Mongabay.co.id

Tak Mau Melulu Sawit, Desa Uraso Punya Beragam Sumber Pangan

 

 

Dolpiace sibuk beres-beres baru usai perhelatan makan siang bersama warga. Ada perbaikan rumah warga sebagai bagian dari program bedah rumah Pemerintah Desa Uraso.

Sebagian makanan masih tersisa. Ada kapurung. Makanan dari bahan sagu olahan, dimakan dengan sayur dan ikan.

“Silakan dicoba, mumpung masih hangat. Ini makanan khas di sini,” kata Dolpiace.

Di Kampung Liku Dengeng,  Desa Uraso, yang berada di Kecamatan Mappadeceng, Luwu Utara, Sulawesi Selatan ini, sebagaimana daerah lain di Luwu Raya, kapurung jadi salah satu makanan utama. Istilah untuk pengolahan kapurung ini adalah mappugalu.

Meski tetap makan nasi, mereka setiap hari ‘wajib’ konsumsi kapurung. Setiap rumah pasti punya sagu. Selain untuk membuat kapurung, mereka juga biasa membuat kue kering yang disebut bagea. Uniknya, meski pangan utama, konsumsi kapurung tidak disebut ‘makan’ tetapi ‘minum’.

“Beda dengan orang Selatan, di sini kami tidak makan, tapi minum kapurung. Alasannya,  kalau makan kan harus dikunyah, sementara kapurung itu lebih mirip cairan, jadi seperti diminum,” kata perempuan 54 tahun ini.

Sagu sebagai bahan utama kapurung biasa mereka beli di pasar. Satu karung ukuran 25 kg dibeli seharga Rp150.000. Sekarung kecil sagu cukup untuk makan sekeluarga selama sebulan. Sagu dinilai lebih hemat dibanding beras.

Sagu jadi makanan pendamping, mungkin juga karena faktor kebiasaan.

Meski dulu di Uraso memiliki banyak tanaman sagu, kini mulai berkurang. Hanya sedikit warga yang memiliki tanaman sagu. Dalam sehektar lahan mereka bisa memiliki 2-4 rumpun sagu.

Banyak yang ditebang ketika sawit masuk dibawa oleh PTPN. Sawit juga dianggap penyebab sagu tak bisa tumbuh besar.

Dolpiace termasuk warga Uraso yang berkonflik dengan PTPN XVI.  Dia generasi kedua yang tinggal dan menetap di Kampung Liku Dengeng, Dusun Kumila, Desa Uraso.

Di wilayah yang diklaim sebagai HGU PTPN XVI ini, dia sekeluarga punya sekitar tiga hektar kebun warisan orangtua.

Dia bersama sekitar 200 warga bertahan di lahan warisan itu karena menjadi satu-satunya tumpuan kehidupan mereka.

“Kalau tanah itu diambil, tak ada lagi sumber kehidupan kami, mau hidup dari mana lagi?”

Di Kampung Liku Dengeng, ada 70 rumah, meski tak semua ditinggali permanen. Sebagian warga jadikan rumah di Liku Deceng sebagai rumah kedua, datang 1-2 kali seminggu untuk berkebun. Tak ada fasilitas publik tersedia, selain keran air untuk pemenuhan air bersih kalau ada hajatan dan kegiatan warga.

Lahan di Kampung Liku Dengeng ini sudah terkelola sejak dulu. Baik di kebun di kawasan hutan maupun di pekarangan rumah. Mereka menanam beragam tanaman pangan, seperti pisang, cabai, tomat, kacang, bayam, kacang panjang, durian motong, durian lokal, kakao, merica dan belakangan ditanami jengkol.

Ada juga tanaman lokal yang disebut dengeng, tanaman liar dengan buah rasa asam yang biasa dicampur di kapurung. Dengeng banyak ditemukan di kampung ini hingga menjadi nama kampung Liku Dengeng, yang berarti tempat dengeng muncul dari pusaran air.

Sebagian warga juga tanam sawit meski tak banyak. Sebagian besar konsumsi sehari-hari dari hasil kebun.

 

Para perempuan Uraso, mau tanam bibit buah-buahan. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Kini,  sebagian besar kebun ditanami jengkol karena perawatan mudah dan harga bagus di pasaran.

“Saya tanam jengkol ada setengah hektar, kalau dihitung ada 70 pohon. Biasanya panen sekali setahun pada Desember. Dari satu pohon bisa dapat delapan kg atau lebih. Hasilnya lumayan untuk biaya hidup keluarga.”

Tanam jengkol, katanya,  tidak susah, tak perlu banyak pupuk. “Panen dan jual juga gampang, ada pembeli yang datang,” kata Dolpiace.

Dari pohon durian dan pisang, dia juga bisa menambah pendapatan keluarga, termasuk dan menyekolahkan anak, meski jumlah pohon tak banyak.

“Sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari ini sudah cukuplah. Paling hanya beli ikan saja. Ini juga mau bikin kolam ikan, mungkin nanti pemerintah mau bantu kasih bibit ikan nila atau bawal,” katanya.

Hal sama diakui Sunarti, juga warga Liku Dengeng. Perempuan 60 tahun ini punya lahan sekitar tiga hektar, terbagi rata untuk dia dan kedua anaknya. Mereka menanam beragam tanaman, paling banyak jengkol. Ada juga pisang tetapi hasil tak ‘berbagi’ dengan monyet.

Kalau dihitung,  dari jengkol lumayan dibanding tanaman lain, bahkan dengan sawit.

Akis Nuru, Ketua Serikat Tani Liku Dengeng, mengatakan, dari satu pohon bisa hasilkan 20 kg jengkol. Dia punya 100 pohon di lahan setengah hektar lebih.

“Dengan harga Rp12.000 per kg, sekali panen bisa sampai Rp20 juta lebih. Harga pernah Rp30.000 per kg. Di awal-awal panen hanya sekali setahun. Saya perhatikan kalau jengkol itu makin tua makin sering berbuah, bisa panen sampai tiga kali setahun.’

Alpius Gade, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Uraso juga sama. Dia punya kebun sekitar satu hektar dan tanam jengkol. Meski andalkan jengkol, Alpius tak menolak sawit. Dia tak mempertentangkan kedua tanaman ini karena punya masa produksi berbeda.

“Kalau jengkol itu tanaman tahunan, tak seperti sawit bisa panen tiap bulan. Saya tanam dua-duanya. Untuk sawit kemarin habis replanting jadi belum ada hasil. Kalau sudah besar bisa panen tiap bulan, penghasilan bisa Rp3 juta-4 juta per bulan.”

Meski demikian, Alpius menilai jengkol tetap penting tidak hanya dari segi ekonomi juga menjaga ketersediaan air di kawasan hutan.

 

Jwngkol, salah satu tanaman andalan warga Uraso. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Jengkol versus sawit

Jengkol mulai jadi tanaman utama di Uraso sekitar 2010. Harga lebih bagus dibanding kakao yang dulu pernah jadi primadona.

Harga jual jengkol menggiurkan dan pemasaran mudah karena pengepul datang ke kampung,  membuat banyak warga tanam jengkol.

Menurut Akis, untuk jengkol perlu sekitar empat tahun setelah tanam. Pada usia lima tahun hasil akan makin banyak dan merata. Tantangan tanaman ini, katanya, saat musim ekstrem.

“Kalau kena hujan terlalu banyak panen akan sedikit. Meski terlihat banyak bunga namun jarang yang tinggal. Kalau terlalu lama panas juga tak bagus karena bunga akan kering. Tanaman ini senang musim yang sedang-sedang.”

Tanaman jengkol terdampak perubahan iklim di mana produktivitas akan berkurang seiring kondisi cuaca yang tidak menentu. Produktivitas bisa berkurang setengahnya ketika pohon gagal berbuah.

Kehadiran jengkol, kata Akis, menjadi berkah tersendiri bagi warga Uraso yang tengah berkonflik dengan PTPN XVI. Dibanding sawit, jengkol lebih menjanjikan dan bisa menjaga kelestarian hutan.

“Dari segi ekologi, jengkol juga merupakan tanaman hutan yang memiliki fungsi menahan air. Tanaman sawit meski bisa memberi hasil yang menjanjikan dan rutin per bulan namun tak ramah lingkungan karena butuh air banyak sehingga menjadi penganggu bagi tanaman lain.”

Sawit mulai masuk ke Kecamatan Mappadeceng dibawa PTPN sejak 1983. Terdiri dari kawasan inti dan plasma. Ketika sawit masuk, sebagian besar pohon durian ditebang. Begitu pun kawasan perladangan padi tergantikan sawit.

Menelisik jauh ke belakang, kehadiran sawit di Uraso berawal dengan diadakannya penataan ulang batas kawasan atau Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1980 oleh Dinas Kehutanan untuk rencana pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit PTPN XXVIII.

Pada 8 Oktober 1982, bupati Luwu ketika itu Drs. Haji Abdullah Suara, mengeluarkan surat keputusan No. 129/II/KDL/1982 tentang penunjukan areal tanah/lahan perkebunan inti dan plasma atau perkebunan inti rakyat untuk sawit perusahaan negara perkebunan XXVIII di Wilayah Luwu. Ini upaya menyukseskan pengadaan dan penyediaan lahan proyek sawit perkebunan negara XXVIII. Keputusan ini lalu menetapkan lahan kebun inti 11.150 hektar dan plasma 21.000 hektar.

Menurut Hamsaluddin, Koordinator Divisi Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Perkumpulan Wallacea Palopo, perintisan dan penetapan TGHK ini sepihak oleh pemerintah, tak melibatkan masyarakat setempat.

 

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku, Sulawesi dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan TGHK itu, semua wilayah bekas perkampungan tua yang sekaligus ladang atau kebun masyarakat di Kumila dan Buntu Le’pon, yang sebelumnya ada batas atau patok Pemerintah Belanda sekitar 200 hektar di luar dari batas itu masuk TGHK.

Wilayah itu mencakup Kumila meliputi Pa’tondokan, Pa’rambuan, To’ Baulu, Tanduk Salu, Nye’po, Kue, Tata Pollo, Pentolloan Manuk dan Benteng Toyolo. Juga Buntu Le’pon meliputi Durian Pusuk, Garonga, Pomballik, Salu Awo, Bunuan Bosso, Ponglabo, To’ Paken, Bulelle, Salu Punti dan Parakaju.

PTPN mulai masuk mengelola sawit pada 1983–1984 melalui PTPN XXVIII. Perkebunan plasma di Mappedeceng.  Di Cakkaruddu ada penanaman pada 1986-1987. Izin HGU perusahaan ini baru diajukan 1987 dan keluar 1995 berdasarkan sertifikat hak melalui Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional 1 November 1995 dengan masa berlaku 35 tahun atau b berakhir 24 September 2030.

Hamsaluddin mengatakan, sertifikat hak ini dibukukan dan terbit di Palopo 20 September 1996 oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Luwu Darmawidjaya, dengan penunjukan “tanah negara“. Untuk perkebunan sawit Luwu I Afdeling Inti Mappedeceng seluas 2.020 hektar.

Ketika restrukturisasi PTPN pada 1995, katanya,  pengelolaan HGU di Luwu diberikan kepada PTPN XIV. Di tangan PTPN XIV ini pengelolaan dinilai tak berjalan efektif, bahkan menerlantarkan lahan dan penanaman tak sesuai izin.

“Saat itu,  justru sebagian lahan ditanami cokelat dan sebagian besar malah belum dikelola sama sekali,” ujar Hamsaluddin.

Aksi pertama kali penolakan masyarakat Uraso terhadap klaim lahan PTPN pada 1999 diikuti sekitar 200 orang ke Kantor DPRD Luwu dengan tuntutan pengembalian lahan yang dikuasai PTPN XIV. Oleh perusahaan, lahan ini jadi kebun inti perkebunan sawit Luwu I afdeling Inti Mappedeceng seluas 2.020 hektar.

Tuntutan pengembalian ini atas dasar lahan tak pernah ada penyerahan atau ganti rugi oleh perusahaan. Lahan itu secara turun menurun, katanya,  warga Kelola dengan menanami tanaman jangka panjang seperti durian, sagu, langsat, dan lain-lain.

Dalam pertemuan yang difasilitas DPRD Luwu, perusahaan berdalih sudah beri ganti rugi tanaman pada lahan yang tak bisa mereka buktikan. Tim bentukan DPRD tak berjalan sesuai harapan. Janji mediasi dan berkunjung ke lokasi tak pernah terealisasi.

Tanpa ada kejelasan atas tuntutan mereka, pada 2000 sekitar 200 keluarga Desa Uraso duduki lahan atau mengklaim kembali dengan menanam untuk KUT di lokasi inti perkebunan sawit seluas 500 hektar. Area reclaiming ini di luar kawasan berdasarkan TGHK 1980, dulu merupakan kebun, ladang dan pemukiman tua masyarakat Kampung Baru.

Lokasi ini sejak ada izin HGU tidak ditanami sawit oleh PTPN XXVIII maupun PTPN XIV. Sebagian lokasi justru ditanami kakao bersamaan dengan HGU terbit 1996.

Upaya mediasi dilakukan berbagai pihak, baik Pemerintah Luwu Utara dan sejumlah NGO, seperti Yayasan Bumi Sawergading (YBS), Perkumpulan Wallacea dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Salah satu bentuk pendampingan berupa pembuatan peta yang di dalamnya terdapat pembagian persil-persil lahan seluas 440 hektar, berupa distribusi lahan sekitar dua hektar untuk setiap keluarga by name bay address.

Di tengah upaya mediasi ini, reclaiming terus berlangsung dengan dalih warga bahwa hanya lahan itu yang jadi tumpuan hidup mereka. Di lahan reclaiming ini, warga lebih banyak menanam jengkol dan sejumlah tanaman pangan lain.

 

Sawit yang ditanam secara monokultur rawan ganggu tanaman di sekitarnya, Foto: Abdalla Naem/ Mongabay Indonesia

 

Sawit ganggu tanaman lain

Menurut Akis, sawit sempat jadi pilihan tanaman yang akan dikembangkan karena harga bagus dan bisa panen setiap bulan Namun, dia tak menyarankan dengan sejumlah pertimbangan.

Pertama, untuk menanam sawit butuh modal yang besar. Jika tak punya modal besar maka kemampuan warga untuk memelihara kebun hanya untuk satu hektar, itu pun tak maksimal.

“Kita hitung saja, dengan harga bibit Rp60.000 per buah, ditambah biaya pembukaan lahan, penanaman dan pemeliharaan.”

Pemeliharaan sawit, katanya,  tidak sama dengan tanaman lain. Kalau tak pakai racun rumput dan pupuk kimia, tanaman tidak tumbuh maksimal. “Ini kalau dikalkulasi maka biaya besar. Kalau punya sawit di atas lima hektar mungkin lumayan, kalau hanya 1-2 hektar itu setengah mati.”

Kedua, sawit rakus air, bisa menghambat pertumbuhan tanaman lain. Buktinya, tanaman durian di Liku Dengeng yang dulu besar-besar kini banyak mati.

“Ini bisa dibuktikan di sini, waktu buka sawit durian itu kan tetap dipertahankan, jadi tidak ditebang namun ditanami sawit di sekelilingnya. Sekitar 15 tahun, durian-durian ini kalah bersaing air dari sawit, hingga tidak ada durian yang bertahan.”

Hal  sama dialami tanaman sagu. Sebelum datang sawit, sagu tumbuh bisa mencapai 15 meter diameter sebesar drum. Sekarang, kerdil karena kalah bersaing air dengan sawit.

“Kami yang tergabung di Serikat Tani Liku Dengeng tidak rekomendasi sawit. Ini juga untuk menjaga ekosistem termasuk menjaga sumber air, menjaga ekologi. Kalau sampai ke hulu orang tanam sawit maka air akan terganggu dan dipastikan ada dampak yang ditimbulkan.”

Kehadiran sawit juga berdampak pada hilangnya padi ladang, sampai biota sungai seperti ikan dan udang.

“Dulu,  banyak juga padi ladang di sekitar sini dengan beragam varietas lokal.  Sekarang tak ada lagi.”

Begitu juga volume air sungai-sungai mulai menurun. Biota sungai pun makin sulit. Kalau tak ada udang yang bisa dibeli di pasar, bisa dipastikan warga sini tak pernah lagi makan udang. “Padahal dulu banyak di sungai-sungai.”

 

Tanaman sagu. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

Menjaga sagu

Sagu mulai ditanam di Uraso seratusan tahun silam. Konon, awalnya dibawa warga setempat yang bermukim di pegunungan bernama Tawang, lalu berpindah ke Buntu Lepong Kumila, salah satu pemukiman warga sekarang.

“Sagu di sini itu tidak tumbuh liar, tapi ditanam. Bibit dari luar. Dulu,  orang tua kita turun mencari sagu di pesisir. Kita bayangkan cerita orang tua turun dari gunung pergi ambil sagu ke pesisir, dua bulan baru sampai di atas kembali. Mereka pergi menokok sagu setelah pulang bawa bibitnya untuk ditanam,” kata Akis.

Sekarang, kata Akis,  pengembangan sagu susah karena dianggap tak ekonomis lagi dan perlu lahan khusus di pesisir atau lahan basah. Sedang sebagian lahan basah berupa rawa-rawa di Uraso sudah hilang untuk kolam ikan.

Akis berupaya tetap mempertahankan sagu sebanyak sembilan rumpun, yang ditanam sejak 1991. Sejak ditanam, baru satu induk ditebang. Orang tuanya punya puluhan rumpun di beberapa tempat.

“Kami dulu tanam sagu untuk ketahanan pangan. Kami dengar-dengar ini untuk ketahanan pangan. Dibanding padi, sagu lebih bagus untuk ketahanan pangan.”

Pada musim kemarau panjang,  padi susah tumbuh hingga tak cocok untuk persediaan pangan. “Sagu tak terdampak jika kemarau panjang, tidak akan mati. Bisa tahan meski kemarau dua tahun. Kalau tanaman lain mana bisa.”

Akis khawatir juga sagu mulai berkurang padahal penting sebagai ketahanan pangan menghadapi kondisi krisis.

Dia bilang, sagu bisa jadi strategi pemenuhan pangan jangka panjang, sisi lain terbentur pada pragmatisme pemenuhan kebutuhan jangka pendek.

“Hanya beberapa orang saja yang menyadari itu, karena generasi sekarang tidak berpikir soal adakah bahaya akan datang, seperti kemarau panjang. Ini tidak terlintas di pikiran generasi sekarang, yang penting punya uang hingga bisa beli semua,” katanya.

Sagu, katanya, bisa jadi investasi bagi anak cucu. Satu batang sagu bisa hasilkan sampai 500 kg dengan harga pasaran bagus, apalagi dalam kondisi kering.

“Memang sulit didorong untuk penanaman kembali karena sebagian warga lebih memilih tanam tanaman cepat berbuah dan hasil besar. Sagu butuh 15-20 tahun. Meski banyak dorongan dari pemerintah namun tetap sulit diupayakan oleh sebagian besar warga.”

 

 

Debit air sungai di Uraso, berkurang. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Liputan ini bagian dari program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak pada 2022.

 

********

Exit mobile version