Konservasi dan Jaga Warisan Leluhur

 

 

 

 

Tangan Saona Lesmi, cekatan mengambil tunas cabang  bibit ukuran sekitar 20 sentimeter dan menanam ke dalam polybag. Saona satu dari belasan perempuan Papring, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur,  yang ikut pelatihan pembibitan bambu yang diadakan Sekolah Adat Kampoeng Baca Taman Rimba (Batara).

Mereka tanam bambu di dalam green house ukuran sekitar 4×8 meter di samping Rumah Bambu Papring, fasilitas milik Kampoeng Batara sebagai tempat pembibitan bambu. Mereka bergantian mengambil tunas cabang bambu siap tanam dan masukkan polybag yang disiapkan.

“Mana bibitnya? Satu orang bisa tanam lebih dari satu?” kata seorang peserta di pintu masuk. Beberapa perempuan lain mengikuti di belakang dan masuk dalam green house.

Musyarofa, peserta lain senang dengan pelatihan itu. Biasa dia jadikan bambu beragam kerajinan, seperti besek dan wadah sovenir.

“Sebenarnya, warga sini sudah lama memanfaatkan bambu untuk banyak kebutuhan. Seperti wadah atau peralatan dapur, besek, juga bentuk lain. Sejak ada Batara, kami mengembangkan ke banyak bentuk. “

Dia dan beberapa anggota keluarga di rumah biasa buat besek untuk dijual. Dalam waktu kurang sebulan, biasa buat 200-500 besek ukuran kecil.  Mereka menjualnya dengan dibawa ke pasar di kota atau ada pengepul datang ambil ke rumah.

Perempuan 27 tahun itu bilang, masyarakat juga memanfaatkan bambu untuk buat gedek, penyanggah rumah atau meterial lain untuk  bangunan.

“Kalau ada yang tahu bikin tas, ya bikin. Cuma kalau saya belum paham dan masih tahap belajar. Biasa saya datang ke sini sore, saya ikut sekolah kesetaraan atau paket di sini. Karena ada pelatihan, saya datang pagi. Senang bisa ikut pelatihan ini.”

 

Baca juga: Cerita dari Kampoeng Batara, Sekolah Adat Berbasis Konservasi di Banyuwangi

Besek, hasil kerajinan perempuan Papring. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa jam sebelumnya, mereka mengikuti pembekalan materi pembibitan. Hadir Hasyim Asy’ari, dosen Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banyuwangi sebagai fasilitator.

Hasyim mengatakan, kegiatan itu wujud dukungan terhadap konservasi-inventarisasi bambu warga Papring melalui Kampoeng Batara.

Mereka juga  bangun green house untuk pembibitan bambu. Dalam kegiatan itu, dia menyampaikan materi tanaman dan metode penanaman sekaligus perawatan.

Menurut dia, bambu bagi masyarakat Papring adalah bagian dari warisan leluhur juga keberlangsungan hidup.  Bambu bisa jadi tanaman konservasi untuk kelestarian alam, wujud pengetahuan lokal, juga untuk sumber ekonomi.

“Tak bisa bambu diambil untuk dimanfaatkan secara terus menerus tanpa ada penanaman dan perawatan. Ada program ini, diharapkan dapat menjadi sumbangsih atau dukungan moril dan materil kepada masyarakat Papring.”

Adapun pembibitan yang mereka lakukan dengan cara mengambil tunas dari hutan dekat Papring. Ada tiga jenis bambu jadi bahan pembibitan,  yakni, bambu watu, ori, dan serit.

Tiga jenis bambu itu, katanya,  sering untuk kerajinan dan sandang lain.

Hasyim bilang, ada 176 spesies bambu di Indonesia dari 1.620 spesies di dunia. Sebanyak 105 jenis endemik Indonesia. Sedang bambu yang sering dimanfaatkan antara lain, bambu ori,  apus, petung,  hitam, wulung,  gombong dan bambu kuning.

Hasyim bilang,  pemanfaatan bambu oleh masyarakat harus diimbangi penanaman agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Suwadi, asisten Perhutani BKPH, Ketapang,  Banyuwangi Utara mengatakan, kegiatan konservasi bambu Batara, masuk ke  ranah sosioekologi atau keterkaitan antara sosial, ekonomi, dan ekologi.

 

Pelatihan pembibitan dan tanam bambu di Sekolah Batara. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Dia senang masyarakat di sekitar Papring tak hanya memanfaatkan hasil hutan kayu maupun non kayu sekaligus juga menjaganya.

“Perhutani sedang menyiapkan kerjasama untuk mengadakan arboritorium bambu. Kami akan sipakan lahan untuk itu. Masyarakat diwadahi Batara, dapat menananam bambu di area itu, dan memeliharanya. Untuk kelestarian hutan, jaga air, juga untuk bisa dimanfatkan untuk kerajinan bambu.”

Selain itu, masyarakat dapat lebih mudah mengenalkan tentang bambu, jenis, dan fungsi kepada generasi muda sesuai nama daerah ini,  papring. Papring,  atau pangonan pring atau tempat dari bambu. Ia dapat menguatkan ikon di sini banyak hutan bambu.

Dia berharap, masyarakat antusias ikut kegiatan ini. Bambu yang dimanfaatkan dari Kawasan hutan itu berada di bawah tegakan.

Dulu, katanya, mayoritas warga hanya menjual bambu glondongan.

Kampoeng Batara memberikan nuansa kreativitas dengan pengetahuan tentang pengembangan kerajinan bambu dalam banyak bentuk dan fungsi. Batara,  sekaligus juga membuka keran ekonomi bagi masayrakat melalui pengetahuan atau kreativitas.

“Kami, mempersiapkan diri untuk terlibat dalam kegiatan Batara yang berkiatan dengan kehutanan. Batara bagian dari gerakan anak bangsa dan perlu didukung.”

Widie Nurmahmudy, pendiri Kampoeng Batara mengatakan, sebagian warga memang menanam bambu setiap tahun. Selain untuk konservasi, tanam bambu juga untuk jaga air di kawasan itu.

“Warga banyak memanfaatkan bambu. Baik untuk papan dan pangan. Kami berpikir, kalau bambu terus digunakan, tanpa ada penanaman, bisa-bisa bambu habis perlahan,” katanya.

 

Kerajinan bambu warga Papring. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Secara historis, kata Widie, masyarakat memang perajin bambu sejak 1970-an. Namun, sempat masuk penggunaan plastik sebagai wadah gantikan peralatan dari bambu.

“Batara ingin mengembalikan kekayaaan pengetahuan soal kerajinan bambu itu. Untuk mempertahankan pengetahuan lokal, kerajinan bambu ini ramah lingkungan dan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal,” katanya.

Batara, katanya,  tidak langsung meminta atau menyuruh masyarakat tak gunakan plastik tetapi memulai dari kegiatan, dan peralatan yang digunakan Batara. “Bangunan, fasiltas bermain di Batara kami gunakan dari alam dan ramah lingkungan.”

Penjualan kerajinan bambu warga banyak tergantung pesanan.

“Sejauh ini, pernah ada pesanan kerajinan nampan dari bambu yang ekspor ke Eropa. Bukan kami yang langsung ekspor. Ada perusahaan pesan, dan dibranding mereka untuk ekspor ke Eropa. Mereka kirim bahan lem dan plamir ramah lingkungan.”

Atmanik, perempuan perajin bambu Papring mengatakan, belajar kerajinan bambu sejak kecil dengan melihat orangtua atau tetangga mengayam bambu.

“Kalau sekarang, buat besek dan kerajinan bambu ketika ada pesanan. Bisa juga untuk jual saat waktu pasaran, tapi ya itu, murah harganya.”

Dia berharap, anak-anak dan generasi muda Papring tetap mempertahankan kerajinan bambu.

Herfan Efendi, anak Kampoeng Batara biasa jual besek ke pasar. Harga besek beragam tergantung ukuran. “Ukuran 11-12 cm persegi  Rp2.000, 14-15 cm persegi Rp2.500 sampai 20 cm persegi Rp4.500,” katanya.

Widie bilang, upaya konservasi bambu ini, juga berhadapan dengan tantangan. Ketika penanaman, usia sebulan dua bulan ada yang mati karena dirusak mereka yang tak peduli.

“Kami, tidak berusaha mencari siapa pelakunya. Kami sadar, mungkin mreka belum mengerti kenapa bambu itu ditanam dan apa pentingnya untuk keberlangsungan hidup.”

 

Anyaman bambu warga Papring. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Tempat pembibitan bambu di Sekolah batara. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonsia

 

****

 

Exit mobile version